Permaisuri Bai Mengyan adalah anak dari Jenderal Besar Bai An
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Una~ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep 5 (Revisi)
Musim berganti lebih lambat di perbatasan. Surat yang tergeletak tak berdaya di atas meja, wajah murung para petinggi barak dan amarah Wakil Jenderal Bai Fu menjadi pengantar kepergian utusan istana. Jenderal Bai An hanya memandang api yang berkobar di pasak tenda, lekat-lekat hingga suara Bai Fu memecah fokusnya. "Dia mungkin lupa, tahta yang di duduki berasal dari pengorbanan Keluarga Bai.”
Bai An tidak menanggapi dengan kata-kata, tangannya hanya melambai ringan, memerintah Bai Fu duduk kembali dan tenang. Dia berkata kepada Bai Fu untuk tidak khawatir, dalam surat itu tidak ada perintah pemecatan atau dekrit kematian, hanya sekedar sapaan ringan, tidak perlu gusar. Sapaan itu mengharuskan dia meninggalkan barak menuju ibukota dan masuk ke istana menghadap Raja. Menanggapi itu, Wakil Jenderal Bai Fu sinis. “Semua orang tahu bagaimana kebencian Raja pada keluarga kita. Jenderal, jika anda pergi, mereka──”
“Aku sudah bilang tidak perlu khawatir.” Para petinggi barak bawahan Bai Fu masih di dalam tenda, dia menenangkan Bai Fu bukan tanpa alasan. Jika prajurit tahu niat buruk Raja pada mereka, Jenderal Besar Bai An khawatir setelah kepergiannya akan ada gerakan pemberontakan. Saat itu tiba, Istana tidak akan mampu membendungnya. Dia juga berusaha memaklumi Raja, alasannya? Mungkin karena rasa cemas. Cemas karena semua orang mengakui Jenderal sebagai pahlawan yang pantas mendapatkan kekuasaan tertinggi. Rumor di pasar telah sampai ke istana.
Karena terlalu lama berada di tenda, Jenderal Bai keluar. Dia berdiri di depan lapangan kamp militer, sedang melihat para calon-calon prajurit baru yang akan di lantik setelah beberapa sesi latihan dan ujicoba. Jenderal mulai mencemaskan prajurit dan juga keluarganya. Dia bukan tidak mengetahui niat buruk orang-orang dalam istana, tapi jika dia tidak pergi──bisa di anggap menolak perintah Raja. Beberapa bulan ini, jenderal Bai terlalu sibuk dengan urusan kamp militer. “Seorang Jenderal tidak pernah menyesali keputusannya." kata dia di antara sela kepercayaannya.
Malam itu, dia memanggil Wakil Jenderal Bai Fu ke dalam tenda pribadi. Pembicaraan yang panjang hingga pagi. Tak ada satupun dari prajurit yang mengetahui isi pembicaraan antara Jenderal besar dan wakilnya. Yang mereka tahu, keesokan hari, jenderal besar Bai An di jemput dan di paksa meninggalkan Barak beserta keluarga Utama Bai. Jenderal Bai An bangga pada statusnya sebagai prajurit, dia melambai dan menitipkan pesan ketika dia sudah berada di atas kuda perang yang telah mengikuti dia sejak lama. "Jangan takut mati! Takutlah ketika kau tidak bisa melindungi negara ini padahal kalian mampu! Jangan takut mati! Banggalah kalian menjadi prajurit!"
Perjalanan panjang menuju istana, tidak menyulitkan baginya. Beberapa kali dia berusaha menengok, melihat keluarganya yang juga ikut serta dan terseret jauh. Namun, keteguhan sang istri menguatkan batinnya. Dia tersenyum, keluarganya tersenyum. Yah, surat yang datang kepadanya lebih cepat, tapi dia tidak meminta bantuan prajurit ataupun orang-orang yang berpengaruh untuk menghentikan titah Raja. Jika dia bergerak, dia bisa selamat, tapi Kerajaan Han bisa runtuh. Lalu, apa yang akan tersisa di masa depan? Dia mengucapkan banyak hal, lalu melepaskan diri dan berkorban.
Sejak dia memutuskan untuk meninggalkan barak, maka Raja telah memegang pedang di lehernya. Tinggal menunggu waktu pedang itu dilepaskan hingga kedamaian akan datang menjemputnya. Di atas kuda coklat pekat yang bergerak pelan, kepalanya bergerak menandai langit biru yang bersinar sehabis hujan. Jenderal Bai An tersenyum ketika memikirkan istana begitu jauh tapi dia bisa melihatnya sebelum menyatu dengan tanah, ternyata begitu indah.
Begitupun dengan sang putri sulung, pemilik istana Róngyù. Bagaimana kabarnya, Jenderal penasaran. "Sebagai Ayah, aku khawatir, jika fitnah ini akan mempengaruhimu. Tapi ayah yakin, Raja tidak akan mengambil keputusan yang menyimpang atau tergesa-gesa." Jenderal masih memiliki keyakinan yang teguh. Dia sudah mengambil keputusan untuk percaya dan akan selalu seperti itu.
Banyak yang ingin dia ucapkan. Mungkin, jika dia bisa kembali ke masa lalu──maka hal yang pertama kali dia lakukan adalah menghalangi perjodohan sang putri atau membiarkan sang putri berada dalam pengasuhan saudaranya. Sama seperti sebelumnya.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, hal yang terjadi tidak bisa di ubah kembali. Dia cukup dalam penyesalannya dan membiarkan takdir sang putri berjalan. Ketika dia sadar dari pikirannya, malam mulai datang. Mereka berhenti di satu desa yang berada di tengah perbatasan. Tenda mulai didirikan, seseorang pengawal istana memberitahunya bahwa mereka akan beristirahat malam ini dan akan melanjutkan perjalanan keesokan hari. Dia juga lelah, keluarganya pasti lelah. Jenderal tidak membicarakan banyak hal dengan keluarga, mereka yakin akan keputusan sang kepala keluarga dan mengikuti ajaran itu.
Ketika malam larut, istrinya menyampaikan satu hal ketika dia pikirkan membuatnya gusar. 'Bagaimana dengan Jing Wen, apa dia bisa mengambil posisimu? Bukankah ini saatnya dia kembali?' Bai Jing Wen, secara hukum merupakan anak saudaranya. Jenderal punya banyak harapan kepada pria itu, salah satunya adalah memberikan status Kepala keluarga kepadanya. Secara hukum, ketika dia menjadi kepala keluarga──semua harta atas nama Bai An akan di ambil alih, begitupun dengan aturan dan kekuasaan. Jauh sebelum masalah ini menjadi besar, Jenderal sudah menyiapkan Bai Jing Wen. Kendati demikian, pemikiran anak muda memang agak berbeda darinya. Dia merasa kolot.
Bai Jing Wen menganggap bahwa kekuasaan keluarga Bai adalah berkah bagi Keluarga Kerajaan. Jadi kekuasaan itu memang sudah sepantasnya di dapatkan atas pengorbanan nyawa mereka turun temurun. Sedang, Jenderal Besar Bai An menganggap ini suatu pengorbanan yang layak bagi prajurit yang mendapat keuntungan dari istana. Pemikiran-pemikiran ambigu yang di takuti Jenderal akan membawa malapetaka bagi negara. Apalagi melihat karakter Raja.
Bai Jing Wen juga terkenal keras kepala. Tidak ada perintah yang akan dia dengarkan, jika bukan dari Jenderal Besar Bai An. Bahkan jika Raja memintanya kembali ke istana, dia akan mencari seribu alasan agar tidak kembali ke ibukota. Bukan tanpa alasan, ibukota menyimpan luka untuknya. Namun, dia juga tidak bisa memungkiri bahwa Bai Jing Wen sangat mencintai dan menghormati keluarga Bai. Itulah mengapa muncul alasan logis memasuki indra, membuat dia berpikir bahwa Bai Jing Wen tidak cocok mengemban amanah atas nama negara.
Kepalanya di pusingkan oleh urusan duniawi. Tidak terasa, matahari pagi mulai menyingsing. Para mengawal istana mulai sibuk menarik tenda dan mempersiapkan keberangkatan. Jenderal yang hanya membaringkan tubuh semalaman tanpa tidur keluar dari tenda. Di tengah kesibukan itu, seorang pria mendekati Jenderal Bai An. Hal yang pertama Jenderal pikirkan adalah mengapa orang ini sangat membenci Keluarganya. Pria itu adalah Pangeran Han Yan, adik Raja dari Janda Selir kehormatan Liu.
Pangeran Han Yan terkenal dengan kesombongannya, dia tahu bahwa statusnya tinggi dan tidak satupun dari orang-orang yang berani menawar perkara dengannya. Bahkan jika itu kakaknya sendiri, dia selalu mendapat dukungan penuh. Pangeran Han Yan mengeluarkan Kertas yang dipenuhi warna emas, Jenderal tahu──itulah dekrit Yang Mulia Raja. Dia tertunduk menerima segala keputusan.
"Terima kasih Yang Mulia, semoga anda panjang umur"
Garis wajah pria di depannya terlihat jelas. Jenderal berbalik tapi dihentikan oleh sebuah kalimat. "Terimalah ini sebagai bentuk balasan karena mengkhianati kakakku!"
Jenderal tersenyum tipis. Entah siapa yang berkhianat. "Yang Mulia Pangeran, anda mungkin lupa bahwa saya terlahir dari keluarga Bai. Jujur dan menjunjung tinggi kebenaran. Kalian mungkin takut pada kematian tapi saya selalu bersamanya. Begitulah anak-anak kami didik, bukan hanya menjadi pajangan negara."
Kata penutup itu membuat wajah Pangeran Han Yan memerah marah, tapi dia menahan untuk bertindak atau membalas perkataan Jenderal. Semua orang melihat mereka, menjaga wibawanya sebagai pangeran adalah hal penting.
Pangeran memanggil orang dari biro keamanan istana yang ikut menjemput Jenderal. Dia memberikan sepucuk kertas lalu berbisik. "Pastikan mereka sampai dengan selamat ke istana, kau mengerti!?"
"Anda tidak ikut Yang Mulia?" Sahutnya ketika melihat Pangeran menjauh.
Pangeran berhenti. "Lakukan tugasmu, aku akan melakukan tugasku." Ujarnya sembari melangkah.
────୨ৎ────