NovelToon NovelToon
Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: samsuryati

Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”

“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”

“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”

“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”

“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”

“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

7

Setelah air matanya kering dan rasa haru mulai reda, Ulan kembali menatap layar transparan itu.

Ia menatap roti kacang merah yang hampir habis di tangannya. Rasa manisnya masih tersisa di lidah, membuat tubuhnya terasa hangat seperti baru saja mandi air hangat,

Tanpa berpikir panjang, ia mengucap dalam hati dengan jelas:

"Aku ingin dua roti lagi."

Sekali lagi, layar transparan bersinar ringan dan tulisan mungil di pojoknya muncul:

Apakah kamu ingin membeli dua roti kacang merah dengan total harga 4 sen?

"Iya!" jawab Ulan cepat dalam hatinya.

Dalam sekejap, dua roti yang masih hangat dan dibungkus rapi muncul di dalam kantong kecil miliknya. Ia memeluknya seperti harta karun. Lalu, satu per satu, roti itu masuk ke mulutnya.

Gigitan pertama, nikmat.

Gigitan kedua, puas.

Gigitan ketiga, menangis lagi… tapi kali ini bukan karena sedih.

Setelah habis, Ulan menyender pada pohon dan untuk pertama kalinya dalam dua kehidupan—ia bersendawa keras.

“HIK—!” Suaranya nyaring dan menggema sedikit di lereng kecil itu.

Ia terdiam.

Lalu tertawa.

Tertawa keras.

“Hahaha! Astaga… aku bersendawa? Aku?”

Tangannya menutupi mulut. Matanya membelalak geli. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia bersendawa, atau apakah ia pernah melakukannya sama sekali.

Bahkan ketika ia sudah punya dua anak, ia tetap kelaparan hampir setiap hari. Roti, daging, gula,semuanya hanya nama tanpa rasa. Tapi hari ini, ia makan sampai kenyang. Sampai perutnya hangat. Sampai ia bersendawa dan tertawa seperti anak-anak.

Setelah tertawa puas, ia mengelus kantong yang menggembung berisi uang curian. Masih ada banyak. Ratusan rupiah, bahkan beberapa lembar uang kertas besar yang sangat berharga di era ini.

Layar kembali muncul.

"Apakah kamu ingin menyimpan uang ke dalam saldo rekening?

"Ya, simpan semuanya,"*kata Ulan mantap. Dalam hatinya.

Dan begitu saja, uang yang ia ambil dari lemari nenek,hasil dari penjualan dirinya di kehidupan sebelumnya—hilang dari tangannya. Ia yakin, semua itu sudah tersimpan aman.

Ia menepuk dada dengan puas.

Sekarang, biarlah kalau nenek menyadari uangnya hilang. Biarlah kalau ibu mulai mengomel.**

Uang itu tidak ada di sakunya. Tidak di bajunya. Tidak di bawah selimutnya.

Dan Ulan gadis desa yang selalu kurus dan lapar,untuk pertama kalinya tersenyum sambil menyentuh perut kenyangnya.

Lalu ia berbaring sebentar di rerumputan, memejamkan mata sambil menikmati angin pagi dan manisnya kacang merah yang masih tersisa di gigi.

"Hari ini aku menang," bisiknya dengan pelan, lalu kembali tertawa kecil.

Ulan masih membawa sabit kecilnya, tubuhnya terasa lebih ringan walaupun ia baru saja mencuri uang dan menyantap tiga roti sendirian. Di punggungnya, keranjang rotan sudah mulai terisi setengah oleh potongan rumput segar,makanan bagi babi-babi yang rewel di rumah.

Saat ia menuruni lereng kecil di sisi lain bukit, suara napas berat terdengar dari semak belukar. Ia berhenti sejenak, menegakkan tubuh. Tak jauh darinya, ada seorang wanita yang sedang jongkok, satu tangannya memegangi pinggang sementara tangan lainnya sibuk mencabuti rumput liar.

Perempuan itu tampak berusia akhir dua puluhan. Perutnya membuncit jelas, pertanda bahwa ia sedang hamil tua. Namun wajahnya tetap hangat, dengan kerudung kain lusuh yang menutupi sebagian rambutnya yang basah oleh keringat.

Ulan mendekat perlahan.

“Kakak Lin?" sapanya pelan.

Wanita itu menoleh dan tersenyum.

“Ah, Ulan. Kau juga cari makanan babi? Aku pikir kau pasti sudah ada di ladang."

Ulan mengangkat sabitnya, lalu menunjuk ke keranjang di punggungnya. “Belum bisa ke ladang. Disuruh cari rumput dulu. Kalau babi belum makan, bisa-bisa aku diseret ibuku.”

Kakak Lin tertawa pelan. “Kita ini memang harus kalah sama babi ya. Mereka kenyang duluan, kita nyusul nanti."

Ulan ikut tertawa, meski tawanya kering.

“Kakak masih disuruh cari rumput juga? Bukannya sudah hamil besar?"

“Mana bisa istirahat, Lan. Suamiku bilang aku terlalu banyak tidur kalau cuma duduk di rumah."Dia menjulurkan lidah sambil membuat wajah lucu. “Katanya, duduk diam saja tidak menghasilkan poin"

Ulan mengangguk, mencoba tetap tersenyum.

Ulan juga mengalami ini ketika hamil di kehidupan sebelumnya.. Jika tidak bekerja, maka jatah makan akan dipotong. Bahkan meski sedang hamil sekalipun.

“Kadang aku mikir,*lanjut Kakak Lin sambil memotong seikat rumput, “apa kita ini cuma alat produksi saja. Kalau nggak lagi hamil, ya disuruh tanam padi. Kalau nggak nanam padi, ya cari rumput. Kalau nggak nyapu rumah, ya ngangkat air. Nggak ada berhentinya.”

“Kita cuma boleh istirahat kalau mati, Kak." Ulan menyahut, suaranya ringan, namun hatinya getir.

Mereka tertawa bersamaan. Ada nyeri di balik tawa itu, tapi juga ada kelegaan karena bisa mengeluh tanpa takut dimarahi.

Setelah beberapa saat, Kakak Lin berdiri perlahan dengan satu tangan menahan punggungnya.

“Ayo, Ulan, Kita selesaiin lebih cepat. Mungkin Jika aku lelah, nanti aku bisa pura-pura pingsan biar nggak disuruh nyapu dapur juga.

Ulan terkekeh. “Aku juga mau pura-pura ketiban pintu nanti malam. Siapa tahu besok libur kerja besok hahaha.”

Tawa mereka kembali pecah di antara ilalang dan rumput liar, terdengar ringan namun menggema seperti jeritan sunyi yang tersembunyi di perut desa tua yang tak pernah memberi ruang bagi perempuan untuk benar-benar istirahat.

Kakak Lin mengelap peluhnya dengan ujung lengan baju, lalu menoleh pada Ulan yang masih tekun merunduk, mencabuti rumput yang tumbuh rapat di antara akar-akaran.

“Ulan, udah sore. Aku harus pulang. Perut ini mulai keras. Kalau aku telat masak, bisa-bisa suamiku ngamuk lagi."

Ulan mengangkat wajahnya. “*iya, Kak…” gumamnya, tapi matanya menatap ke arah keranjangnya yang masih setengah penuh.

“Ayo kita bareng pulang, nanti kita bisa turun sama-sama,” tawar Kakak Lin, nada suaranya penuh harap seperti seorang kakak yang ingin menjaga adiknya.

Namun Ulan hanya tersenyum kecil, lalu menggeleng perlahan.

“Aku belum cukup, Kak. Kalau rumputnya kurang, nanti ibuku marah. Bisa-bisa aku nggak dikasih makan malam.

Kakak Lin menatapnya sejenak, seperti ingin berkata sesuatu tapi akhirnya mengangguk. “Kau memang anak yang kuat, Lan. Tapi jangan terlalu memaksa, ya. Kalau nanti turun sendiri, hati-hati. Jangan sampai jatuh."

Ulan mengangguk.

“Terima kasih, Kak. Sampai besok.”

“Sampai besok. Jangan telat ke ladang. Nenekmu suka marah kalau kau datang paling akhir, kan?"

Keduanya tertawa kecil, lalu berpisah. Kakak Lin menuruni lereng dengan langkah pelan, sesekali mengusap perutnya sambil menggumam sendiri.

Ulan menatap punggungnya menghilang, lalu menghela napas pelan.Ulan tidak ingin kembali , dia sudah merencanakan sesuatu di benaknya.

Di sisi lain, matahari yang mulai condong menghiasi wajah desa dengan warna jingga keemasan. Di sepanjang jalan tanah yang mengarah ke rumah, satu per satu warga mulai pulang dari ladang kolektif. Peluh membasahi baju mereka, beberapa di antaranya membawa cangkul di bahu, ember berisi hasil panen seadanya, atau hanya kantong jaring kosong yang kini melambai tanpa isi.

Keluarga Ulan juga mulai tiba.

Nenek, dengan langkah lambat namun tetap sombong, masuk lebih dulu sambil menyibak kain penutup kepala. Wajahnya kusam, tapi matanya masih menyala penuh otoritas.

Di belakangnya, ayah Ulan berjalan sambil menenteng keranjang kecil yang basah oleh peluh. Di pundaknya menempel bekas anyaman rotan,tanda bahwa dia seharian memikul beban.

Ibu Ulan menyusul, wajahnya masam dan diam, tapi dia terlihat lega seperti orang yang sudah melunasi satu utang besar hari itu. pekerjaan di ladang adalah harapan untuk warga desa agar mereka bisa makan sepanjang tahun. jadi meskipun sangat melelahkan semuanya masih terbayarkan ketika melihat hasil panen.

ngomong-ngomong tahun kemarin hasil panen tidak begitu bagus. tahun ini kekeringan masih berlanjut Dan Kapten sudah sangat mengkhawatirkan kondisi tahun ini.

Hanya saja mereka sebagai petani hanya perlu bekerja keras di ladang sambil menunggu hasil. saya pikir kadang hasil tidak sebaik yang diharapkan. Kau tahu petani beras terkadang hanya bisa membuat bubur tidak memakan nasi.

inilah yang terjadi di tahun 60-an.

Mereka masuk ke rumah, satu per satu melepaskan alas kaki seadanya, menaruh cangkul, menggantung ember, dan membuka sapu tangan dari kepala.

“Hari ini lumayan juga ya. Gak sia-sia panas-panasan,” gumam ayah Ulan sambil menjatuhkan diri ke bangku pendek di sudut ruangan.

Nenek gu duduk di kursi yang lebih tinggi, menyenderkan tubuhnya sambil berkata, “Pokoknya nanti poin ini harus dihitung baik-baik. Jangan sampai yang kerja dapat sedikit, yang cuma diam di rumah malah nyerobot.

Semua orang tahu nenek sedang bicara tentang siapa.

“Tenang, Bu , nanti saya hitung. Hari ini memang lumayan, bisa dapat Lima poin di ladang jagung.” timpal ibu Ulan dengan nada lebih rendah.

Yueqing menyusup ke dapur dan mengambil sendok labu. Dia meminum air nya langsung tanpa permisi, lalu berseru, “Pokoknya aku gak mau disuruh kerja besok! Capek banget hari ini lihat matahari aja udah cukup!"

"jika tidak capek tidak kerja namanya hahaha"

Tawa kecil terdengar di antara mereka, lelah tapi juga bahagia.

Rumah itu ramai dengan suara sandal diseret, ember dijatuhkan, dan napas panjang yang dilepas setelah kerja keras.

Tak seorang pun menyadari bahwa Ulan belum pulang. Tak ada yang bertanya.

Langkah ibu Ulan tidak secepat biasanya. Kakimu seakan ditarik oleh tanah yang berat karena ladang hari ini benar-benar menyiksa. Matahari menyengat, dan cangkul terasa lebih berat daripada kemarin.

Ia langsung menuju ke belakang rumah, ke dapur kecil beratap rumbia yang biasa dipakai memasak bubur siang hari. Namun begitu ia sampai, tubuhnya berhenti kaku.

Dapur itu… hampa.

Tak ada aroma kayu terbakar. Tak ada asap tipis yang biasanya merambat dari sela-sela atap. Tungku masih dingin. Lentera minyak tergantung diam,tak menyala, bahkan sisa abu tadi pagi belum dibersihkan.

Tak ada wajan tergantung di sisi kanan. Tak ada sendok kayu basah. Tak ada tanda seseorang baru saja memasak di sini.

Matanya langsung menajam. Rahangnya mengencang.

“Ulan… dasar anak tak tahu diri!” desisnya pelan namun tajam. Tangannya mengepal tanpa sadar.

Bukannya panik atau khawatir, rasa takut akan kemarahan ibu mertuanya justru lebih dulu mencengkeram hatinya.

“Kalau ibu tahu dapur ini belum menyala, aku juga yang akan dimarahinya… pasti aku lagi!” gerutunya sambil membuka-buka tutup wadah,semuanya kosong.

Ia mendongak dan menghela napas keras, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Kenapa gadis itu gak tahu diri, sih! Sudah dibesarkan, dikasih tempat tinggal, masih juga bikin masalah!”

Kemudian, di antara umpatan yang tak sempat terucap, ada suara yang lebih pelan di dalam batinnya, seperti embusan angin di antara reranting.

“Tapi dia juga anakku... Kalau dia gak pulang, siapa yang akan masak? Kalau ibu tanya, aku yang akan disalahkan. Aku capek... Tuhan, tolong... suruh dia cepat pulang...”*

Ia menunduk, menggigit bibir bawahnya.

Matanya melirik ke sisi rumah tempat adik iparnya tinggal. Pasti si itu sudah pura-pura pusing atau berdalih sedang mencuci . Perempuan itu memang ahli dalam mencari alasan untuk menghindari giliran memasak. Selalu begitu.

“Sudah pasti nanti aku juga yang harus turun tangan. Badan masih lengket begini..."

Tapi tak ada pilihan. Ia tahu, kalau dapur tak berasap saat ibu mertua melangkah masuk nanti suara bentakan akan memenuhi seluruh rumah.

Ibu Ulan berjalan perlahan ke arah tungku, membuka tudung bambu, dan mulai menyusun ranting kering. Tapi matanya sesekali masih menatap ke arah pintu belakang rumah. Ada secercah harap—meskipun disamarkan oleh wajah keras dan keluhan tanpa henti.

“Ayo pulang, Lan. Kalau kau gak pulang juga, aku bisa gila di rumah ini...”

Tapi sayang harapannya tidak dipenuhi oleh Tuhan.Ibu mertuanya keburu masuk ke dapur.

1
Etty Rohaeti
lanjut
Fauziah Daud
yup betul ulan.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt... lanjut
Fauziah Daud
trusemangattt
Cha Sumuk
sdh bab 3 tp mc cewek nya msh bodoh ms ga phm2 bahwa dirinya lg ngulang waktu, cerita ga jls berbelit Belit kesan nya,
samsuryati: say mc nya, sejak awal hanyalah seorang gadis tanpa pengalaman bahkan tanpa ilmu pengetahuan. tidak seperti kita yang tahu membaca dia hanya tahu desa bahkan belum pernah menikmati kota. meninggal pada tahun 70 sekian, hidupnya memang seperti katak di bawah tempurung.

jadi kelahiran kembali memberikan dia pilihan namun pilihan itu belum serta merta membuat dirinya berubah dari gadis muda yang bodoh menjadi gadis muda yang pintar.
ingatlah di dalam dua kehidupan dia bahkan belum pernah belajar.
Ini bukan tentang transmigrasi gadis pintar era 21 ke zaman 60-an di mana era kelaparan terjadi.
bukan say, cerita ini di buat membuat ulan mampu merubah hidupnya selangkah demi selangkah tidak langsung instan.

salah satunya adalah dia yang tidak pernah belajar sebenarnya bisa membaca tulisan-tulisan yang dipaparkan oleh layar virtual.
ya say, anggap saja itu adalah modal pertama dia untuk berubah.
jadi aku masih perlu kamu untuk mendukung agar perubahannya bisa membuatmu puas
total 1 replies
Fauziah Daud
bagus.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt
Andira Rahmawati
ulan nya terlalu lambat telminya kelamaan..😔
Fauziah Daud
bijak ulang.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt.. lanjut
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
lanjuttt
Fauziah Daud
luarbiasa
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
hadir thor
Cilel Cilel
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!