NovelToon NovelToon
Kabut Cinta, Gerbang Istana

Kabut Cinta, Gerbang Istana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Murni / Fantasi Wanita
Popularitas:432
Nilai: 5
Nama Author: souzouzuki

Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.

Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.

Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.

Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sabotase Dibalik Parade

Lengan itu tadi terasa… hangat.

Ah, bodoh! batinnya menghardik.

Ia menarik selimutnya lebih rapat, sembari menunduk dalam. “Terima kasih telah menyelamatkan saya.”

“Sebelum itu,” pria itu menatapnya dalam, “aku ingin tahu… apa yang kau lihat pagi tadi?”

Yu Zhen terdiam. Ia merasa jantungnya berdebar sedikit, bukan karena takut, tapi… karena nadanya terasa serius.

“Saya…” Ia mengatur napasnya. “Saya sedang menyapu jalur luar kandang. Lalu ada seseorang lewat membawa ember. Ia tidak menyapa. Jalannya tergesa dan... baunya aneh.”

Ia berhenti sejenak. “Saya tidak menyentuh embernya, hanya melihat dari jauh. Lalu saya kembali ke tugas.”

“Setelah itu?” tanya pria itu cepat.

“Beberapa saat kemudian... saya diserang. Saya tidak sempat melihat jelas wajahnya.”

Yu Zhen menunduk. “Saya... tidak tahu apa-apa lagi.”

Pria itu menatapnya lama, kemudian berkata pelan,

“Nona cukup jujur.”

Yu Zhen mengangkat wajah, sedikit bingung.

"Dan tidak mencoba melindungi diri dengan diam.”

Ia kembali diam.

Lalu suara itu kembali, tenang tapi mengandung ketertarikan:

“Banyak orang yang akan memilih pura-pura tak melihat. Tapi kau menceritakan semuanya. Tidak menyembunyikan. Bahkan dengan risiko kau ikut terseret masalah.”

Yu Zhen hanya bisa mengerutkan alis. Dalam hati ia bertanya-tanya—masalah apa?

Ia hanya menjawab… karena diminta.

Namun pria itu tidak tahu.

Dan dalam hati Jing Rui:

“Dayang ini... bukan hanya tidak takut. Ia jujur di tempat yang penuh tipu muslihat. Apakah ia sungguh tidak sadar siapa yang sedang ia hadapi?”

Ia mengamati wajah Zhen sekali lagi. Ada ketenangan polos yang tidak dibuat-buat. Kelelahan masih terlukis di sana. Tapi tidak ada kegugupan seperti kebanyakan dayang yang mencoba menebak-nebak posisi.

Mungkin karena dia memang belum tahu.

“Namamu?” tanya pria itu.

Yu Zhen menunduk. “Saya Yu Zhen.”

Ia tidak membalas tanya balik.

Jing Rui mengangkat sedikit alis. Ia menunggu. Tapi tak ada “dan Anda siapa?” atau kalimat basa-basi lain yang biasa muncul dari dayang baru.

Ia lalu bertanya, “Kau tahu sedang bicara dengan siapa?”

Yu Zhen menoleh, sedikit ragu.

“...Maaf. Saya hanya dengar orang-orang tadi menyebut Anda ‘Yang Mulia’.”

Jing Rui menahan senyum tipis.

“Jadi kau tidak tahu?”

Yu Zhen sedikit bingung. “Yang Mulia... bisa berarti banyak hal. Selir, pangeran, bahkan duta dari negara asing.”

Pria itu akhirnya tersenyum—tipis, tapi tulus.

“Menarik, lihat, sepertinya dia juga tak ingin tahu.”

Yu Zhen terdiam, sepertinya tak benar benar mendengar desisan kecil itu.

Dan saat para pelayan masuk lagi untuk mengganti perban, Jing Rui mundur beberapa langkah.

Dalam hati, ia mengulang nama itu sekali lagi.

Yu Zhen.

Seorang dayang. Bertubuh kecil dan manis. Tidak dibuat-buat. Jujur.

Tapi untuk pertama kalinya... tidak seperti siapa pun yang pernah ia temui.

Tak lama kemudian, terdengar suara dari balik tirai ruangan kediaman.

“Yang Mulia,” suara tenang terdengar dari luar. “Jam kesembilan hampir tiba.”

Lian He, pelayan pribadi Jing Rui, masuk setelah diizinkan. Ia membungkuk dalam.

“Segalanya telah dipersiapkan untuk Parade Panen. Kudanya juga telah diganti sesuai perintah.”

Jing Rui mengangguk, lalu melirik ke arah Yu Zhen yang kini kembali diam. Ia belum terlihat sehat sepenuhnya.

“Bagaimana dengan pakan beracun itu?”

“Kami biarkan seperti rencana semula. Kudanya akan mulai menunjukkan gejala dalam satu jam, cukup untuk dijadikan bukti sah bahwa kandang telah disabotase.”

Jing Rui menghela napas pelan. “Pastikan tidak ada suara bocor sebelum itu.”

“Ya, Yang Mulia.”

Lian He ragu sejenak, lalu menambahkan dengan lirih, “Apakah Tuan akan ikut kembali ke tempat upacara?”

Jing Rui menatap Yu Zhen. Gadis itu kini tampak tertidur lagi—masih lemah, tapi napasnya lebih teratur.

“Beri waktu lima menit lagi.”

“Tapi... Matahari sudah tinggi, Yang Mulia,” gumamnya pelan. “Semua orang mencari Anda. Parade panen dimulai sebentar lagi.”

Jing Rui tidak menjawab.

Lian He menoleh ke arah dipan, lalu menurunkan suaranya sedikit. “Kalau bukan karena saya tahu Tuan itu waras… saya pasti menyangka Anda sudah jatuh cinta.”

Jing Rui memberi tatapan tajam.

Tapi Lian He hanya berdeham ringan, lalu menunduk. “Maaf. Hamba hanya khawatir orang akan bertanya kenapa Anda menghilang sejak pagi.”

Lalu ia melirik lagi ke dipan. Dalam hati, Lian He membatin:

"Gadis ini… memang manis. Tapi dari sekian banyak bunga yang bisa dipilih di luar sana… kenapa harus yang ini?"

Tapi ia juga tahu. Pangerannya sudah lama berhenti memercayai manusia. Terlalu banyak topeng, terlalu banyak jebakan.

Dan justru karena itu, ketika muncul satu orang yang terlalu jujur untuk ukuran istana—ia menarik perhatian.

Terlepas dari niatnya.

Dan itu yang membuat Lian He lebih khawatir dari siapa pun.

---

Suara pintu berat tertutup perlahan di belakang mereka. Jing Rui melangkah lebih dulu ke dalam ruangan bercahaya temaram, di mana lentera gantung dari kuningan memantulkan cahaya keemasan ke meja panjang di tengah ruangan. Ruangan ini bukan ruang kerja utama—tapi ruangan pribadi tempat ia biasa memikirkan strategi di luar tatapan banyak orang.

Lian He mengikuti dari belakang, membawa sebuah kotak kecil di tangannya.

“Yang Mulia,” gumamnya hati-hati, “surat dari pelaku kedua masih belum dibicarakan.”

Jing Rui duduk pelan, lalu menatapnya.

“Bacakan kembali.”

Lian He membuka kotak itu, mengeluarkan secarik kertas bersegel lilin merah dan sepotong kecil logam—lencana pengawal Kediaman Timur. Ia membuka surat itu perlahan, lalu membaca dengan suara nyaris berbisik:

“Hamba tidak ingin mati begini. Tapi tak ada jalan lain.”

“Hamba tidak tahu apa tujuan mereka sebenarnya, kecuali... menjatuhkan Yang Mulia.”

“Kami diperintahkan mencemari pakan kuda istimewa yang akan Anda tunggangi. Dan jika gagal, menghabisi siapa pun yang mungkin tahu.”

“Hamba pernah melihat sendiri... Yang Mulia menyelamatkan anak-anak dari desa selatan saat banjir besar. Salah satunya adalah keponakan hamba.”

“Hamba ingin membalas kebaikan itu.”

“Lencana ini—hamba curi dari rak senjata di Kediaman Timur. Yang memberi perintah menggunakan itu sebagai bukti loyalitas. Tapi itu juga jadi bukti pengkhianatan.”

“Jika surat ini ditemukan... lindungi keluarga hamba. Hamba... sudah cukup berdosa.”

Suasana ruangan itu menegang diam-diam. Jing Rui memejamkan mata sejenak setelah mendengar bagian terakhir.

“Keponakan... dari desa selatan,” ulangnya lirih.

“Dia tahu siapa aku, tapi memilih jalan mati. Demi membalas sesuatu yang bahkan tidak pernah kuanggap jasa besar.”

Lian He menunduk pelan. “Dan dia menaruh kepercayaan itu... dalam surat.”

Jing Rui membuka mata. Tatapannya lebih tajam sekarang.

“Lencana itu asli?”

“Sudah diperiksa. Lambang ukiran bagian belakang sesuai dengan pengawal senior Kediaman Pangeran Pertama. Hamba mencocokkannya sendiri dengan data lama.”

“Bagus,” ujar Jing Rui. Ia berdiri, lalu berjalan ke jendela besar di ujung ruangan. Tirai tipis bergoyang pelan diterpa angin pagi.

“Saksinya satu. Buktinya dua. Dan waktu kita hanya satu jam sebelum Parade dimulai.”

Ia berbalik.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!