Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 : Gevan yang sebenarnya
note : baca pelan-pelan biar lebih menghayati
...****************...
Bastian menodongkan pistol ke kepala laki-laki yang tengah bersimpuh di hadapan mereka, mengikuti perintah Tuannya. Kedua tangan pria itu terborgol, wajahnya pucat pasi menatap Gevan, yang duduk tenang di sofa. Tatapan laki-laki itu dingin, tajam, seolah hendak mengulitinya hidup-hidup.
Dan itu bukan sekadar perumpamaan. Gevan bukan orang yang bisa menerima pengkhianatan dengan mudah.
“Siapa Tuanmu?” tanyanya, suaranya datar, nyaris tanpa emosi.
Laki-laki yang dikenal sebagai Van Gofh menelan ludah, tubuhnya gemetar saat menjawab dengan tergagap, “A-Anda, Tuan...”
Gevan berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu berjalan mendekat. Matanya menatap tajam pria berparas bule Rusia itu.
“Bodoh,” umpatnya dingin.
Ia mengalihkan pandangannya ke tangan kanan, jari-jarinya bergerak seolah mengingat sesuatu. “Sejak kapan dia mulai menyelundupkan barang?”
“Delapan bulan yang lalu,” jawab Bastian tanpa ragu. “Setelah tiga tahun menjabat sebagai kepala divisi.”
Gevan mengangguk kecil, kembali menatap Van Gofh yang masih berlutut di lantai. “Gajimu kurang?” tanyanya, suaranya terdengar mengejek.
Van Gofh menggeleng cepat. “Ti-tidak, Tuan...”
Gevan menatap Bastian sekilas. “Tembak kakinya.”
Van Gofh langsung melotot takut mendengar perintah itu.
Dor!
“ARGH!” Bule Rusia itu berteriak kesakitan saat peluru menghantam betisnya. Tubuhnya refleks ingin terjatuh ke samping, tetapi Bastian sigap menahan lehernya, memaksa pria itu tetap berlutut di tempatnya.
Gevan berjongkok, menatapnya dari jarak yang begitu dekat. “Jadi, siapa yang menyuruhmu?” tanyanya sekali lagi.
Van Gofh menggeleng keras, meski wajahnya sudah memucat akibat nyeri yang menyiksa. “T-tidak ada! Saya bergerak karena kemauan saya sendiri, Tuan!”
Bugh!
Sebuah pukulan keras mendarat di wajahnya. Van Gofh limbung, tetapi Gevan tidak berhenti. Ia menarik kerah pria itu, lalu menghajarnya bertubi-tubi hingga darah mulai mengalir dari sudut bibir Van Gofh.
Gevan mengepalkan tangan, menahan kemarahan yang makin memuncak. Pengkhianatan ini membuatnya mengalami kerugian besar. Yang lebih membuatnya kesal—dia harus melewatkan makan malam bersama istri dan putranya demi mengurus hama seperti ini.
Sialan.
“Ampuni saya, Tuan!” Van Gofh menangis, tangannya berusaha meraih kaki Gevan dengan sisa tenaga yang ia miliki. “Saya akan mengganti semuanya! Tolong... lepaskan saya...”
Gevan hanya menatapnya dengan jijik, lalu tanpa ragu mengangkat kakinya dan menginjak kepala pria itu dengan keras. Van Gofh mengerang kesakitan, wajahnya menekan lantai yang sudah berlumuran darahnya sendiri.
“Bahkan jika semua organmu dijual,” ucap Gevan dingin, “itu tidak akan cukup untuk menutup setengah dari kerugianku.”
Tanpa memberi kesempatan Van Gofh berbicara lagi, Gevan menendangnya kuat hingga tubuh pria itu tersungkur ke samping. Kemudian, ia merebut pistol dari tangan Bastian dan mengarahkannya tepat ke jantung mantan bawahannya itu.
DOR! DOR!
Dua tembakan dilepaskan. Darah segar mengalir dari mulut Van Gofh, matanya membelalak kosong. Hanya dalam hitungan detik, nyawanya melayang.
Gevan membuang pistolnya sembarangan, ekspresinya tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa. “Bereskan. Kalau perlu, kirim kepalanya pada keluarganya.”
“Baik, Tuan.” Bastian mengangguk dan bergerak untuk mengambil pistol yang tergeletak di lantai. Namun, sebelum ia sempat meraihnya, tatapannya membeku pada sesuatu di ambang pintu.
Matanya melebar.
“Nyonya...?” gumam Bastian
Gevan yang mendengar itu spontan membalikkan badan, menatap ke arah yang sama. Dan di sana, berdiri seseorang yang seharusnya tidak berada di tempat ini.
Araya menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak melihat pemandangan yang baru pertama kali ia saksikan seumur hidupnya.
Ia tahu pekerjaan Gevan. Setidaknya, ia pernah mendengar namanya. Namun, melihat langsung bagaimana suaminya mengeksekusi seseorang dengan dingin seperti itu—tak bisa membuat Araya untuk tidak syok. Ia tidak pernah membayangkan bahwa laki-laki yang bahkan selama ini berusaha ia kendalikan bisa sekejam ini.
“Araya,” panggil Gevan rendah, matanya menunjukkan jika ia tak menyukai keberadaan sang istri di sini. Entah sejak kapan Araya berada di sana.
Araya masih berdiri diam di ambang pintu, tubuhnya kaku. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Jujur, ia ingin berbalik dan pergi sejauh mungkin. Namun, mengingat bagaimana sifat Gevan, itu bukan pilihan yang baik.
Tanpa bicara, Gevan melangkah mendekat. Sorot matanya mengunci netra indah Araya, yang kini dipenuhi ketakutan. Dan itu membuatnya semakin gelisah.
Tatapan itu...
Jantungnya berdegup kencang, ia tak ingin melihat tatapan ketakutan seperti itu dari sang istri, persis seperti tujuh tahun yang lalu, saat Araya melihatnya sebagai monster. Gevan tidak menginginkan itu lagi. Ia tidak ingin Araya kembali membencinya.
Ia bahkan sudah memikirkan berbagai rencana bagaimana agar tetap mempertahankan Araya di sisinya.
“Araya—“
Ucapan Gevan terhenti ketika tiba-tiba Araya melangkah maju dan memeluknya erat. Wajah mungilnya ia sembunyikan di dada bidang sang suami, suaranya bergetar saat bergumam, “Aku gak mau lihat apa pun.”
Gevan tertegun. Tangannya sempat menggantung di udara sebelum akhirnya turun, mengusap surai lembut istrinya. Pelukan ini... reaksi ini... sedikit meredakan kegelisahannya.
Araya mendongak, menatapnya dengan mata yang masih menyiratkan keterkejutan. “Ayo ke kamar kita,” bisiknya.
Gevan tak menjawab. Tanpa kata Ia langsung mengangkat Araya ke dalam gendongannya, membawanya dalam bridal style. Keduanya tetap diam sepanjang perjalanan menuju kamar, hingga akhirnya Gevan menurunkan Araya perlahan di kasur.
Mereka duduk di tepian ranjang. Gevan sengaja memilih kamar Araya, karena ia tahu suasana kamarnya sendiri terlalu suram, tidak akan membantu menenangkan pikiran istrinya.
Menghela napas pelan, Gevan menangkup wajah Araya, memaksanya untuk menatap padanya sepenuhnya. “Kamu takut?” tanyanya.
Araya mengalihkan pandangan, memilih menatap ke arah lain. “Bohong kalau aku bilang enggak,” jawabnya jujur.
Mata Gevan menyipit. Ia menekan bibirnya ke milik Araya, menggerakkannya pelan tak berselang lama.
“Balas, sayang,” pintanya lirih.
Araya belum sempat merespons ketika Gevan kembali menyesap bibirnya, kali ini dengan tergesa, seolah tak ingin memberi jeda. Araya bahkan kesulitan mengimbangi intensitas ciumannya.
Dengan gerakan kecil, Gevan sudah membawa Araya ke pangkuannya, tangan besarnya menahan bagian belakang kepala gadis itu untuk terus memperdalam ciuman mereka.
Setelah di rasa puas, barulah ia menjauhkan wajah, sedikit. Ia menatap lekat Araya yang masih terengah-engah karena ulahnya, Gevan tetap menatapnya tanpa berkedip.
“Araya...” Gevan menyelipkan rambut istrinya ke belakang telinga, suaranya berat. “Gak ada yang perlu kamu takutkan.”
Ia menatap lekat, seolah ingin menanamkan kata-katanya ke dalam pikiran Araya. “Sejak awal kamu tahu jelas pekerjaan aku, dan aku suami kamu.”
“Apa yang aku lakukan pada orang lain, adalah sesuatu yang tidak mungkin aku lakuin ke kamu. Mengerti?” Tekan Gevan.
Araya menggigit bibir, ragu. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana, hingga akhirnya hanya mengangguk kecil.
Gevan memeluk tubuh mungil istrinya dengan erat, “aku bahkan gila karena kamu, Araya.” Gumamnya. Ia tak kuasa melihat tatapan takut dari sang istri lebih lama lagi.
Hening sejenak, sebelum akhirnya Araya bertanya pelan, “Tadi itu, kenapa?”
Gevan tidak segera menjawab. Ia menatap istrinya lekat, masih memeluk pinggang ramping itu seolah takut kehilangannya.
“Dia bawahan aku yang korupsi,” akhirnya Gevan membuka suara. “Karena dia, salah satu bisnis aku nyaris bangkrut dan konsumen merasa tertipu.”
Araya mengernyit. “Bisnis?” Ia yakin yang dimaksud Gevan bukanlah perusahaan legalnya.
“Drugs,” bisik Gevan, nadanya datar. “Seharusnya dia mengirim kapal narkoba aku ke luar negeri. Tapi dia membelot—mengurangi jumlah barang untuk keuntungan pribadi.”
Meski sudah menduga, Araya tetap saja terkejut mendengar itu, kali ini ia benar-benar menyadari, dunia Gevan yang sebenarnya berkecimpung di hal-hal haram seperti itu. Araya harusnya tak lupa jika hidup mewah yang ia nikmati bersumber dari sana.
Gevan mengusap pipi istrinya, menarik perhatian Araya kembali padanya. “Melihat keterkejutan kamu, sepertinya aku harus lebih terbuka ke depannya,” gumamnya.
Gevan rasa lebih baik memberitahu semuanya sendiri. Mereka akan bersama untuk puluhan tahun ke depan, dan Araya harus terbiasa.
...****************...
tbc.
Kalau kedepannya ada yang bilang Araya lemah, dikit-dikit takut, dll. Author ingatkan kalau novel yang dia baca itu di sana tertulis Gevan yang bakal jadi malaikat mautnya, gimana ga waspada??!
Coba kalian yang di posisi Araya?! (Seneng dong kan suaminya spek Gevan hehee)
Jangan lupa like sebelum lanjut♡♡♡
semangat terus ya buat ceritanya Thor
ga smua laki2 bs kek dy
bner2 kasih istri tahta tertinggi di hatinya
anak aja nmr 2
cb di konoha
istri mah media produksi anak aje
semangat terus ya buat ceritanya Thor