Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Bermimpi Tak Pantas Tentang Nona-Nya
...•••...
"Nona, mengapa nona ada di paviliun?" Ben bertanya dengan suara rendah, hampir tercekat. Matanya terpaku pada sosok Haya yang berdiri di ambang pintu kamarnya.
Ia melangkah masuk perlahan, membiarkan bayangannya menyatu dengan cahaya remang di ruangan itu. Gaun tidurnya yang lembut berayun mengikuti langkahnya, sementara udara di antara mereka seakan menegang.
"Benji," suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi cukup untuk membuat udara di ruangan itu terasa lebih berat. "Kamu tidak keberatan aku ada di sini, kan?"
Ben memalingkan wajah, mencoba menghindari tatapan dan siluet dirinya yang terlalu memikat.
"Nona, ini tidak pantas," katanya dengan nada yang berusaha tegas, meskipun suaranya sedikit bergetar. "Tolong kembali ke kamar Nona sekarang."
Namun, Haya tidak peduli dengan tegurannya. Ia terus melangkah mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin sempit.
Tangannya yang lentik menyentuh dada Ben yang keras, membuat pria itu mundur selangkah, tetapi punggungnya segera bertemu dengan dinding.
"Kenapa selalu menjauh dariku, Ben?" tanyanya, nadanya memuat luka yang tak tersembunyi. "Aku tahu kamu merasakannya. Aku tahu aku ada di pikiranmu."
Ben menggerakkan tangan untuk menahan bahunya, mencoba menciptakan jarak di antara mereka.
"Nona, saya... ini salah," gumam Ben dengan napas yang mulai tak teratur. Ia menutup matanya, mencoba mengendalikan dirinya dari tubuh indah sang nona. "Tolong, jangan lakukan ini."
Haya mendekatkan wajahnya, begitu dekat hingga Ben bisa merasakan hangat napasnya di kulitnya. "Kalau ini salah," bisiknya, "kenapa kamu tidak mendorongku pergi?"
Ben ingin menyangkalnya, tetapi tubuhnya menolak untuk bergerak. Sebuah pergolakan terjadi dalam dirinya—antara rasa hormat dan keruh kedunguan dalam pikirannya.
Ia menatap perempuan itu, dan detik berikutnya, Ben sudah mengangkatnya dalam gendongan. Ia membawa Haya ke ranjang, meletakkannya dengan hati-hati.
Namun, sesuatu dalam dirinya bergejolak. Napasnya memburu, pikirannya kusut. Ia ingin menjaga perempuan ini, tetapi kenapa... kenapa justru pikirannya mengarah ke hal yang seharusnya tidak ia pikirkan?
"Maka lakukan, Benji..."
Hayaning menatapnya dengan sorot mata yang dalam. Ia menantang, menggoda, membuat Ben hampir kehilangan kendali.
Ben menelan ludah, jantungnya berdegup kencang.
Namun, tiba-tiba—
BRAK!
Suara keras dari jendela yang tertutup oleh angin malam membuat Ben tersentak. Nafasnya terputus, tubuhnya terasa panas dan bergetar.
Ia membuka mata.
Sepi.
Ben terbangun dalam kamarnya yang remang-remang, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya masih berat, jantungnya berpacu tak terkendali. Ia mengangkat satu tangan, mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengembalikan kesadarannya ke dunia nyata.
Itu hanya mimpi.
Hanya sebuah mimpi.
Ben menatap sekeliling kamar paviliunnya yang tidak ada siapapun.
"Sial," desisnya pelan, mengutuk dirinya sendiri. Apa yang baru saja terjadi? Bagaimana Haya bisa masuk kedalam mimpi nya? Mimpi yang seharusnya datang sebab sering kepikiran.
Ia mendongak menatap langit-langit kamar. Di luar, suara angin malam yang berhembus seolah menjadi pengingat bahwa kepalanya harus dijernihkan dari segala pikiran keruh dan dungunya mengenai Hayaning.
•••
"Ayo dong sayang, jangan ngambek. Ngga usah segitunya. Malam itu kan aku cuma mau have fun sama kamu—"
"Mas!" seru Haya, nadanya penuh kemarahan yang bercampur kelelahan. Napasnya terengah-engah, menahan diri agar tidak meledak di hadapan pria brengsek bernama Adipta.
Pria itu hanya tersenyum tipis, santai seolah-olah tidak ada yang salah dengan ucapannya barusan.
"Kamu sudah keterlaluan," desis Haya tajam, tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. "Aku ngga bisa lagi. Kita ngga bisa lanjutin perjodohan konyol ini—"
Adipta tertawa kecil, suara yang terdengar sinis dan meremehkan. "Mau apa kamu, huh? Mau membatalkan perjodohan yang bahkan orang tua kita sudah setuju? Kamu tahu ngga, perjodohan ini ngga akan pernah bisa dibatalkan, sayang."
Dia mendekat, menunduk sedikit hingga wajahnya hampir sejajar dengan Haya. "Dua keluarga besar kita bisa saling berselisih kalau kamu nekat. Dan... kakak-kakakmu itu? Mereka akan semakin membenci adik bungsunya yang malang ini kalau tiba-tiba perjodohan ini gagal gara-gara kamu."
Haya mengembuskan napas panjang, matanya dingin menatap Adipta sebelum akhirnya ia berdiri. Tanpa sepatah kata pun, ia pergi begitu saja, meninggalkan Adipta yang masih memandangi kepergiannya dengan senyum menyeringai.
Ben, yang berjaga di meja tak jauh dari sana, memperhatikan seluruh kejadian itu dengan rahangnya mengeras. Saat Hayaning melangkah keluar dengan langkah cepat, ia segera bangkit dan mengikutinya tanpa suara, menjaga jarak namun tetap waspada.
Haya berjalan dengan langkah tegas. Ia tidak menoleh ke belakang, seolah ingin menghapus keberadaan pria menjengkelkan itu dari pikirannya.
Ben terus mengikutinya, matanya tajam mengamati sekitar, memastikan Haya aman. Namun, ada sesuatu yang lain di balik sikap tenangnya—rasa geram yang terpendam melihat Haya harus berhadapan dengan pria seperti Adipta.
Baginya, tidak seharusnya seorang wanita seperti Hayaning dipaksa menghadapi tipu daya yang menjijikan seperti itu.
"Nona Hayaning," panggil Ben lembut ketika mereka sudah cukup jauh dari area tersebut.
Haya berhenti, tetapi tidak segera menoleh. Ia hanya diam, membiarkan embusan angin malam menerpa wajahnya yang terlihat lelah, menyiratkan pergulatan emosi yang tak ia utarakan.
"Nona baik-baik saja kan?" tanya Ben, melangkah lebih maju hingga berdiri di hadapannya.
Haya mengangkat wajahnya, menatap netra cokelat mengkilat milik Ben. Pria ini... dalam segala diam dan sikap dinginnya, ia selalu ada. Dan di saat-saat seperti ini, kehadirannya menjadi satu-satunya yang membuat Haya merasa aman.
Ia mencintai pria ini, lebih dari yang seharusnya.
"Benji," suara Haya terdengar lirih, hampir seperti bisikan, "maukah kamu temani aku jalan-jalan malam ini? Kemanapun itu, hanya berjalan-jalan dengan mobil. Aku ingin menetralkan pikiranku."
Ben tidak segera menjawab, matanya menatap dalam ke arah Haya, seolah membaca setiap emosi yang bersembunyi di balik tatapan wanita itu.
Setelah beberapa saat, ia mengangguk. "Baik, Nona. Kita bisa pergi sekarang jika itu yang Nona inginkan."
Senyum kecil muncul di sudut bibir Haya, meskipun lelah masih tergurat di wajahnya. "Terima kasih, Benji. Aku tahu aku bisa mengandalkan mu."
Ben hanya mengangguk lagi, lalu memberi isyarat agar Haya mengikutinya menuju mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Tanpa banyak kata, ia membukakan pintu untuk Haya, memastikan ia masuk dengan aman sebelum masuk ke sisi kemudi.
Di sepanjang perjalanan, tak banyak kata yang terucap. Namun, keheningan itu segera sirna ketika Ben membuka suara.
"Nona," ucap Ben, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Apakah Nona ingin minuman matcha favorit Nona? Kita bisa mampir sebentar."
Haya menoleh, sedikit terkejut mendengar tawaran itu. "Minuman matcha?" ulangnya, mencoba mencerna perhatian kecil dari pria yang biasanya begitu kaku ini.
Ben mengangguk kecil. "Saya tahu Nona suka itu. Saya ingat pernah melihat Nona menikmatinya beberapa kali saat sedang tidak terlalu bersemangat."
Haya tersenyum samar, sentuhan perhatian itu berhasil melonggarkan sedikit beban di pikirannya. "Kamu memperhatikan hal seperti itu juga, Benji?" tanyanya pelan, nada suaranya bercampur antara tak percaya dan terkesan.
"Saya memperhatikan apa yang penting," jawab Ben singkat namun penuh makna bagi Haya.
Haya menatapnya sejenak, merasakan sesuatu yang hangat mulai memenuhi hatinya.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Aku ingin minuman itu dan... Aku juga ingin yang pedas-pedas kamu pasti tahu apa kesukaanku. Kita berhenti sebentar, ya."
Ben mengangguk lagi, lalu membelokkan mobil ke arah kafe kecil yang ia ingat pernah Haya kunjungi. Perhatian kecil itu, meskipun sederhana, terasa seperti pelipur di tengah kekacauan pikiran Hayaning.
"Biar saya yang pesankan, nona mau tunggu didalam mobil saja kan?" Tanyanya.
"Iya, oh ya Ben. Kamu juga pesan apapun ya. Aku tidak mau menikmati sendirian."
Ben mengangguk singkat lalu ia keluar dari mobil dan berjalan menuju kafe yang terletak di ujung jalan. Haya mengamati punggungnya yang menjauh, merasakan keheningan yang menyelubungi dirinya.
"Oh Tuhan..."
Haya menggigit bibir, memikirkan semuanya. Keputusan untuk tetap berada dalam perjodohan itu semakin berat, tapi apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia ubah dengan mudah. Semua keputusan besar itu sudah diambil oleh orang lain jauh sebelum dirinya.
Haya menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya. Tidak ada jawaban yang mudah, tidak ada jalan keluar yang jelas. Tapi untuk malam ini, dia ingin merasakannya, merasakan kebebasan kecil yang diberikan oleh perjalanan ini.
Ben kembali beberapa menit kemudian, membawa satu gelas minuman matcha favorit Haya dan sekotak spicy tacos kegemarannya perempuan ini.
"Ini, Nona. Saya rasa ini bisa membantu sedikit menenangkan pikiran."
"Lalu kamu pesan apa?"
"Sama dengan Nona, saya ingin merasakan makanan yang Nona Hayaning sukai."
Haya tersenyum kecil, perasaannya sedikit membaik mendengar jawaban Ben. "Baiklah," katanya sambil menerima minuman dan makanan yang diberikan Ben.
Ia membuka kotak tacos, aroma pedas yang menggoda langsung menyapa hidungnya.
"Kamu yakin bisa makan ini? Biasanya orang yang tidak terbiasa dengan makanan pedas akan menyerah di gigitan pertama," Haya menggoda dengan senyum di bibirnya.
Ben melirik sekilas, tatapannya tenang seperti biasa. "Saya mungkin bukan penggemar makanan pedas, tapi tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang Nona suka."
Haya terkikik kecil, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Benji, kadang kamu terlalu serius. Tapi di sisi ini kamu lucu."
Ben berhenti mengunyah sejenak, sedikit terkejut dengan kata-kata itu. Namun, ia segera menormalkan ekspresinya. "Kalau Nona senang, saya senang," balasnya tanpa menoleh.
Suasana di dalam mobil menjadi lebih ringan. Haya melirik Ben sesekali, merasa ada sesuatu yang nyaman dan aman saat bersamanya.
"Terima kasih, Benji," katanya tiba-tiba.
Ben menoleh singkat, sedikit heran. "Untuk apa, Nona?"
"Untuk... segalanya," jawab Haya pelan, menundukkan pandangannya. "Aku tahu aku sering merepotkan, tapi kamu selalu ada di sisiku. Rasanya seperti... aku bisa bernapas lega kalau ada kamu."
Ben terdiam sesaat, lalu menjawab dengan suara yang lebih lembut. "Itu tugas saya, Nona. Dan saya tidak pernah merasa kerepotan untuk menjaga Nona."
Haya tersenyum kecil, menatap tacos di tangannya. Malam ini, meski penuh kelelahan dan pikiran yang melayang, kehadiran Ben membuat semuanya terasa lebih mudah dihadapi.
Uhuk... Uhuk...
Ben terbatuk-batuk, mencoba menahan rasa pedas yang membakar lidahnya. Melihat itu, Hayaning dengan refleks menyodorkan gelas minumannya.
"Sudah, Benji. Jangan diteruskan. Kamu tidak perlu menyiksa dirimu sendiri seperti ini," ucapnya dengan nada setengah memerintah.
Ben menerima gelas cup itu tanpa pikir panjang, meneguk isinya dengan cepat untuk meredakan rasa pedas di mulutnya.
Setelahnya, ia menghela napas panjang, menyerah pada makanan yang jelas-jelas bukan seleranya.
"Sepertinya saya benar-benar tidak berbakat untuk menikmati makanan pedas, Nona," katanya dengan senyum kecut.
Hayaning tertawa kecil, menatap Ben yang kini wajahnya memerah karena rasa pedas, apalagi warna kulitnya yang putih sangat kontras terlihat.
"Kamu keras kepala sekali. Siapa suruh memaksa mencoba sesuatu yang jelas-jelas tidak cocok untukmu?"
Ben mengangkat bahu sambil tersenyum simpul. "Saya hanya ingin tahu rasa makanan yang Nona suka. Tapi sepertinya kali ini saya harus mengaku kalah."
"Ya, kamu memang kalah." Tatapannya tertuju pada Ben, kemudian alisnya sedikit berkerut. "Eh, ada remah di bibirmu. Sini, aku bantu bersihkan."
Tanpa ragu, Haya mengambil tisu yang tergeletak di atas dashboard mobil. Dengan gerakan lembut, ia menyeka sisa makanan di sudut bibir Ben.
Keheningan menyusup di antara mereka, namun ada sesuatu yang menghangat di udara—sesuatu yang tak terucap.
Ben, yang biasanya tenang dan terkendali, terlihat sedikit kaku saat tangan Haya menyentuh wajahnya. Tatapan mereka bertemu, hanya sejengkal jarak memisahkan, dan waktu seolah melambat.
Ia tidak tahu mengapa dirinya begitu terdorong untuk menatap bibir Haya, yang tampak sedikit memerah akibat rasa pedas. Ada dorongan aneh dalam dirinya, sesuatu yang selama ini selalu ia redam.
Tanpa sadar, mereka semakin dekat. Namun, tepat saat jarak hampir lenyap, Ben tiba-tiba tersadar. Ia menarik diri dengan cepat, napasnya sedikit memburu, sementara tangannya refleks menahan bahu Haya, menciptakan kembali batas di antara mereka.
Keheningan yang tadi terasa hangat kini berganti dengan ketegangan.
"Maaf, Nona... Saya tidak seharusnya..." Suara Ben terdengar penuh penyesalan. Ia mengalihkan pandangan, berusaha mengendalikan pikirannya.
Haya terdiam, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menarik napas panjang. Sesuatu yang bergemuruh di dadanya, tetapi ia memilih untuk tidak mengakuinya.
"Kita harus melupakan ini," katanya pelan, meskipun hatinya berkata lain.
Ben mengangguk sekali, tanpa berani menatapnya kembali. "Saya benar-benar minta maaf," ucapnya, suaranya nyaris berbisik.
Haya memalingkan wajah ke arah jendela, mencoba menenangkan dirinya.
Di dalam mobil yang kini terasa terlalu sunyi, keduanya sama-sama menyadari bahwa ada batas yang hampir saja runtuh. Dan untuk pertama kalinya, mereka merasa benar-benar berada di ambang sesuatu yang tak seharusnya terjadi lagi.