NovelToon NovelToon
Sang Pewaris Takdir

Sang Pewaris Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Kelahiran kembali menjadi kuat / Perperangan / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: BigMan

~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]

Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.

Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.

Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 4 - Kedatangan Dua Bayangan, Pertanda Perang Besar

Cahaya fajar mulai menyelinap di antara celah-celah awan kelabu. Melukis langit dengan semburat orange dan merah. Namun keindahan itu terasa mencekam bagi Klan Strein. Seolah langit sendiri tahu bahwa hari ini akan diwarnai oleh darah dan pertempuran.

Di puncak menara pengawas Benteng Strein, Dai Hideo, pemimpin Klan Strein berdiri tegap dengan tangan bertumpu pada gagang pedangnya. Angin dingin meniup jubah merahnya yang berkibar ringan, memperlihatkan zirah putih dengan lambang harimau di dada. Matanya yang tajam menatap jauh ke arah lembah, tempat di mana ribuan pasukan musuh akan muncul dan melewatinya.

Hideo menarik nafas panjang sebelum menoleh ke jenderal perangnya yang selalu bersikap tenang.

"Bagaimana evakuasi?" Tanyanya.

"Hampir selesai, tetapi beberapa orang tua menolak meninggalkan rumahnya." Jawab Obura sambil melipat tangannya, "Mereka lebih memilih mati di rumah mereka daripada menyelamatkan diri seperti seorang pengecut. Itu yang ku dengar."

Hideo mengepalkan tinjunya, tetapi ia memahami perasaan mereka. Hal itu bukan semata hanya ingin mempertahankan rumah mereka, tetapi juga kehormatan yang mereka miliki sebagai Klan Strein. Namun sebagai pemimpin, ia tidak bisa membiarkan lebih banyak nyawa melayang sia-sia.

"Paksa mereka pergi jika perlu. Nyawa mereka lebih berharga daripada kebanggaan mereka!"

Obura mengangguk dan segera memerintahkan pengawal pribadinya untuk menyampaikan pesan tersebut kepada petugas yang mengawal evakuasi.

Dengan tatapan yang tajam, Dai Hideo berdiri tegap menatap cakrawala. Menyaksikan matahari menyingkirkan kabut tipis yang mengambang secara perlahan dan menyingkap lembut hamparan padang rumput di depannya.

Sementara itu, di belakangnya—di bawah benteng, para prajurit tengah berkumpul dan berbaris, mulai mengatur formasi mereka dengan wajah-wajah yang penuh tekad. Beberapa sedang memeriksa panah dan busur, sementara yang lain melatih jurus pedang mereka dengan penuh keseriusan.

Di sisi barat benteng, di barisan pemanah, Toukai, seorang pemuda berusia delapan belas tahun tengah tertunduk menggenggam busurnya dengan tangan gemetar. Ketakutan menghantui pikirannya—bagaimana jika ia mati sebelum bisa membuktikan dirinya?

Seorang prajurit berusia lebih tua, Calder, yang berdiri di sampingnya menepuk pundaknya dengan lembut, "Ketakutan itu wajar, anak muda. Tapi jangan biarkan ia menguasai mu. Kau bukan hanya bertarung untuk dirimu sendiri, tapi untuk klan, untuk saudara-saudaramu." Ujarnya menenangkan.

Toukai menatap mata Calder dan menemukan ketegasan di sana. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk.

Di sisi lain, di tempat Dai Hideo berada, Hitoshi beserta empat komandan terbaiknya—Obura, Masao, Saboru, dan Hanami, berkumpul dalam formasi setengah lingkaran—menunggu perintah.

Dari atas, mereka dapat melihat para prajurit yang tengah bersiap, pandai besi menempa senjata terakhir, dan para warga yang sudah hampir selesai dievakuasi.

"Berapa lama hingga mereka tiba?" Hideo bertanya dengan suara dalam dan tegas.

Obura, komandan terkuat dan paling berpengalaman, menjawab tanpa ragu. "Jika mereka terus bergerak tanpa berhenti, mungkin sebelum matahari mencapai puncaknya mereka akan tiba di Lembah Urgoth."

Hideo mengangguk, lalu beralih pada Saboru, penasehat militer dan ahli strategi mereka. "Apa rencanamu?"

Saboru membuka gulungan peta di atas meja kayu kasar yang ada di tengah mereka. Jarinya menunjuk pada titik-titik strategis di sekitar benteng. "Mereka akan menyerang dari depan, itu jalur tercepat dan paling terbuka. Kita perkuat gerbang utama dengan barikade tambahan dan jebakan bawah tanah." Terangnya.

Ia lalu menoleh pada Dai Hitoshi, "Hitoshi-sama, bisakah anda mempersiapkan pasukan berkuda anda di sisi timur. Begitu musuh hampir mendekati gerbang, aku ingin pasukan berkuda anda menyerangnya dari samping."

Hitoshi mengangguk mantap. "Kami akan siap. Tapi kita butuh sinyal yang tepat."

"Izinkan aku memberikannya," sela Obura, "Aku akan berada di atas benteng dan memimpin pasukan pemanah yang ditempatkan di sana. Begitu mereka terlalu dekat dengan gerbang, kita berikan hujan panah. Saat itulah pasukan kavaleri menyerang dari sisi timur."

Hanami mendengar semua pernyataan mereka dengan penuh perhatian. Namun, satu hal masih mengganggu pikirannya. "Kita tidak bisa hanya bertahan. Kita belum mengetahui kekuatan Anzai, tetapi kita semua tahu Kisaki Gin, kita tidak bisa membiarkan dia mendekati benteng begitu saja, atau itu akan menjadi sebuah petaka."

"Serahkan dia padaku!" Obura merespon dengan nada yang tegas dan penuh keyakinan, "Jika itu benar-benar dia, aku akan menghentikannya dan menjauhkannya dari gerbang. Jika hanya Kisaki Gin, itu bukan masalah besar."

Hideo tersenyum tipis. "Seperti yang aku harapkan darimu, Obura."

Di sela-sela percakapan, dua sosok hendak memasuki ruangan dengan langkah yang nyaris tanpa suara. Mereka tidak perlu mengumumkan kehadiran mereka, semua yang berada di sana sudah merasakan keberadaan mereka jauh sebelum pintu terbuka. Dengan telinga yang terpasang secara seksama, mereka mulai menebak-nebak siapa yang datang.

Pintu ruangan terbuka—seseorang membuka nya dari luar.

Sosok pertama melangkah memasuki ruangan dengan elegan, jubah hitamnya bergelayut seperti bayangan yang mengikuti setiap gerakannya. Mata emasnya memancarkan ketenangan yang mengintimidasi, memeriksa ruangan seakan membaca setiap niat yang tersembunyi di dalamnya.

Wajahnya bagaikan pahatan batu, tanpa ekspresi, tanpa celah bagi emosi untuk muncul. Tangan kanannya menggenggam hulu sabit yang terselip di pinggangnya, bukan karena kewaspadaan—tetapi karena itulah bagian dari dirinya, seperti organ yang melekat pada tubuh.

Setelahnya, sosok kedua muncul memasuki ruangan. Suara-suara terasa seakan lenyap. Keheningan menggantung berat, seperti kabut pekat yang menyelimuti ruangan.

Seorang wanita.

Rambut perak panjang mengalir di punggungnya, seakan ditenun dari cahaya bulan itu sendiri. Setiap helai berkilauan terkena cahaya pagi, bergerak ringan seiring langkahnya yang tanpa suara.

Sepasang mata keemasan menyapu ruangan—tidak dengan rasa ingin tahu, tetapi dengan sorot seorang hakim yang menilai kelayakan hidup para makhluk di hadapannya. Tatapan itu cukup untuk membuat beberapa orang menahan napas tanpa sadar, seolah takut bahwa gerakan sekecil apa pun akan menarik perhatiannya.

Zirah merah gelap membungkus tubuhnya dengan sempurna, tidak berat, tidak menghalangi gerak, tetapi jelas bukan sekadar perhiasan. Ukiran halus di atasnya tampak seperti urat nadi yang berdenyut pelan, hampir seolah-olah zirah itu memiliki nyawa sendiri.

Di pinggangnya, tersarung sebilah pedang panjang—pegangan hitam dengan pahatan naga emas yang tampak begitu nyata, seakan bisa bangkit dan mengaum kapan saja.

Dia terus melangkah, dan tekanan yang menyertai kehadirannya semakin menyesakkan ruangan.

Saboru dan Hanami berpura-pura tetap tenang, mempertahankan ekspresi dingin mereka. Namun, keringat halus di pelipis dan telapak tangan yang mengepal terlalu erat mengkhianati perasaan mereka.

Masao menarik napas panjang—bukan karena takut, tentu saja, tetapi karena mengingat kembali sensasi ini. Sensasi berdiri di hadapan sesuatu yang jauh melampaui dirinya.

Tak ada yang berbicara. Tak ada yang ingin menjadi orang pertama yang menarik perhatian sosok itu.

Senyum tipis muncul di bibir sang wanita. Itu bukan ekspresi keramahan. Bukan pula ekspresi ketertarikan. Itu adalah ekspresi seekor harimau yang baru saja melangkah ke dalam sarang kelinci. Lalu, akhirnya, suara itu terdengar.

Dia tidak perlu mengangkat suaranya, tidak perlu berbicara dengan nada tinggi. tetapi setiap kata yang meluncur dari bibirnya membawa beban yang tidak dapat diabaikan.

“Kami datang memenuhi permintaan anda, Hideo-sama.” Katanya, dengan kepala yang ditundukkan—memberi hormat.

Di sisi lain, suaranya lembut, hampir tidak cocok dengan tekanan yang ia bawa. Namun, justru karena itulah setiap kata yang diucapkannya terasa lebih berat. Lebih menakutkan.

Sang ketua klan, Dai Hideo, pria yang telah bertahan melewati puluhan tahun intrik dan perang, menghela napas perlahan. Ia bukan orang lemah—seseorang yang telah memimpin klan ini dalam bayang-bayang pertempuran, seseorang yang telah membunuh dengan tangannya sendiri lebih banyak dari yang bisa ia hitung—namun bahkan ia tidak bisa menyangkal tekanan yang kini menyelimuti ruangan.

Sejenak, ia membiarkan keheningan menggantung.

Keheningan itu bukan sekadar kosong. Itu adalah pernyataan, sebuah pengakuan diam-diam bahwa dua pendekar ini bukan sekadar bawahan yang dipanggil ke dalam pertemuan. Mereka adalah kekuatan yang sejajar, entitas yang kehadirannya cukup untuk mengubah keseimbangan kekuasaan dalam sekejap.

Akhirnya, dengan gerakan yang penuh kehati-hatian, Hideo berbicara.

“Kalian datang.”

Dua kata sederhana.

Namun, di baliknya, ada seribu makna.

Adalah kehormatan bahwa mereka hadir.

Adalah bahaya bahwa mereka hadir.

Dan yang terpenting—hadirnya mereka adalah tanda bahwa apa yang sedang Klan Strein hadapi bukanlah sesuatu yang biasa... melainkan sebuah kedaruratan.

...----------------...

1
Big Man
seru kok kak.. namnya aja yg jepang kak.. tp story line nya sma kek pendekar2 timur lain.. hnya saja.. gda kultivator .. tp istilahnya berbeda
Big Man: niat blas chat.. mlah ke post di koment.. asem dah
total 1 replies
Ernest T
lnjutttt. kren
Big Man: terimakasih kak /Applaud/
total 1 replies
Desti Sania
belum terbiasa dengan scien jepang
Big Man: Mudah2n cocok ya.. menghibur.. story line nya hmpir sma kok kak sma pendekar2 timur lainnya.. cmn istilahnya aja yang beda dan gda kultivator di sini /Grin/
total 1 replies
Desti Sania
mungkin
Desti Sania
prolog nya dah keren thor,semoga isinya gak membosankan ya
Big Man: amiin.. thanks kak.. semoga menghibur ya
total 1 replies
Bocah kecil
Abirama bukan kaleng2 keknya.. pra pendekar aja tau dan bisa merasakan kekuatan abirama yang tidak biasa.. menarik.. /Kiss/
Aditia Febrian
Aseekkk... Gass lah.. Hajar mereka Abirama!!! /Determined//Determined/
Bocah kecil
Gass lanjoot...!!!
Aditia Febrian
Makin seruu... /Determined//Determined/
Abu Yub
Aku datang lagi thor/Ok/
Big Man: Mksh thor.. /Kiss/
total 1 replies
Abu Yub
sip
Bocah kecil
Ni bocil sumpahna, yang satu baperan, yang satu cuplas ceplos.. /Facepalm/
Aditia Febrian
Tahapan ujian menjadi pendekar sejati:
1. Disiplin >> Lulus.
2. .... ?

Lanjut thoorr!!! /Determined//Determined/
Big Man: /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Bocah kecil: Bner.. relate sbnrnya..
untuk menjadi org sukses ya slah satunya :
1. Disiplin
2. Kerja keras.
3. Terusin aja sendiri
/Tongue//Joyful//Joyful/
total 2 replies
Aditia Febrian
Ngakak parah /Facepalm//Facepalm/
Aditia Febrian
Si liliane ceplas ceplosnya ampun dah /Joyful//Joyful/
Aditia Febrian
Mantap.. Sebaik-baiknya ayah, ya Abirama.. lanjut thorrr.. /Determined//Determined/
Momonga
Dramatic skali thor.. keren, salut thor.. up lg thor
Teteh Lia
Per bab na pendek, jadi maaf kalau Aq baca na terlalu cepat 🙏
Big Man: Gpp kak.. mksh udh mampir ya.. semoga ceritanya menarik dn bisa menghibur kka ya..
di Ep 11 ke atas udh di konsisten untuk katanya di min 1000-1500 kata ya kak.. semoga itu bsa mengobati kekecewaan kka ya.. /Hey/
total 1 replies
Abu Yub
lanjut thor .kunjungi novel aku juga thor ./Pray/
Big Man: siap kak.. thanks dukungannya..
total 1 replies
Abu Yub
sip deh /Ok/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!