Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19.
Langit malam turun tanpa suara. Tidak ada bintang, tidak ada angin. Bahkan suara jangkrik seakan lupa caranya bernyanyi. Di dalam loji, pelita di ruang depan menyala lebih redup dari semalam, seolah ikut gemetar.
Kodasih duduk kembali di tengah lingkaran abu kemenyan dan garam. Kali ini ia mengenakan kain putih bersulam benang hitam, warna untuk menipu roh. Matanya sembab tapi sorotnya lebih tajam. Ia tahu, malam ini bukan tentang menahan suara. Malam ini tentang tidak kehilangan jati diri.
Arjo berdiri di belakangnya, mengatur napas. Jemarinya menggenggam manik-manik kecil dari akar bahar yang sudah tua. Manik itu hanya bisa digunakan tiga kali. Dan malam ini, Arjo bersumpah tidak akan menggunakannya kecuali Kodasih benar benar terancam.
Kemenyan dinyalakan. Garis lingkaran disempurnakan.
Arjo berbisik nyaris tanpa suara:
“Sekarang… kita mulai.”
Kodasih mengangguk.
Pelita padam. Kegelapan menelan ruangan.
Di salah satu sisi ruangan, jendela yang menghadap barat, sengaja ditutup rapat oleh Kang Pono yang tadi sore mulai mengeluarkan bunyi aneh. Bukan seperti kayu tua berderit, tapi seperti ada jari-jari yang menggaruk dari luar. Pelan. Teratur.
Grrkk… grrkkk…
Arjo melirik ke arah jendela, lalu kembali menatap Kodasih. Ia tahu isi pesan Mbah Jati:
“Jangan buka jendela barat setelah matahari tenggelam.”
Tapi suara itu terus datang, mengganggu kekhusyukan ritual.
Sementara itu, Kodasih mulai merasakan hawa aneh. Ruangan seolah berputar, meski tubuhnya diam. Seperti berada di dalam perahu yang berayun di sungai hitam. Bau amis tercium samar , seperti darah yang lama tersimpan dalam tanah.
Lalu…
Sebuah suara muncul dari balik jendela:
“Nyi…”
Bukan suara roh. Tapi suara manusia. Suara yang ia kenal. Suara Kang Pono.
“Nyi… tolong buka pintunya… aku terkunci di luar…”
Kodasih gemetar. Ia tahu Kang Pono tidak akan memanggilnya begitu. Dan pintu… tidak pernah dikunci.
Suara itu mengulang:
“Nyi Kodasih … sayangku… buka pintu, ini aku…”
Nadanya manis. Terlalu manis.
Arjo menoleh cepat. Ia tahu suara itu bukan datang dari luar jendela, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dari dalam pikirannya. Roh-roh itu kini tidak hanya mencoba Kodasih, mereka juga mulai membisikkan hal yang sama ke dirinya.
Jendela mulai berembun lagi. Tapi bukan embun biasa , tetesan merah menetes dari ujung bingkai, membentuk huruf-huruf kecil:
“BI… CA… RA…”
Kodasih mulai menggigil. Matanya terpejam, tapi bibirnya bergerak… tidak bicara, tapi seperti sedang menolak sesuatu.
Tiba-tiba ruangan bergoyang hebat. Garis garam pecah di satu titik. Udara mendadak jadi dingin menusuk, dan dari balik jendela, muncul tangan.
Tangan panjang dan kurus, jari-jari melekuk seperti akar pohon tua. Ia mengusap kaca, lalu mulai memukulnya pelan… dan pelan-pelan…
Jendela itu terbuka. Sendiri.
Arjo segera maju, menabur abu kemenyan dan menarik benang merah ke arah jendela.
Namun saat itu… Kodasih membuka mata.
Tapi bukan matanya sendiri.
Matanya hitam. Penuh.
Wajahnya kosong.
Dan dari bibirnya keluar satu bisikan:
“Tuan Menir…”
Arjo tercekat. Arjo tahu, jika Kodasih bicara sekali lagi, maka ritual gagal.
Ia maju cepat, menggenggam bahu Kodasih. “Nyi!” serunya dalam hati, tidak bersuara. Tapi Kodasih tidak melihatnya. Ia menatap ke dinding, tempat foto Tuan Menir sekarang basah oleh darah entah dari mana datangnya.
Tiba-tiba, tangan dari jendela menjulur ke dalam ruangan.
Namun… Kodasih mendadak memejamkan mata kembali. Tangannya naik pelan, menunjuk ke arah foto Tuan Menir dan dari sela bibirnya, ia menghembuskan napas panjang, tapi tidak bersuara.
Rohnya kembali. Matanya kembali bening.
Ia masih di sini.
Tangan itu berhenti. Lalu perlahan menyusut… dan menghilang ke balik jendela. Jendela menutup sendiri. Darah di bingkainya menguap seperti embun pagi.
Pelita menyala kembali.
Arjo memandang Kodasih. Ia masih bersila. Tapi dari ujung bibirnya, darah segaris kembali menetes. Tubuhnya gemetar. Tapi matanya tetap hidup.
“Ia telah melewati malam kedua.” Gumam Arjo.
Sedangkan di luar loji , Kang Pono masih di teras. Tapi kini ia terbaring, tidak sadarkan diri. Wajahnya terlihat sangat pucat. Mulutnya sedikit terbuka, dan dari sudutnya menetes air hitam pekat.
Di tangannya… tergenggam selendang hitam milik Kodasih.
🌸🌸🌸
Waktu pun terus berlalu, keesokan paginya. Cahaya mentari merayap pelan di antara celah jendela loji. Embun belum benar-benar hilang, tapi bau kemenyan masih menggantung di udara. Langit mendung, seakan malam belum sepenuhnya pergi.
Kang Pono terbaring miring, tubuhnya kaku seperti batu. Dadanya naik turun perlahan. Tangannya masih menggenggam selendang hitam milik Kodasih, lembap, dingin, dan entah sejak kapan berada di sana.
Ia terbangun dengan tarikan napas panjang dan berat, seperti orang yang baru muncul dari dasar sumur. Matanya terbuka cepat, tapi tidak langsung sadar. Ia menatap langit-langit teras yang buram.
“Di mana aku…?” gumamnya lirih.
Tapi suaranya terdengar serak, seperti tenggorokannya habis digunakan untuk berteriak dalam mimpi yang tak bisa diingat.
Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya berat. Bukan lelah biasa. Tulang tulangnya terasa seperti diganti dengan besi dingin. Seluruh tubuhnya menggigil, tapi tanpa rasa dingin. Jiwanya merasa telanjang, seperti ada sesuatu yang ditinggalkan… atau baru saja masuk.
Ia menunduk. Melihat tangannya yang menggenggam erat selendang Kodasih.
“Kenapa… ini ada di sini?” gumamnya.
Ia tidak ingat mengambilnya. Terakhir kali ia lihat, Kodasih memakainya saat masuk ke ruang depan . Dan semalam… ia hanya duduk di teras. Menunggu. Diam. Tidak bergerak. Tapi sekarang...
Ia melihat ke tanah di sekitarnya. Ada bekas kaki, tapi bukan hanya miliknya. Jejak lain, samar, seperti bekas kaki seseorang yang tidak memakai sepatu, tidak juga telanjang, bentuknya terlalu panjang.
Dan satu lagi: ada bekas garis garam yang patah. Seolah ada sesuatu yang keluar dari dalam loji dan berjalan mengelilinginya.
“Apa aku... keluar dari tubuhku sendiri?” pikirnya.
Tiba-tiba, rasa haus datang seperti ombak. Tapi bukan haus air, haus yang aneh. Seperti ada kekosongan di perutnya yang tidak bisa diisi makanan.
Kang Pono bangkit perlahan. Langkahnya goyah. Ia segera ke dapur kecil lewat halaman samping loji. Mencoba minum dari kendi yang ada . Tapi saat air itu menyentuh bibirnya…
Rasanya pahit. Seperti tanah basah yang lama terkubur. Ia muntahkan seketika. Dadanya sesak. Tangannya bergetar.
Lalu ia melihat wajahnya sendiri di pantulan air kendi. Dan di balik bayangan wajahnya, muncul mata lain, samar tapi jelas. Mata pucat, besar, mengintip dari balik pundaknya sendiri.
Kang Pono mundur. Air tumpah. Kendi pecah.
Mbok Piyah berlari dari belakang. “Kang! Ya Allah, keno opo kowe Kang?”
Kang Pono mencoba bicara. Tapi tiba-tiba... ia tidak bisa mengeluarkan suara. Bibirnya bergerak, kerongkongan bergetar, tapi tidak ada suara keluar. Kang Pono pun segera berlari mencari Arjo.
Sementara itu di ruang depan, Arjo duduk di lantai, memeriksa kitab kecil dari Mbah Jati. Ia tahu malam kedua telah lewat, dan Kodasih masih selamat. Tapi ritual belum selesai.
Saat itulah Kang Pono masuk. Wajahnya pucat, matanya gelap di bawahnya.
“Kang Pono?” tanya Arjo dengan kedua mata sedikit melebar.
Kang Pono membuka mulut, menunjuk tenggorokannya. Masih tidak bisa bicara.
Arjo berdiri cepat. “Apa yang terjadi?”
Kang Pono hanya menggeleng pelan, lalu membuka tangannya. Memperlihatkan selendang Kodasih. Basah, dan di ujungnya ada bekas sobekan kecil, seolah ada yang menariknya dengan paksa.
Arjo langsung tahu. “Malam kedua tidak hanya menyentuh Nyi Kodasih. Kang Pono juga telah disentuh. Tapi tidak dari luar. Dari dalam.”
Arjo menaruh benang merah di tubuh Kang Pono dan menaburi tubuh Kang Pono dengan abu kemenyan juga garam dari Mbah Jati.
Akan tetapi keduanya tiba tiba terlonjak kaget karena mendengar suara kereta besi alias mobil berhenti di depan loji Tuan Menir. Keduanya menoleh ke arah sumber suara.
“Siapa?” Kang Pono mulai bisa berbicara.
Pak Karto yang baru saja menyapu di halaman samping pun langsung berlari sambil berteriak...
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk