"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 5
Adegan intens, bocil dilarang baca.
“Mau ke mana kita?” desah Ratih sambil menahan langkah, kening berkerut karena takut sekaligus penasaran ketika Rojali menarik pergelangannya.
“Ke kamar, Sayang,” jawab Rojali dengan senyum percaya diri, bahu terangkat menantang sembari membuka pintu gelap di ujung koridor.
“Tapi ini bukan kamarku,” protes Ratih, menatap tembok asing, tangan kirinya merapat ke dada meredam degup.
Menggenggam lebih erat, Rojali membimbingnya menyeberang lorong menuju ruangan lain.
“Ini kamar Sinta, bukan kamarku,” lirih Ratih sambil melirik poster remaja di dinding, napasnya memburu.
Rojali mengernyit, dahinya berlipat oleh cemburu dan bingung.
“Di rumah ini cuma ada dua kamar; selama ini kau tidur bersama adikmu?” bisiknya, suaranya bergetar di antara napas panas.
“Tidak, Sinta selalu tidur sendiri,” jawab Ratih dengan nada meyakinkan, meski tatapan menghindar.
Rojali mengusap tengkuk, hatinya kebas.
“Lalu kau tidur di ruang tengah?” tanyanya heran, sorot mata menerobos rahasia yang belum terungkap.
“Aku…” bisik Ratih gemetar, menunduk dalam, menyembunyikan luka lama yang masih berdarah.
Ratih melangkah pelan ke ruang sempit di samping dapur, sendal tipisnya berderit setiap kali menyentuh lantai semen yang dingin. Dengus napasnya tersekat di tenggorokan; udara malam merayap melalui celah dinding papan, menebarkan rasa lembab dan getir. Bahunya yang ramping sedikit merosot, seolah menanggung beban tak kasatmata yang terlalu lama disembunyikan dari dunia.
Rojali mengikuti di belakang, dadanya terangkat-turun lebih cepat daripada langkahnya. Begitu Ratih membuka daun pintu yang rapuh, aroma kapuk lembap dan kayu tua menyergapnya. Ruangan itu nyaris tak pantas disebut kamar—lebar satu meter, panjang dua. Di pojok, kasur tipis mengerut seperti daun layu; pegasnya sudah patah, tapi seprai bersih berwarna krem terselip rapi, membuktikan pemiliknya merawat dengan sisa harga diri yang keras kepala. Sebuah lemari kayu kusam berdiri sendirian, catnya terkelupas namun lipatan pakaian di dalamnya teratur seolah barisan pasukan miniatur.
“Kalau ini tempat semediku di gunung, mungkin masih wajar,” batin Rojali, rahang mengeras. “Tapi Ratih manusia biasa, istriku—kenapa ia harus tinggal seperti ini?” Gelombang marah, iba, dan rasa bersalah bertabrakan di dadanya sampai menghanguskan kata-kata.
Ratih menoleh, bibirnya terangkat paksa membentuk senyum samar. “Sepertinya tempatku… tidak nyaman, ya?” suaranya bergetar setipis benang. Ia meremas ujung daster kusamnya, mencoba menahan rasa malu yang menyesak.
Rojali menutup pintu perlahan lalu menepuk dada sendiri, menenangkan degup yang seperti genderang perang. “Tenang,” katanya serak, mencondongkan tubuh agar sejajar dengan mata Ratih. “Kau tahu sendiri, aku terbiasa menderita. Laut, hutan, gua, istana—tempat mana yang belum jadi ranjangku? Bahkan tak tidur semalaman pun pernah.” Ia tertawa pendek, hendak meremehkan kesulitan, tapi tatapan lembutnya menegaskan bahwa penderitaan Ratih bukan sesuatu yang bisa diabaikan.
Ratih duduk di tepi kasur, membiarkan pegas berderit lirih. Meski dasternya pudar, kecantikannya tetap memancar: kulit kuning Langsat yang bersih, mata bulat teduh, bibir merah alami tanpa polesan. Sinar lampu 5-watt menyapu wajahnya, memantulkan cahaya ke dalam pupil yang sembunyikan segenggam harapan.
“Kalau kau tak nyaman denganku,” bisiknya pelan namun tegas, bahu gemetar, “kau boleh mengakhiri pernikahan ini. Aku takkan menahanmu.” Jari-jarinya menelusuri garis robek halus di pinggir seprai, seolah membaca luka lama.
Rojali membungkuk, duduk di sampingnya. Permukaan kasur yang sempit memaksa bahu mereka bersentuhan, menyalurkan hangat menenangkan. “Lihat aku,” ujarnya perlahan. Ratih mendongak. Rambut panjang Rojali yang kemarin kusut kini terikat rapi; wajah tegasnya bersih, meski jenggot tipis masih menghias dagu. Mata tajam itu berkilat—bukan kilat orang gila, melainkan kepastian seorang pria yang rela melawan dunia demi orang yang dicintainya.
“Apa aku kurang tampan,” Rojali berbisik, sudut bibir terangkat nakal, “hingga kau ingin bercerai pada malam pertama?”
"Bukan begitu..." Ratih menunduk, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Suaranya lirih, hampir tenggelam oleh isak yang mulai naik ke tenggorokan. "Aku cuma anak yang tersisihkan. Aku nggak bisa jamin kamu akan nyaman tinggal di rumah ini."
Rojali menatapnya lekat, matanya menghangat, menghapus sisa penilaian di awal. Ia mendekat, merendahkan tubuhnya sejajar dengan Ratih.
"Aku yang akan melindungi kamu sekarang," ucap Rojali tegas, tapi lembut. Tangan kanannya hampir terulur, namun ia menahan, memberi ruang.
Ratih memejamkan mata, bibirnya bergetar. “Terima kasih…” ucapnya parau.
Isaknya pecah. Seumur hidup, baru kali ini ada pria yang bicara padanya dengan suara penuh keyakinan dan janji perlindungan. Ia merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Melihat air mata itu, Rojali salah paham. Ia menyentuh bahu Ratih perlahan. “Kenapa? Kamu belum siap untuk malam pertama kita?”
Ratih tak menjawab. Ia hanya menangis, menunduk lebih dalam.
Rojali menghela napas, lalu melepaskan tangannya dari bahu Ratih. Ia bangkit, mengambil tikar gulung dari sudut ruangan, lalu menggelarnya di lantai tanpa banyak bicara.
“Kamu kenapa tidur di bawah?” tanya Ratih heran, suaranya lirih tapi mulai tenang.
Rojali tersenyum tipis. “Karena aku tahu kamu belum siap. Aku nggak akan maksa.”
“Aku siap, kok…” bisik Ratih. Ia memaksakan senyum. “Kamu suamiku. Kamu berhak atas diriku.”
Rojali menatapnya lembut. “Terus kenapa kamu menangis?”
“Aku cuma… terharu dan…” Ratih menghentikan ucapannya, pipinya mulai memerah.
“Dan apa?” tanya Rojali, mendekat sedikit.
“Dan aku bingung… malam pertama itu harus ngapain?” jawab Ratih jujur, polos, tanpa malu, hanya bingung.
Rojali terdiam sejenak, lalu berdiri, menahan tawa yang nyaris pecah. Ia mendekat, menatap Ratih dalam-dalam. “Kamu pacaran lima tahun sama Bagas. Masa nggak pernah ngelakuin apa-apa?”
“Maksud kamu?” Ratih tampak benar-benar bingung.
“Pernah tidur bareng?” tanya Rojali langsung.
Ratih menggeleng pelan, matanya menunduk, kedua tangannya meremas ujung gaunnya gugup.
“Berciuman?” tanya Rojali sambil menggambarkan gerakan tangan yang konyol.
Ratih kembali menggeleng, wajahnya memerah.
“Hebat juga si Bagas. Wanita secantik kamu nggak disentuh sama sekali,” gumam Rojali kagum.
“Mmm… dia pernah bawa aku ke semak-semak, tapi aku tolak,” ucap Ratih malu-malu.
“Kenapa? Takut gatel-gatel?” Rojali berseloroh, menahan tawa.
Ratih tersenyum tipis. “Aku janji dalam hati… kehormatanku hanya buat suamiku.”
Rojali mengangkat dagu Ratih dengan lembut, jemarinya bergetar menahan gejolak, matanya menebar kehangatan sekaligus hasrat yang lama terpendam dan kini mendapatkan tempat. "Sekarang aku suamimu," bisiknya mantap, sedikit parau, "apakah kau akan menyerahkan seluruh dirimu padaku, lahir dan batin?"
Sentuhan itu membuat pipi Ratih bersemu; kilau lampu redup yang menggantung di langit-langit memantulkan kecantikannya yang kian ayu, seolah ruang kumal ikut berpendar. “Kau sudah sah menjadi suamiku,” jawabnya pelan sembari menggenggam tangan Rojali di dadanya, merasakan denyutnya, “tentu saja itu hakmu, dan hanya milikmu.”
Rojali mencondongkan tubuh; napasnya hangat merembes di sela helai rambut Ratih, membangkitkan desir aneh di kulitnya, bibir hampir menyentuh bibir mungil yang bergetar menunggu.
Tepat sebelum jarak lenyap, Ratih menarik napas panjang, menahan debar. “Bolehkah aku meminta sesuatu lebih dulu?” bisiknya, mata berkaca-kaca.
Rojali menahan diri dengan susah payah; jemarinya mengepal, menuntut kesabaran. “Sebutkan saja—harta, tahta, emas, berlian—apa pun,” ujarnya. Dalam hati Ratih kecut; mas kawinnya saja seratus ribu pinjaman dari Pak Lebe, namun keberanian lebih penting daripada logam mulia.
“Jika suatu hari ada wanita lain yang kau suka, kau harus jujur padaku,” tutur Ratih, menatap lurus, menyembunyikan kegelisahan di balik keberanian setipis kertas.
Rojali tersenyum tipis, seulas keyakinan. “Saat ini hanya kau yang aku cinta, sayangku, cintaku.” Ia kembali mendekat, bara di dadanya membumbung seperti api unggun tertiup angin gunung.
Ratih menempelkan telunjuk di bibirnya, menghentikan laju gemuruh. “Tunggu sebentar.”
Alis Rojali terangkat, sedikit frustasi bercampur kagum. “Apa lagi?”
“Kamu harus menyayangi Bapak aku,” pinta Ratih, suaranya parau tetapi tegas, menuntut janji yang tak bisa ditawar.
Rojali mengangguk tanpa ragu. “Itu sudah pasti—beliau kini orang tuaku juga.” Hasratnya meletup; ia menunduk lagi, siap meneguk manisnya cinta halal yang tersedia malam ini.
“Tunggu,” Ratih kembali menahan dengan senyum malu. “Jangan kencang-kencang… pelan saja, ya,” bisiknya, pipi menyala delima.
Rojali tertawa kecil, suara beratnya bergemuruh seperti drum bas di aula kosong. “Aku berjanji,” katanya, menurunkan tempo. Ia menautkan jemari di pinggang Ratih, menariknya mendekat, lalu menurunkan ciuman pertama—lembut, dalam, penuh hormat.
Ciuman itu mengembang setenang embun lalu menebal seperti hujan awal musim. Nafas mereka berpadu, dua nada menemukan akord sempurna; tik-tik hujan di atap seng menambahkan irama khusyuk. Rojali menahan diri sesuai janji; tiap gerak disentuh kasih, bukan nafsu liar, seperti berdoa dalam diam. Ratih merespons pelan, rasa syukur menetes—air mata yang bukan lagi takut, melainkan lega. Saat mereka rebah di kasur tipis, ruang sempit seolah berubah menjadi pelataran langit: luas, teduh, berpendar bintang-bintang kecil, menyelimuti dua jiwa dalam mahligai baru, Ratih berharap rojali lelaki yang baru dia kenal akan menepati janjinya malam ini
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
up lg thor masih kurang ini
bg jali bg jali orangnya bikin happy
sehat selalu