Seorang perempuan cantik dan manis bernama Airi Miru, memiliki ide gila demi menyelamatkan hidupnya sendiri, ditengah tajamnya pisau dunia yang terus menghunusnya. Ide gila itu, bisa membawanya pada jalur kehancuran, namun juga bisa membawakan cahaya penerang impian. Kisah hidupnya yang gelap, berubah ketika ia menemui pria bernama Kuyan Yakuma. Pria yang membawanya pada hidup yang jauh lebih diluar dugaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherry_15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. Kata Tanpa Suara
“Harus berapa kali saya mengatakan ini, agar anda mengerti? Pergilah dari sini, nona!” ucap pria yang kemungkinan bernama atau marga Yakuma, merasa risih dengan gadis yang setia duduk disampingnya.
Ya, setelah berulang kali diusir dan ditolak, Airi sama sekali tidak berniat untuk pergi. Alih-alih pergi, ia justru memaksa masuk, menumpang mandi, dan ikut menjaga toko penggadaian bersama Yakuma.
Merasa kehabisan cara untuk mengusir, Yakuma mencoba untuk membiarkan Airi melakukan apapun yang ia mau. Sebut saja dia malas meresponnya.
Namun lama kelamaan, kehadiran Airi di area toko cukup membuatnya merasa terganggu. Memang perempuan itu tidak melakukan apapun selain duduk, tersenyum, dan menyapa para penggadai yang datang.
Bahkan perempuan yang serba ingin tahu itu juga, ikut belajar bagaimana caranya melayani. Ia hanya ingin membantu dan merasa berguna. Namun entah mengapa Yakuma merasa risih.
Sesekali Yakuma juga curi-curi pandang pada setiap hal yang Airi lakukan. Tak jarang perempuan penuh dedikasi itu, mengisi kekosongan hari dengan menggambar di sketchbook yang selalu ia bawa bersamanya.
Jujur saja, Yakuma sedikit terkesan dengan gaya gambarnya yang cukup memukau. Airi menggambarkan beberapa desain karakternya sendiri, dengan berbagai style dan emosi yang berbeda juga diberi nama yang berbeda. Tak lupa ia menuliskan namanya sendiri, lalu tanggal gambar itu terukir dalam kertasnya.
Meski hanya gambar, Yakuma bisa merasakan setiap emosi yang tersirat dalam karakter karya Airi. Sekilas ia teringat akan hidupnya yang bebas dalam dunia seni. Hingga tanpa sadar, bulir air menetes dari matanya.
“Jika boleh tahu, mengapa kau ingin bekerja di toko pegadaian?” tanya Airi tiba-tiba, sembari terus fokus menggambar.
Yang ditanya sempat tersentak, setiap lamunannya seketika sirna.
“Hah?” tanyanya sembari menyeka air mata yang sempat tumpah.
“Bukankah membosankan? Hanya duduk, dan menunggu penggadai yang bahkan entah akan hadir atau tidak.” Airi melanjutkan pertanyaannya, tanpa sedikitpun mengalihkan atensi dari kertas dan pensil.
“Tidak sama sekali. Justru pekerjaan ini memberiku kebebasan dan ketenangan.” jawab Yakuma dengan nada bicaranya yang datar.
“Bebas apanya? Setiap hari, kau hanya terkurung di bangunan ini dan membuang waktumu tanpa melakukan apapun!” Airi sepertinya masih belum memahami sudut pandang Yakuma.
“Jika kau merasa waktumu terbuang sia-sia, sebaiknya kau mencari pekerjaan lain!”
“Aku tidak membuang waktuku! Sambil menunggu, aku bisa menggambar dan mengasah bakatku. Sedangkan kau, hanya terdiam dan melamun!” elak Airi, menjelaskan sudut pandangnya.
“Aku tidak terdiam!” Yakuma juga mengelak dengan tegas. Kali ini Airi mengalihkan atensinya pada Yakuma, menatapnya penuh tanya.
Yakuma menghela napas berat. “Mungkin kau kira ragaku ini hanya terdiam, namun isi kepalaku begitu berisik.” lanjutnya.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Airi penasaran.
“Banyak hal.” jawab Yakuma, menghentikan sejenak kalimatnya.
“Bagaimana cara dunia ini bekerja, setiap aktivitas manusia yang berbeda, tingkah laku binatang yang begitu alami, dan setiap kejadian menarik dari kedai itu.” lanjutnya menjelaskan.
Tanpa perlu ditunjuk, Airi sudah memahami kedai mana yang dimaksud oleh Yakuma. Sontak gadis itu mengalihkan pandangannya pada kedai tersebut, mencoba menyidik hal menarik apa yang terjadi di sana.
Ada pelanggan anak kecil yang bermain lari-larian, ada sekeluarga yang berkumpul untuk merayakan ulang tahun salah satu anggotanya, ada sekumpulan pemuda yang bermusik di panggung kecil, ada juga yang hanya sekedar menikmati suasana hangat sembari fokus bekerja.
Kali ini, air mata Airi lah yang menetes tanpa ia sadari. Teringat akan sosok keluarganya yang sudah tiada, mengenang masa kecilnya yang sempat bahagia.
“Kau paham kan, sekarang? Terdiam, bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Banyak pelajaran yang bisa diambil, jika berdiam diri dalam keadaan tenang.” ucap Yakuma tanpa nada bicara, setelah menyadari kilau air mata yang mengalir indah dari gadis di sebelahnya.
“Aku.. aku rindu mereka.” hanya itu yang bisa terlontar, dari bibir dan suara Airi yang bergetar.
Tanpa perlu dijelaskan, Yakuma sudah bisa memahami siapa yang sedang Airi bicarakan. Terdapat sedikit rasa prihatin dan bersalah dalam hatinya, namun ia enggan menunjukkannya.
Yakuma menghela napas yang entah apa maknanya.
“Tenggelam dalam kesedihan, tidak akan mengembalikan yang telah lepas dari genggaman. Lihatlah! Hidup terus berjalan dalam bola yang selalu berputar ini, seberapa liter pun kau menghabiskan air mata untuk kehidupan yang telah usai.”
Untuk pertama kalinya, Yakuma berbicara dengan lembut pada Airi. Hal itu membuat gadis yang sedang diajak bicara, menatap haru padanya. Sedikit tersentuh akan ilmu hidup yang ia berikan.
Tersadar sedang diperhatikan, Yakuma pun berdiri sembari menyentuh pahanya sendiri sebagai tumpuan. Airi menatapnya dengan penuh tanya, akan kemana pria ini pergi? Rasa takut dan trauma ditinggalkan, kembali menggerogoti kepalanya.
“Kau tunggu saja di sini, aku tidak akan lama.” ucapnya kembali tanpa nada bicara, seolah menjawab pertanyaan yang tak terusarakan. Walau sebenarnya, Airi masih belum puas oleh jawaban itu.
Namun saat ingin ditanyakan, Yakuma sudah menghilang entah kemana. Airi hanya bisa menunggunya dalam rasa ragu, khawatir ia akan benar-benar meninggalkannya seperti tadi malam.
Selang lima belas menit Airi menanti sembari menggambar, Yakuma kembali membawakan dua bungkus makanan. Salah satunya, ia letakan tepat di belakang sketchbook milik Airi.
Tentu saja ia meletakkan alas lebih dulu dibawah bungkusan yang ia taruh. Pria itu paham betul bagaimana sakitnya, jika kertas yang digunakan untuk berkarya ternodai oleh minyak makanan.
Setelah melakukan aksinya, tanpa menagatakan apapun Yakuma kembali duduk di sebelah Airi. Ia membuka bungkus makanannya, lalu menyantapnya dengan lahap.
Airi yang masih belum mengerti pun, hanya bisa menatap penuh tanya. Bukan hanya karena Yakuma tak mengatakan apapun, namun juga karena ia meletakkan alas dibawah bungkus makanan yang diberikan padanya.
“Dari mana dia tahu, bahwa buku ini adalah hal yang paling tak boleh ternodai? Mengapa juga dia peduli?” pikirnya penasaran.
“Kau tak makan? Apa benar kau ingin melanjutkan hidupmu?” tanya Yakuma dengan nada sedikit sarkastik, tanpa menoleh sedikitpun pada yang ditanya.
“Anu.. maaf. Tapi.. berapa harga yang harus ku bayar untuk makanan ini?” tanya Airi, ragu.
“Semalam saja, kau sampai mengemis hingga tidur didepan tokoku, hanya untuk menggadaikan dirimu sendiri. Apa kau punya cukup uang untuk membayarnya!?” lagi, Yakuma berbicara dengan nada sarkastik.
Airi sempat terdiam, hatinya sedikit terluka mendengar pertanyaan tajam tersebut. “Maaf, aku tak memiliki apapun selain diri sendiri.” ucapnya malu akan fakta itu.
“Kalau begitu, cepatlah makan tanpa banyak tanya!” ketus Yakuma, kesal dengan perempuan yang lambat dalam berfikir ini.
Airi sempat ragu, namun tak lama setelahnya ia tersenyum manis sembari mengangguk riang. “Terimakasih.. ummm..? Bagaimana aku boleh memanggilmu?”
“Kuyan. Namaku Kuyan. Panggil aku dengan nama itu saja!” jawabnya menyebutkan nama depan, penuh penegasan dan ketus.
“Baiklah, Kuyan. Terimakasih.”
“Hmm.” jawab Kuyan singkat, tak mau terlalu ramah.
Mereka pun melanjutkan makan siang, dalam keheningan. Entah mengapa suasana diantara mereka, terasa begitu canggung bercampur tegang.
Hingga usai menikmati makanan, Kuyan mengeluarkan satu cup besar berisi Hot Lecy Tea. Lalu ia meletakkannya di sebelah Airi tanpa mengatakan apapun.
Lagi, Airi menatapnya penuh tanya. Yang ditatap, membalas tatapannya dengan sinis. “Apa!? Kau tak butuh minum!? Apa kau tidak mencintai suaramu yang hampir hilang akibat minyak dari makanan itu!?”
“Bukan begitu! Tapi.. bagaimana kau bisa..?”
“Tahu minuman favoritmu?” Kuyan menyela. Airi hanya mengangguk. “Koki gondrong itu yang mengatakannya padaku.” jawabnya ketus.
Meski tidak terlalu jelas dan terkesan kasar, Airi tersenyum kecil ketika memahami apa yang terjadi. Baginya, Kuyan adalah pria yang lucu dan manis.
Meski sikapnya terkesan tak peduli, namun ia sampai rela menanyakan menu minuman favoritnya pada koki di kedai seberang.
Airi menerima minuman itu dengan senang hati. Lalu mereka menikmati waktu sedari siang hingga jam tutup toko, dengan kecanggungan dan sedikit obrolan ringan yang tidak terlalu penting.
Tiba juga waktunya untuk melihat Kuyan pulang. Rasanya, berat bagi Airi untuk berpisah. Ia hanya bisa menggenggam erat tali ransel pada bahunya, sembari melihat Kuyan mengunci pintu juga menutup rolling door tokonya.
Pria itu menatap sinis ke arah gadis yang sedang menatapnya.
“Mengapa melihatku seperti itu!?” tanyanya ketus.
“Kau ingin bermalam lagi disini, dan mati beku!?” lanjutnya.
“Apa?” tanya Airi tak mengerti.
“Ayo ikut!” perintah Kuyan dengan nada bicara ketus.
“Eh?” Airi masih tak mengerti.
“Kau tak punya tempat tinggal, kan?”
“Iya, tapi..” Airi mulai mengerti, namun sedikit ragu.
“Ikut aku, atau jadi gelandangan saja sana tidur di kolong jembatan!” terus saja Kuyan berbicara dengan nada ketusnya.
“Ah!” Airi sedikit tersentak dengan ancaman yang baru saja ia dengar.
“Tak mau kan, tidur di kolong jembatan?”
“Tak mau!” jawab Airi, sedikit merengek ketakutan.
“Kalau begitu, ayo cepat ikut aku tanpa banyak tanya!”
Airi mengangguk ragu. “Terimakasih, Kuyan.”
“Hmm.” jawabnya singkat dan dingin, lalu mulai melangkah pulang.
Dengan perasaan campur aduk, Airi mengikutinya dari belakang. Menjaga batas jarak aman. Ia tak mengerti dengan apa yang terjadi, bahkan ia juga tak tahu harus merespon hal ini dengan perasaan seperti apa.
Di satu sisi, ia senang mendapatkan tempat tinggal. Namun di sisi lain, perilaku Kuyan sering kali menyakiti hatinya. Sempat menjadi pertimbangan baginya, akan mana hal yang lebih baik.
Mati beku karena tidur di kolong jembatan, atau mati pendarahan hati karena Kuyan sering menancapkan lidah tajam? Apapun itu, biar takdir yang menentukan jawabannya.