Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Pertemuan Tanpa Rasa Hormat
Elena melangkah menuju gedung Evans Corporate dengan langkah mantap. Ia mengenakan gaun bodycon hitam sepanjang lutut, berpadu dengan aksen putih di kerah asimetris yang memberi kesan rapi sekaligus berwibawa. Tanpa perlu jas, potongan kerah bergaya blazer itu sudah cukup menonjolkan sisi profesionalnya.
Di tangannya, tergantung tas kecil merah marun bertali rantai logam, sementara sepatu hak hitam klasik mempertegas siluet kakinya yang jenjang. Rambut panjang yang terurai lembut serta anting kecil menjadi sentuhan akhir dari penampilannya yang anggun dan elegan.
Baru akan melewati revolving door, langkah Elena terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namanya dari belakang. Ia menoleh, menatap malas dua sosok yang sudah tidak asing baginya. Mereka adalah Danish dan Raya, dua orang yang sempat ia temui di kantin waktu itu.
“Selamat pagi, cantik,” sapa Danish dengan senyuman yang membuat Elena ingin memuntahkan isi perutnya.
Raya cepat menyikut lengan Danish, “Kau ini!” omelnya, lalu menatap Elena dengan senyum yang lebih sopan, “Selamat pagi, Elena.”
Alis Elena bertaut, “Kapan aku pernah menyebutkan namaku?”
Danish terkekeh pelan, “Namamu sudah dikenal di seluruh gedung ini. Lagipula kau selalu memakai ID card. Apa kau tidak tahu?”
“Ah,” sahut Elena singkat, seakan baru mengingat hal itu.
Tanpa menambahkan sepatah kata pun, Elena mengangguk sopan.
“Aku permisi,” ucapnya datar, kemudian melangkah masuk melewati pintu putar kaca itu. Bertemu dengan mereka, menurutnya, hanya akan membuang waktu dan merusak suasana paginya.
“Ck, tetap saja dingin,” gumam Danish dengan nada kecewa.
Raya melirik sinis, “Dia dingin karena tidak tahan melihat wajah jelekmu.”
“Hei, apa maksudmu!” protes Danish, tapi Raya sudah lebih dulu melangkah cepat masuk ke gedung, meninggalkannya di belakang.
“Raya! Tunggu kau!” seru Danish sambil berlari menyusul, membuat beberapa karyawan yang lewat sempat menoleh ke arah mereka.
Begitu lift berhenti di lantai ruang kerja Damian, Elena langsung melangkah keluar. Ia berjalan cepat menuju mejanya dengan senyuman tipis, bersiap untuk menyambut Damian. Walaupun ia juga tidak yakin apakah pria itu sudah datang atau belum.
Namun senyum itu perlahan memudar begitu ia melihat seseorang duduk dengan santai di kursinya. Bahkan terlalu santai untuk ukuran orang asing. Langkah Elena otomatis terhenti. Tatapannya menajam, menilai sosok pria paruh baya itu yang menatapnya balik dengan sorot merendahkan.
Alan. Ia duduk di sana dengan kaki disilangkan, jas krem rapi, dan aura angkuh yang terasa memenuhi koridor.
“Kursi yang nyaman,” ucapnya pelan sambil menatap Elena dari ujung kepala hingga kaki, “Damian memang tahu cara memilih barang yang bagus,” ucapnya seolah-olah bukan tertuju pada kursi, tapi pada Elena.
Elena ingin sekali menghajar pria tua itu. Tapi ia memilih menahan diri, lalu melangkah mendekat, menaruh tas di atas meja, dan berusaha tersenyum sopan.
“Tuan, ini tempat saya.”
Alan berdiri perlahan, merapikan jasnya, “Tepat sekali. Tempatmu memang pas di sini. Tepat di luar ruang kerja Damian.”
Elena mengerutkan kening, “Apa maksud Anda?”
Alan mengusap jenggot tipis berwarna perak di dagunya, “Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin tahu seperti apa rupa wanita murahan yang berhasil memikat keponakanku.”
Elena terdiam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum miring.
“Ah… jadi Anda paman Om Damian.”
“Om?” Alan tertawa mengejek, “Kau ini masih terlalu muda untuknya. Masih ada waktu kalau mau berpikir ulang.”
“Dan kalau saya tidak mau?” tanya Elena dingin.
Alan menatapnya tajam, “Maka kau akan menanggung akibatnya.”
Elena malah terkekeh pelan, “Lucu sekali. Keponakan Anda hanya ingin hidup bahagia, tapi Anda justru menghalanginya. Saya jadi bertanya-tanya, apakah Anda benar-benar pamannya, atau hanya orang yang memanfaatkan hubungan keluarga demi kepentingan sendiri?”
“Tutup mulutmu!” Alan menunjuk wajah Elena, nadanya meninggi, “Kau hanya wanita tidak tahu diri! Mulutmu tidak pantas menyebutkan hubunganku dengan Damian!”
Elena menatap balik tanpa gentar, “Benar. Saya juga tidak sudi mulut suciku ini harus mengucapkan hubungan kotor yang Anda ciptakan sendiri.”
“Kurang ajar!” Alan melangkah maju, wajahnya memerah karena marah, “Aku akan memberitahu Damian tentang tabiatmu yang sebenarnya!”
“Silakan.” Elena mencondongkan tubuh sedikit, menyeringai, “Kita lihat nanti, siapa yang akan dia percayai.”
Ia kemudian melangkah mundur dengan tenang, menatap Alan lurus.
“Sekarang sebaiknya Anda pergi, Tuan. Jangan ganggu karyawan lain yang ingin bekerja.”
Alan mengepalkan tangan, menahan amarah, “Awas kau!” katanya sebelum berbalik dan melangkah pergi dengan langkah berat.
Elena hanya menatap punggungnya menjauh, lalu mendesah pelan.
“Ck, jelas sekali dia ingin menyingkirkanku.”
Elena menarik napas panjang, lalu mulai merapikan tumpukan berkas di mejanya. Gerakannya tampak tenang, tapi matanya menunjukkan kekesalan. Belum juga setengah jam di kantor, sudah ada saja orang yang membuat suasana hatinya buruk.
“Elena.”
Suara itu membuatnya menoleh. Seketika, ekspresinya berubah. Senyuman lembut muncul di wajahnya saat melihat Damian melangkah mendekat. Tapi tatapan pria itu membuatnya tidak nyaman. Tatapan datar, penuh sesuatu yang sulit ditebak.
“Jangan-jangan si tua bangka itu sudah mengatakan yang tidak-tidak tentangku?” Pikir Elena dalam hati.
Ia segera menegakkan tubuhnya, “Selamat pagi, Tuan Damian.”
Damian tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Elena sejenak sebelum menghela napas panjang.
Elena menautkan alis, “Ada apa? Apa Tuan Alan mengatakan sesuatu tentangku?”
“Alan? Pamanku?” Damian terlihat sedikit heran.
Elena mengangguk pelan.
Damian menatapnya dengan serius, “Dia memang sempat berpapasan denganku tadi, tapi tidak bilang apa-apa. Memangnya ada apa? Dia baru saja menemuimu?”
Elena terdiam, menatap meja sesaat. Di dalam pikirannya, wajah Alan kembali muncul. Orang seperti dia tidak akan diam begitu saja. Pasti ada sesuatu di balik ketenangannya.
“Elena?”
“Ya?” Elena buru-buru menoleh.
“Apa dia menyakitimu?”
Elena berpikir cepat. Jika ia bilang tidak, Alan bisa semakin leluasa. Tapi kalau ia sedikit menggiring keadaan, mungkin justru akan menguntungkannya. Sebuah senyum samar muncul di bibirnya sebelum ia mengangguk pelan.
Damian langsung mendekat, meletakkan tangannya di bahu Elena dengan lembut, “Apa yang dia lakukan padamu? Mana yang sakit?” Tatapannya penuh khawatir, seolah siap melindungi wanita itu kapan saja.
“Bukan fisik,” jawab Elena lirih, “Tapi hati.”
Ia menunduk sedikit, menahan senyum liciknya di balik ekspresi sedih.
“Dia mengatakan hal yang menyakitkan. Menyebutku wanita murahan. Bahkan bilang Tuan Damian adalah kolektor yang pandai memilih barang.”
Damian membeku sesaat, lalu wajahnya mengeras, rahangnya menegang.
Elena melirik sekilas. Reaksi itulah yang ia tunggu.
“Bagus. Dia berpihak padaku,” batin Elena.
“Aku akan membalasnya untukmu,” ucap Damian tegas, berbalik dengan langkah cepat.
“Jangan!” Elena langsung menahan tangannya, menggenggam erat seolah takut kehilangan perlindungan itu, “Aku tidak apa-apa. Mungkin dia hanya belum bisa menerima ada orang baru di lingkaran keluarga Evans. Aku paham maksud hatinya.”
Damian menatapnya lekat-lekat, “Kau yakin?”
Elena mengangguk meyakinkan, “Ya. Tapi kalau dia berbuat lebih dari sekadar bicara, atau bahkan bermain fisik, aku janji akan memberitahumu.”
Damian menghela napas panjang, “Baiklah, kalau itu keputusanmu. Kau memang wanita yang pengertian.”
Elena tersenyum manis, senyum yang kali ini terasa hangat, tapi juga penuh perhitungan.
“Aku akan ke ruanganku,” ujar Damian akhirnya.
“Baik, aku akan siapkan kopi,” jawab Elena lembut.
Pria itu pun melangkah menuju ruang kerjanya. Sementara Elena menatap punggungnya menjauh, tatapan matanya berubah dingin dan tajam. Jujur, ia juga penasaran, kira-kira apa yang disiapkan Alan untuk dirinya.
Tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa diuntungkan, yaitu hubungan Damian dan Alan. Sudah ia duga, Damian pasti akan membelanya. Ternyata hubungan paman-keponakan itu hanyalah kedok untuk menutupi ketidaksukaan satu sama lain.
Sementara di lobi yang terlihat sibuk seperti biasa, Sean melangkah dengan tenang dan penuh percaya diri. Dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan tatapan lurus ke depan, ia berjalan seolah seluruh tempat itu adalah miliknya.
Begitu melintasi security gate, para petugas keamanan langsung membukakan jalan tanpa banyak bicara. Siapa yang tidak mengenal Sean Evans, putra tunggal Damian Evans? Walaupun kedudukannya di perusahaan itu belum pasti, tapi hanya dengan nama Evans saja sudah membuat semua orang menunduk hormat padanya.
Ia kemudian menuju lift dengan ekspresi datar, lalu menekan tombol menuju lantai tempat Alan bekerja.
Sesampainya di lantai tujuan, ia melangkah keluar dan langsung menuju ruangan Alan. Ini bukanlah kali pertamanya datang, jadi ia sudah paham seluk beluk dan isi gedung perusahaan.
Di sana, sekretaris Alan yang tampak sedikit gugup, segera berdiri menyambutnya.
“Silakan masuk, Tuan Sean. Tuan Alan belum datang, tapi Anda bisa menunggu di dalam,” ujarnya sopan.
Alis Sean sedikit terangkat. Alan tadi mengabarinya bahwa sudah tiba di kantor, tapi sekretarisnya malah berkata sebaliknya. Tanpa banyak bicara, ia hanya mengangguk singkat dan membuka pintu ruangan itu.
Sean melangkah masuk dan memilih duduk di sofa kulit cokelat yang terlihat mahal. Ia menyandarkan punggung, melirik sekeliling dengan pandangan penuh perhitungan. Semua tampak tertata dengan sempurna.
Tidak lama, pintu ruang kerja itu berderit pelan, menyingkap sosok Alan yang melangkah masuk dengan senyum hangat di wajahnya.
“Kau datang ke sini, tidak menemui ayahmu, tapi malah memilih menemuiku,” ujarnya santai, lalu duduk berhadapan dengan Sean.
Sean menatap pria tua itu dengan santai, “Kupikir lebih menarik mendengar pandanganmu dulu, Kakek.”
Alan terkekeh pendek, “Seharusnya kau naik tadi. Aku baru saja menemui wanita itu. Dan dia sangat licik, Sean. Kau tahu, ayahmu itu seolah memilih untuk menutup mata.”
Kening Sean berkerut, “Licik?”
Pikirannya langsung melayang pada sosok wanita yang belakangan ini membuat ayahnya tersenyum lagi. Wanita yang ia pikir adalah wanita lembut dan penuh perhatian, ternyata tidak sesederhana yang ia bayangkan.
“Benar. Aku bisa saja mengungkapkan tabiat wanita itu pada Damian. Tapi, sepertinya ayahmu sudah dibutakan cinta. Percuma aku bicara. Jadi kuurungkan.”
“Lalu kenapa Kakek repot-repot menemuinya?” tanya Sean, menatap lurus ke arah pria tua itu.
Alan tersenyum samar, menyandarkan tubuh di sofa dengan satu tangan terulur ke sandaran, “Menemui musuh untuk melihat sifat mereka adalah kunci untuk mengalahkannya.”
Sean terdiam, memandangi wajah Alan yang tampak serius. Ia tahu betul, ketika pria tua itu berbicara seperti ini, pasti ada sesuatu yang sedang disiapkan.
“Apa rencana Kakek sebenarnya?” tanyanya akhirnya.
Alan menegakkan tubuhnya perlahan, lalu mencondongkan badan ke depan, dan menyuruh Sean untuk mendekat.
“Dengarkan aku baik-baik....”
Ruangan itu mendadak terasa hening, hanya terdengar suara samar angin dari ventilasi pendingin ruangan. Sean menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Alan dengan penuh konsentrasi. Setiap kalimat yang ia dengar adalah strategi matang yang disusun untuk menjatuhkan seseorang tanpa perlu menodai tangan sendiri.
Begitu Alan menyelesaikan ucapannya, suasana berubah. Sean menatapnya beberapa detik, lalu senyum miring muncul di wajahnya, licik dan menakutkan.
“Bagaimana?” tanya Alan.
“Aku menyukainya,” jawab Sean dengan puas.