Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 SAKSI DI PANGGUNG
Suara kursi berderit memenuhi aula fakultas. Spanduk bertuliskan Forum Terbuka: Integritas Mahasiswa membentang di dinding, lampunya menyilaukan. Amara berdiri di dekat panggung kecil, telapak tangannya sedikit basah. Di barisan depan, Rani dan Indra sibuk membagikan lembar aturan forum kepada mahasiswa. Di sisi lain ruangan, Selvia berdiri bersama kelompoknya, wajahnya tegang, tatapannya tajam seperti ujung pisau.
Moderator seorang dosen muda mengambil mikrofon. “Forum ini untuk mendengar dan menimbang, bukan untuk mencaci. Setiap penanya maksimal satu menit. Kita mulai dari pernyataan Amara.”
Amara maju. Suaranya sempat menolak keluar, lalu ia mengingat wajah ibunya yang tenang di rumah aman dan kata singkat Bagas bahwa keberanian lebih keras dari gosip. “Terima kasih atas ruang ini. Tiga hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, foto lama saya dan Davin bukan aib, itu masa lalu sebelum saya menikah. Kedua, audit yayasan telah menunjukkan akun saya dipakai secara ilegal untuk menjejalkan transaksi fiktif. Ketiga, ibu saya baik-baik saja. Gosip yang mengatakan sebaliknya adalah kebohongan. Saya berdiri di sini bukan untuk memohon belas kasihan, melainkan untuk mempertahankan hak saya sebagai mahasiswa dan manusia.”
Ruang aula setengah hening. Beberapa mahasiswa mengangguk. Moderator memberi isyarat, sesi tanya dimulai. Seorang mahasiswa angkat tangan. “Kalau gosip itu salah, kenapa terus bermunculan. Apa Anda punya musuh.”
Amara menghela napas sekali. “Saya tidak akan menyebut nama, tapi saya tahu ada pihak yang diuntungkan ketika saya gagal. Saya memilih tidak menuduh, saya memilih menunjukkan kerja.”
Selvia mengangkat tangan tinggi-tinggi. Begitu mikrofon berpindah, ia langsung menembakkan kalimat. “Kerja seperti apa yang Anda maksud. Kerja bermain drama di media. Kerja membakar simpati. Atau kerja berkolaborasi diam-diam dengan Davin. Kami punya salinan chat yang menunjukkan Anda bertemu dengannya di hotel dua minggu lalu.”
Ruangan berbisik. Rani berdiri, hendak memprotes, tetapi Amara mengangkat telapak, meminta tenang. “Boleh saya melihat salinan itu.” Selvia memberi isyarat kepada temannya. Dari tasnya, ia mengeluarkan kertas bertanda waktu dan cuplikan kalimat yang tampak meyakinkan. Amara membacanya cepat, merasakan perih aneh di dada. Waktu yang tertera sama persis dengan jam kelas praktikum yang ia hadiri.
Indra melangkah maju. “Hari dan jam itu Amara satu kelompok dengan saya. Ada daftar hadir manual dan unggahan tugas di e-learning. Saya siap tunjukkan sekarang.” Dosen moderator mengangguk. Layar proyektor memunculkan log kehadiran, cap waktu tugas, dan foto kelas. Tepat di jam yang disebut Selvia, Amara tampak berdiri di samping papan, mempresentasikan rancangan. Seisi aula berdesis pelan.
Selvia tidak surut. “Chat bisa dijadwalkan. Foto bisa diatur.” Suaranya meninggi. “Bagaimana dengan motif. Bukankah Anda menikah demi status. Bukankah semua ini sandiwara keluarga Atmadja.”
Pintu belakang aula terbuka. Seorang lelaki memasuki ruangan dengan langkah ragu, wajahnya menegang menghadapi ratusan pasang mata. Davin. Beberapa mahasiswa berbisik. Moderator menatapnya cepat, lalu mengangguk mempersilakan. Davin memegang mikrofon dengan tangan yang sedikit gemetar. “Saya Davin. Foto di kafe itu benar terjadi dua tahun lalu. Sejak Amara menikah, kami tidak pernah bertemu. Minggu lalu ada orang menghubungi saya, menawarkan uang agar saya mengaku masih berhubungan. Saya menolak.”
Jantung Amara serasa melompat. Di sudut, Rani menutup mulutnya, terkejut. Selvia memutar bola mata. “Siapa yang menghubungimu. Bukankah pernyataanmu bisa dibayar juga.”
Davin menelan ludah. “Nomornya anonim, suaranya perempuan. Ia menyebut dirinya perantara. Ia bilang ada yang ingin Amara terlihat buruk demi menolak program yayasan.” Ia mengangkat ponsel. “Saya simpan rekaman panggilan. Saya siap menyerahkannya ke pihak kampus.”
Moderator meminta perangkat perekam kampus mencatat bukti. Aula mendadak penuh konsentrasi. Selvia bersidekap, tetapi bibirnya menegang. Seorang mahasiswa yang dikenal aktif di organisasi mengangkat tangan. “Saya tidak pro Amara atau Selvia. Saya pro proses. Bukti sedang dikumpulkan. Sampai itu tuntas, kita berhenti menyerang personal.”
Sesi berlanjut ke beberapa pertanyaan yang bertumpu pada transparansi. Amara menjawab pendek dan jelas. Ketika ada mahasiswa menuding program yayasan sekadar pencitraan, ia menampilkan data foto anak-anak dan rencana evaluasi yang sudah disepakati donor. Ketika ditanya apakah ia tidak lelah, ia menjawab bahwa lelah adalah harga dari berdiri tegak. Jawaban yang sederhana membuat sejumlah kepala menunduk, bukan karena kalah, melainkan karena tersentuh.
Selesai forum, kerumunan keluar dari aula seperti air yang mencari jalan. Di tangga, Rani memeluk Amara singkat. “Kamu hebat.” Indra menepuk bahunya. “Terima kasih sudah tidak lari.” Davin berdiri canggung beberapa langkah, menunduk sopan. “Maaf baru muncul sekarang. Aku terlalu lama diam.”
Amara mengangguk. “Terima kasih sudah bersuara di waktu yang tepat.” Ia merasakan getar kecil di dada, bukan rindu masa lalu, melainkan kesadaran bahwa kebenaran perlu saksi. Saat berbalik, ia menangkap sosok Bagas berdiri di ambang pintu belakang. Ia tidak masuk ke forum, hanya mengamati. Tatapannya bertemu dengan Amara. Ada sesuatu yang tidak terkatakan di sana. Bukan cemburu, bukan curiga, melainkan percaya.
Di halaman kampus, udara sore hangat menyentuh kulit. Beberapa mahasiswa mendekat. Ada yang mengulurkan tangan, ada yang hanya tersenyum. Amara membalas satu per satu. Baru kali ini ia merasa berat badannya sedikit berkurang, seakan batu di punggungnya digantikan sandaran kecil yang menyokong.
Ponsel bergetar. Pesan singkat dari nomor staf dekanat masuk. Undangan Rapat Etik Mahasiswa hari Jumat, agenda klarifikasi menyeluruh, wajib hadir. Amara memejamkan mata sesaat. Gelombang baru datang lagi. Ia menatap layar, lalu mengetik balasan singkat menyatakan hadir.
Sore itu juga, di ruang kerja rumah besar, Meylani membaca undangan serupa yang ia terima dari kenalan di senat akademik. Bibirnya melengkung. “Kau bisa lolos dari forum, Amara. Lihat apakah kau bisa lolos dari ruang sidang.” Ia menekan tombol panggilan, memberi instruksi pendek pada orang yang sama yang dulu memesan selebaran kampus. “Kumpulkan testimoni yang memojokkan. Jangan ada yang menyebut namaku.”
Malam turun ketika Amara tiba di rumah aman. Ibunya duduk di teras kecil, memegang selendang. “Bagaimana forum.” Suaranya pelan, tetapi matanya menyimpan kekuatan yang selalu Amara cari sejak kecil.
“Tidak semua orang percaya. Tapi semakin banyak yang mau mendengar.” Amara duduk di lantai, bersandar di lutut ibunya seperti anak kecil yang pulang membawa nilai ulangan campur aduk. “Ada undangan sidang etik. Aku akan datang.”
Ibunya mengangguk. “Datang dengan kepala tegak. Jawab dengan hati yang lurus. Orang jahat bisa menciptakan pekat, tetapi mereka tidak pandai bertahan di ruang terang.”
Amara tersenyum tipis. Ia menatap kedua telapak tangannya, mengingat rasa gemetar di panggung. Ia mengingat tatap mata Bagas di ambang pintu, singkat dan kukuh. Ia mengingat suara Davin yang jujur, meski telat. Potongan hari itu tersusun seperti mozaik yang belum rapi, tetapi membentuk gambar yang bisa dipercayai.
Malam semakin larut. Di kamar, Amara menyiapkan map untuk sidang etik. Ia menaruh salinan audit, daftar hadir kelas, tangkapan layar e-learning, surat keterangan kondisi ibunya dari dokter, dan daftar rencana program minggu depan. Ia menempelkan catatan kecil di bagian depan map. Kerja adalah jawabanku.
Ketika buku catatannya dibuka, tinta mengalir lancar.
“Forum hari ini mengajarkanku bahwa suara tidak perlu selalu keras untuk didengar, yang penting lurus dan konsisten. Ada saksi yang datang, ada tangan yang terulur, ada mata yang mulai melihat. Esok aku dipanggil ke ruang yang lebih resmi. Aku akan datang bukan untuk membuktikan aku sempurna, melainkan untuk menunjukkan aku tidak berbohong. Selama aku berjalan di jalur yang sama, gosip akan kehabisan napas.”
Ia menutup buku, mematikan lampu, lalu berbaring. Di langit-langit, bayang cahaya dari lampu teras bergerak pelan. Hatinya masih bergetar, tetapi bukan lagi karena takut. Getar itu seperti tanda bahwa ia hidup, bahwa ia memilih berdiri di tengah angin. Di luar, malam menjaga rahasia kota. Di dalam, Amara memeluk tekad baru, siap melangkah ke ruang sidang yang menunggu.