Cegil? itulah sebutan yang pantas untuk Chilla yang sering mengejar-ngejar Raja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masakan Chilla
Chilla melangkah keluar dari kamar dengan wajah cemberut. Suara Raja sedang berbicara di telepon dengan nada mesra membuatnya kesal. Dia tahu itu pasti Sella, perempuan yang terus mendekati suaminya di sekolah. Jika pria itu bukan Raja, mungkin Chilla sudah menonjoknya tanpa pikir panjang. Namun, cinta yang begitu besar pada Raja membuatnya menahan diri. Alih-alih melawan, Chilla terus berusaha agar Raja melihatnya dan menyadari keberadaannya.
Dengan langkah malas, Chilla menuju dapur untuk memasak. Mengaduk-aduk bahan makanan yang ada, dia mencoba mengalihkan emosinya ke aktivitas memasak. Setelah selesai, dia duduk di meja makan dan mulai menikmati hasil masakannya. Suapan pertama terasa nikmat, tetapi suara langkah kaki Raja yang mendekat membuatnya berhenti.
Raja keluar dari kamar dengan ekspresi datar, lalu melihat ke arah meja makan. "Lo masak?" tanyanya sambil melirik makanan di meja.
Chilla mendongak dan tersenyum kecil. "Iya lah, kenapa? Lo laper?" tanyanya balik, meski sudah tahu jawabannya.
"Iya," sahut Raja tanpa basa-basi. "Mana makanan gue?"
Chilla terkekeh kecil. Ini adalah momen langka. Raja, si pria angkuh yang sering bersikap dingin padanya, akhirnya membutuhkan sesuatu darinya. "Panggil gue sayang dulu, atau nggak istriku, mana makanan buat aku," ucapnya dengan nada bercanda, meski di hatinya ada harapan Raja benar-benar melakukannya.
Raja mendengus sinis. "Ogah. Gue mending makan di luar daripada harus manggil lo kayak gitu."
Chilla hanya mengangkat bahu sambil tertawa kecil. "Oke, oke. Nih, cepet makan," ujarnya sambil menyodorkan piring berisi makanan ke depan Raja.
Raja menarik kursi dan duduk di hadapan Chilla tanpa berkata apa-apa. Dengan sikap acuh, dia mulai menyantap makanan di piring. Awalnya, dia terlihat ragu, tapi lama-lama suapan Raja semakin cepat. Melihat itu, Chilla tersenyum puas.
"Enak kan?" tanyanya, matanya berbinar penuh harap.
Raja mengangkat kepala sebentar, menatapnya dengan ekspresi datar, lalu menjawab singkat, "Biasa aja."
Chilla tertawa pelan, tidak terlalu kecewa karena dia tahu Raja tidak pandai menunjukkan penghargaan. "Biasa aja, tapi habis," ucapnya sambil menunjuk piring kosong di depan Raja.
Raja hanya mengangkat bahu. "Makan aja kok banyak drama," sahutnya sambil berdiri dari kursi. Dia mengambil gelas air di meja dan meminumnya.
Chilla menatap punggung Raja yang berjalan kembali ke kamar. Dalam hati, dia merasa sedikit senang. Meskipun ucapan Raja tidak menunjukkan penghargaan, setidaknya pria itu memakan masakannya sampai habis. Itu berarti dia sudah sedikit masuk dalam kehidupan Raja, meskipun perlahan.
"Lo nggak usah berharap lebih, Chilla," ucap Raja tiba-tiba sebelum masuk ke kamar. "Gue cuma makan masakan lo karena laper, bukan karena gue peduli sama lo."
Chilla tersenyum tipis, meski hatinya terasa sedikit sakit. "Terserah lo, Ren. Tapi gue yakin, satu hari nanti lo bakal sadar kalau gue ini lebih dari sekadar cewek yang masakin lo makan," gumamnya pelan sambil mulai membereskan meja makan.
Walaupun Raja terus bersikap dingin, Chilla tahu dia tidak boleh menyerah. Cinta memang tidak selalu mudah, tapi dia yakin suatu saat nanti, hatinya akan sampai ke hati Raja.
*****
Chilla menyusul Raja masuk ke kamar setelah selesai membereskan meja makan. Dia melihat Raja duduk di meja belajar dengan serius, sibuk menulis sesuatu. Chilla mendekati tempat tidur dan melemparkan tubuhnya ke atas kasur, memeluk bantal dengan santai.
“Lo udah ngerjain tugas Bu Siska?” tanya Raja tanpa menoleh.
“Belum,” jawab Chilla santai. “Gue ngerjain di sekolah aja, gampang itu mah.”
Raja mendengus kesal, meletakkan bolpennya dan menoleh ke arah Chilla yang tampak terlalu santai. “Dasar males. Tugas sekolah aja lo ogah ngerjain. Malu-maluin banget, lo tuh kaya anak kecil yang gak bertanggung jawab,” ketusnya.
Chilla menoleh dengan wajah penuh senyum, tidak terpengaruh sama sekali oleh nada tajam Raja. “Gue nggak males, tau! Buktinya tugas istri gue jalanin semua,” sahutnya sambil mulai menghitung dengan jarinya. “Mulai dari nyuci baju lo, beres-beres apartemen, masak, nyapu, ngepel. Cuma ada satu tugas istri yang belum gue kerjain.”
Raja mengernyitkan dahi, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Chilla. “Tugas apaan lagi?” tanyanya curiga.
Chilla bangkit dari posisi rebahan dan menatap Raja dengan senyuman penuh percaya diri. “Tugas layanin lo,” jawabnya dengan nada menggoda, sambil mengedipkan matanya.
Raja mendengus keras, matanya menatap Chilla dengan penuh rasa tidak percaya. “Jangan mimpi,” katanya sinis. “Gue gak bakal sentuh lo sampai kapanpun.”
Chilla hanya tertawa kecil mendengar ucapan Raja, tidak merasa tersinggung sama sekali. Ia tahu bagaimana sifat suaminya itu—keras kepala, dingin, dan penuh rasa benci pada pernikahan mereka. Tapi dia juga tahu, jauh di dalam hati Raja, pasti ada sedikit ruang untuknya. “Santai aja, Ren. Gue juga gak ngarep-ngarep amat,” balas Chilla sambil kembali merebahkan tubuhnya di kasur.
Raja mengabaikan Chilla dan kembali fokus pada tugasnya. Tapi meskipun dia berpura-pura tidak peduli, pikirannya terusik oleh sikap santai Chilla. Bagaimana bisa gadis itu tetap tersenyum seolah tidak peduli dengan semua perlakuan buruknya? Bukannya marah atau menangis, Chilla malah selalu menanggapi segala cemoohannya dengan candaan. Itu membuat Raja semakin kesal.
“Lo tuh ya, dasar nggak tau malu,” ucap Raja akhirnya, mencoba melampiaskan kekesalannya.
“Kenapa?” tanya Chilla sambil memiringkan tubuhnya untuk menghadap Raja. “Kan bener, gue istri lo. Ngapain malu sama suami sendiri?”
“Ya lo emang nggak punya malu, udah,” desis Raja, mencoba menutupi rasa gugupnya.
“Gue nggak perlu malu, karena gue udah halal buat lo, Ren,” sahut Chilla dengan nada ceria. “Apa lo yang malu karena belum siap ngadepin kenyataan?”
Raja tidak menjawab. Sebaliknya, dia hanya menggelengkan kepala sambil kembali menulis. Tapi di dalam hatinya, dia tahu Chilla ada benarnya. Dia belum bisa menerima kenyataan bahwa gadis yang dia anggap kekanak-kanakan itu sekarang adalah istrinya. Dan lebih dari itu, dia tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadapnya.
Sementara itu, Chilla hanya tersenyum kecil. Dia tahu Raja masih berusaha menyesuaikan diri dengan situasi mereka. Tidak apa-apa, pikirnya. Dia punya banyak waktu untuk membuat Raja menerima kenyataan ini, dan lebih dari itu, menerima dirinya.
“Udah, nggak usah banyak ngomong. Tidur sana, besok pagi gue nggak mau lo bangun kesiangan lagi,” ucap Raja akhirnya, mencoba mengakhiri percakapan mereka.
“Siap, suamiku tersayang,” balas Chilla dengan nada menggoda sebelum memejamkan matanya.
Raja hanya menghela napas panjang. Hidup dengan Chilla memang seperti menghadapi badai kecil setiap hari, tapi entah kenapa, dia merasa ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa benar-benar membenci gadis itu. Mungkin, dia hanya belum siap untuk mengakuinya. Ya mungkin saja seperti itu.