Desa Tirto Wening adalah sebuah desa yang ada di pelosok sebuah wilayah Kabupaten. Dipimpin oleh seorang pemimpin berdarah biru yang merupakan keturunan bangsawan keraton, desa itu terkenal dengan kemakmuran warganya.
Mahesa Narendra, pria tampan yang di gadang - gadang akan menjadi penerus kepemimpinan sang Ayah di Desa Tirto Wening, di minta untuk menikahi seorang gadis, putri dari sahabat Ayahnya.
Pak Suteja, sahabat sang Ayah, meminta Raden Mas Mahesa untuk menikahi putrinya yang bernama Anaya Tunggadewi. Semua itu Pak Suteja lakukan untuk melindungi putri semata wayangnya dari keluarga yang sedang memperebutkan harta waris.
Bagaimanakah romansa di antara keduanya?
akankah mereka berdua hidup bahagia?
apakah Anaya akan betah tinggal bersama suaminya di desa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GoodHand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Perkenalan
Suasana duka kental terasa di kediaman Pak Suteja pagi itu. Anaya, terlihat duduk dengan wajah yang sedih dan netra yang semab. Namun, ia tetap tegar menyalami setiap tamu yang datang menghampirinya termasuk Gusti Ayu yang kini duduk di sebelahnya.
Raden Mas Mahesa menatap wajah ayu Anaya yang tampak kuyu. Tentu saja dukanya begitu dalam, kehilangan sang Ayah yang menjadi satu - satunya orang tua setelah Ibunya tiada beberapa tahun silam.
Baik Raden Mas Mahesa maupun Anaya, sama - sama belum menyapa. Harusnya mereka bertemu lusa, saat keluarga Raden Mas Mahesa menjemput Anaya untuk di bawa ke desa sebagai istrinya.
Namun takdir berkata lain, sebelum hal itu terjadi, ternyata kabar duka yang lebih dulu datang menghampiri mereka. Kematian Pak Suteja, tentu membuat mereka semua terkejut pasalnya baru kemarin Pak Suteja dan Kanjeng Gusti saling berkabar.
Kedatangan Pak Suteja dua minggu lalu yang memaksa menitipkan putrinya, seperti menjadi firasat akan kepergiannya.
Tak hanya datang melayat, Raden Mas Mahesa pun ikut langsung mengurus jenazah Ayah mertuanya, sebagai tanda bakti terakhirnya pada sang mertua.
"Ayah, beristirahatlah dengan tenang. In Syaa Allah, aku akan menjalankan amanahmu untuk menjaga istriku, Anaya dengan baik." Lirih Raden Mas Mahesa sambil menatap wajah damai Pak Suteja.
Selesai di sholatkan, Raden Mas kembali ikut menggotong jenazah Pak Suteja hingga sampai di pemakaman. Di pemakaman pun, Raden Mas Mahendra tak tinggal diam. Ia ikut turun ke liang lahat untuk membantu menguburkan jenazah.
Anaya menatap pria asing yang sedang mengumandangkan adzan dan iqamah di liang kubur Ayahnya. Suaranya yang merdu, membuat suasana di pemakaman semakin syahdu. Tentulah tak ada ajaran di agamanya untuk mengumandangkan adzan dan iqamah saat memakamkan jenazah, mereka hanya mengikuti budaya yang secara turun temurun di jalankan oleh masyarakat.
Satu persatu pelayat mulai meninggalkan pemakaman setelah pemakaman Pak Suteja usai. Tinggalah Anaya dan sepasang suami istri paruh baya yang selama ini setia melayani keluarganya yang masih berada di samping pusara Pak Suteja.
Tak langsung pergi, Raden Mas Mahesa bersama asisten pribadinya yang bernama Raka pun masih berada di pemakaman, tak jauh dari pusara Pak Suteja untuk mengawasi Anaya yang masih ada di sana.
"Raden Mas, kenapa tidak mendekat ke Raden Ayu saja? Kan bisa menemani di sana?." Tanya Raka.
"Aku takut dia terganggu dengan keberadaanku. Dia belum tau kalau aku ini suaminya." Jawab Raden Mas Mahesa.
"Bukanya mendiang Pak Suteja sudah memberi tau tentang pernikahan kalian?." Tanya Raka heran.
"Hanya memberi tau kalau Raden Ayu sudah menikah, tapi belum memberi tau siapa suaminya." Jawab Raden Mas Mahesa.
"Lalu, bagai mana jika Raden Ayu menolak Raden Mas yang sudah menikahi Raden Ayu tanpa sepengetahuannya?." Raka merasa takut jika tuannya akan mendapat penolakan.
"Entahlah, yang jelas aku akan tetap menjaga Raden Ayu, seperti permintaan mendiang Ayah mertuaku." Jawab Raden Mas Mahesa sambil menatap istrinya yang mulai beranjak dari pusara sang ayah.
Taman belakang itu kini terasa begitu sunyi. Anaya duduk sendiri di kursi tempat ia dan Ayahnya biasa mengobrol. Taman belakang ini adalah spot favoritnya dengan sang ayah untuk sekedar mengobrol dan bersantai. Ia terus saja terngiang pesan terakhir Ayahnya sebelum meninggal.
Di tangannya, ia menggenggam sebuah surat yang baru ia baca. Surat tentang pernikahannya dengan seorang pria yang belum pernah ia temui.
"Dia pria yang baik, Nduk. Dia akan melindungi dan menjagamu." Ujar Pak Suteja kala itu.
"Ayah, mungkin dia akan menjaga dan melindungiku seperti permintaan Ayah. Tapi apakah dia bisa menerima dan mencintaiku? Apakah aku yang pendatang ini tak akan merusak kebahagiaannya? Mungkin saja ia sudah memiliki kekasih, aku takut hidup tersiksa karna kami tak bisa saling menerima dan mencintai." Lirih Anaya.
"Kenapa pernikahan ini yang menjadi hadiah terakhir Ayah? Kenapa bukan kesehatan Ayah yang membaik, yang menjadi hadiah ulang tahunku minggu depan?." Anaya kembali bermonolog, kali ini dengan air mata yang menetes.
"Assalamualaikum." Suara bariton seorang pria membuat Anaya terperanjat.
Ia menatap pria yang berdiri di sampingnya. Pria yang tadi mengumandangkan adzan dan iqamah di liang kubur ayahnya, tentu sudah mengganti pakaian kotornya setelah membantu memakamkan ayahnya.
"Waalaikumsalam." Jawab Anaya dengan suara parau, khas orang yang sedang menangis.
"Maaf, kamu siapa? Ada perlu apa?." Tanya Anaya kemudian.
Raden Mas Mahesa tersenyum tipis pada gadis di hadapannya yang terlihat was - was dengan keberadaannya.
"Boleh aku duduk dulu? Bisa kita bicara?." Tak menjawab, Raden Mas Mahesa justru balik bertanya pada Anaya.
"Njih, monggo." Jawab Anaya mempersilahkan pria yang asing untuknya itu duduk di bangku sebelahnya.
"Perkenalkan, namaku Mahesa Narendra. Putra dari sahabat mendiang ayahmu. Kamu pasti sudah kenal dengan Kanjeng Gusti Aji Pangestu dan Gusti Ayu Mawarni." Raden Mas Mahesa memulai percakapannya.
"Ada amanat dari mendiang ayahmu padaku untuk menjagamu sebagai istriku. Apa Ayah Suteja sudah menyampaikan mengenai pernikahan kita?" Ujar Raden Mas Mahesa yang membuat Anaya sedikit terkejut.
Raden Mas Mahesa kemudian mengeluarkan buku nikah mereka dari sakunya dan menunjukkan vidio akad nikah mereka di ponselnya.
"Maaf jika semua ini membuatmu terkejut. Semuanya memang terburu - buru atas permintaan Ayah Suteja." Jelas Raden Mas Mahesa pada Anaya yang sedang melihat vidio akad nikah mereka di ponsel Raden Mas Mahesa.
Anaya kini beralih memeriksa buku nikah mereka, setelah meletakkan ponsel Raden Mas Mahesa di atas meja yang berada di antara mereka.
"Terima kasih karna sudah membantu mengurus jenazah Ayah hingga memakamkannya." Ujar Anaya yang tak lupa pada sosok pria di hadapannya yang memang ikut mengurus jenazah ayahnya.
"Itu sudah menjadi kewajibanku, sebagai tanda bakti terakhirku pada Ayah Suteja." Jawab Raden Mas Mahesa.
"Aku sudah mendengar pernikahan ini dari Ayah. Ayah juga sudah menceritakan sedikit tentang Raden Mas dan permintaannya pada Raden Mas. Maaf, apakah Raden Mas keberatan dengan pernikahan ini?. Tak perlu di lanjutkan jika sekiranya pernikahan ini memberatkan Raden Mas." Ujar Anaya sambil menunduk.
"Tak ada yang memberatkan, pernikahan ini aku setujui tanpa ada unsur pemaksaan. Semuanya terjadi juga atas kehendakku, Raden Ayu." Jawab Raden Mas Mahesa yang membuat Anaya tertegun.
"Raden Ayu?" Batin Anaya yang kembali di buat shock dengan panggilan barunya.
Otak Anaya pun berputar cepat. "Kalo dia suamiku, berarti dia bakal minta haknya dong! Astaga! Aku harus gimana?." Anaya mendadak menjadi resah sendiri.
"Raden Ayu, ada apa?." Tanya Raden Mas Mahesa yang membaca keresahan pada wajah istrinya.
"E-enggak ada apa - apa, Raden." Jawab Anaya yang gugup.
"Apa Kanjeng Gusti dan Gusti Ayu, sudah pulang, Raden?." Tanya Anaya untuk meredakan kegugupannya.
"Beliau masih di villa, mungkin setelah mengikuti acara kirim doa di sini nanti malam, beliau berdua akan kembali ke desa." Jawab Raden Mas Mahesa.
"O iya, jangan memanggil Kanjeng Gusti dan Gusti Ayu lagi, Raden Ayu. Panggil saja Romo dan Ibu seperti aku memanggilnya." Imbuh Raden Mas Mahesa.
"Njih, Raden Mas." Jawab Anaya yang menurut.
Anaya masih tak menyangka, jika pria di sampingnya ini tak seseram kelihatannya. Wajahnya yang terlihat dingin dan tegas, ternyata jauh berbeda dengan sikapnya yang lembut dan hangat.
"Apa dia memang selalu bersikap seperti ini pada semua orang?" Batin Anaya.