"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5
Pesona
Molly selalu menganggap dirinya gadis sederhana. Dia tidak pernah menginginkan pakaian mahal, mobil impor, atau apartemen mewah. Dia terbiasa dengan kehidupan biasa, terbagi antara buku, kelas, dan kafetaria dekat kampus tempat dia menghabiskan waktu berjam-jam meninjau catatannya. Tetapi, sejak Briana Anderson memasuki hidupnya, gagasan tentang apa yang normal mulai menghilang seperti asap.
Tidak mungkin mengabaikan daya tarik wanita itu. Briana seolah memenuhi seluruh ruangan hanya dengan memasuki ruangan. Parfumnya, canggih dan membuat ketagihan, tampaknya meresap ke dalam kulit Molly, membuatnya menghela napas bahkan berjam-jam setelah setiap pertemuan.
Dalam beberapa hari terakhir, percakapan di antara mereka semakin intens. Briana selalu menemukan alasan untuk menelepon, mengirim pesan, atau, secara tak terduga, muncul di kampus hanya untuk menjemputnya. Awalnya, Molly enggan menerima begitu banyak perhatian, tetapi desakan manis – dan pada saat yang sama mendominasi – dari Briana membuatnya menyerah.
Pagi itu, Molly memasuki kampus dengan langkah tergesa-gesa, berusaha menyembunyikan senyum yang muncul setiap kali dia mengingat malam sebelumnya. Briana membawanya makan malam di sebuah restoran di puncak gedung, dengan pemandangan seluruh kota yang diterangi cahaya. Dia ingat kata-kata lembut, kisah-kisah bisnis yang terdengar hampir seperti dongeng kekuasaan, tetapi, di atas segalanya, dia ingat cara Briana memandangnya: seolah-olah dia adalah harta karun yang langka.
"Kamu terlihat berbeda hari ini, Molly," komentar seorang teman sekelas, sambil tertawa. "Matamu bersinar."
Molly langsung tersipu, menggelengkan kepalanya.
"Hanya... kurang tidur," bohongnya, memeluk buku catatan ke dadanya.
Tetapi, jauh di lubuk hatinya, dia tahu itu bukan kurang tidur. Itu Briana. Selalu Briana.
Sore harinya, ketika dia keluar dari kelas, dia menemukan mobil hitam dengan kaca gelap terparkir di depan kampus. Jantungnya berdebar kencang. Dia sudah tahu milik siapa itu. Pintu terbuka dengan lembut dan di sana dia: Briana, sempurna dalam gaun ketat biru laut, kacamata hitam, dan aura kedaulatan yang sama yang begitu mengintimidasi sekaligus mempesona.
"Masuk, Molly," katanya dengan suara tegas, tetapi dipenuhi kelembutan. "Mari kita jalan-jalan."
Molly menurut tanpa berpikir dua kali. Begitu dia duduk, dia menyadari tatapan tajam Briana menelusuri setiap detail wajahnya. Keheningan berlangsung beberapa detik, sampai Briana memecah ketegangan:
"Kamu tidak tahu betapa kamu membuatku penasaran, Molly."
"Penasaran? Aku?" Gadis itu tertawa, gugup, memainkan rambutnya. "Aku... normal."
"Tidak." Briana menggenggam tangannya dengan erat. "Kamu memiliki sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Kemurnian langka, tetapi pada saat yang sama kekuatan yang bahkan belum kamu sadari. Itulah yang membuatku terpikat padamu."
Kata-kata itu membuat Molly kehilangan jawaban. Jantungnya seolah ingin keluar dari mulutnya. Tidak pernah ada orang yang berbicara dengannya seperti itu, seolah-olah dia istimewa, unik.
Mobil itu melaju ke sebuah rumah mewah di pinggiran kota, salah satu properti Briana. Itu modern, dikelilingi oleh taman yang terawat sempurna. Saat memasuki rumah, Molly terpesona. Segala sesuatu di sana tampak layak untuk majalah: dinding kaca, perabotan canggih, pemandangan kolam renang yang memantulkan langit sore.
"Jangan sungkan," kata Briana, melepas jaketnya dan menyerahkannya kepada seorang karyawan yang muncul dengan sopan. "Tempat ini hanya milik kita hari ini."
Molly berjalan di sekitar ruangan, terpesona. Dia menyentuh permukaannya seolah-olah dia perlu memastikan bahwa itu nyata. Ketika dia berbalik, dia menyadari Briana mengamatinya dengan intens.
"Apakah kamu lapar?" tanya pengusaha itu, mendekat perlahan.
"Sedikit," jawab Molly, hampir berbisik.
"Bagus." Briana tersenyum. "Aku sudah menyuruh menyiapkan sesuatu yang ringan. Tapi, sebelumnya, aku ingin bersulang denganmu."
Dia mengambil sebotol anggur putih dan menuangkan dua gelas. Dia menyerahkan satu kepada Molly dan mengangkat gelasnya sendiri.
"Untuk takdir," katanya, dengan tatapan yang seolah menembusnya. "Dan keberanian untuk membiarkan diri terpesona."
Molly tersipu, membawa gelas ke bibirnya. Anggurnya lembut, tetapi sensasi berada begitu dekat dengan Briana membuat segalanya terasa lebih kuat, lebih menggetarkan.
Saat mereka makan malam, Briana tidak mengalihkan pandangannya darinya. Dia mengajukan pertanyaan, menunjukkan minat pada setiap detail kehidupan Molly, mulai dari mata pelajaran favoritnya hingga buku yang dia baca. Molly, malu-malu, menjawab sedikit demi sedikit, tetapi tidak bisa menahan senyum di hadapan perhatian pengusaha itu.
"Kamu pantas mendapatkan lebih dari kehidupan biasa yang kamu jalani," komentar Briana, menopang dagunya di tangannya. "Bersamaku, Molly, kamu bisa memiliki dunia."
Kalimat itu bergema di hati gadis muda itu, membangkitkan sesuatu antara rasa takut dan kekaguman. Memiliki dunia? Itu terdengar terlalu besar. Tetapi, ketika dia menatap Briana, dia percaya.
Setelah makan malam, mereka pergi ke taman yang diterangi oleh lampu-lampu lembut. Angin malam mengibaskan rambut Molly, dan Briana berjalan di sampingnya dalam diam, sampai tiba-tiba berhenti.
"Tahukah kamu apa yang paling aku sukai darimu?" tanyanya, mendekat. "Cara kamu menatapku. Kamu mencoba menyembunyikannya, tetapi matamu mengkhianatiku."
Molly membeku, merasakan wajahnya terbakar.
"Aku... aku tidak..."
Sebelum dia bisa selesai, Briana mengusap wajahnya dengan lembut, membelai pipinya.
"Tidak perlu menyangkal. Aku melihatnya. Dan aku menyukainya."
Jantung Molly berdebar kencang. Dia belum pernah merasakan hal seperti ini: campuran antara rasa takut, hasrat, dan kekaguman.
"Briana..." bisiknya, hampir kehabisan napas.
"Ssst..." Briana meletakkan jarinya di bibirnya. "Jangan katakan apa pun sekarang. Rasakan saja."
Dan, untuk pertama kalinya, Molly tidak mundur. Dia membiarkan Briana menyelimutinya dengan kehadirannya yang luar biasa, membiarkan dirinya terbawa oleh energi kuat yang bergetar di antara mereka. Itu belum ciuman, tetapi hampir. Seutas listrik yang membuat mereka tetap dekat, napas bercampur, jantung berdebar tidak teratur.
Malam itu, ketika Briana mengantarnya pulang, Molly hampir tidak bisa tidur. Dia berguling-guling di tempat tidur, mengingat setiap detail: sentuhan di wajahnya, tatapan tegasnya, janji terselubung yang ada dalam keheningan di antara mereka berdua.
Dia semakin terpesona. Dan, bahkan mengetahui bahwa perasaan itu berbahaya, bahwa perbedaan usia, dunia, dan pengalaman bisa menjadi jurang pemisah, dia tidak bisa menghindarinya.
Briana Anderson telah menjadi matahari dan badainya.
Dan Molly, yang polos, tidak tahu lagi bagaimana hidup tanpa kekacauan yang mempesona ini.