Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Anya tersentak mendengar tuduhan Nara. Wajahnya pucat, tangannya gemetar saat meraih gelas berisi air minum. Ia meneguknya dengan terburu-buru, seakan-akan berusaha menenangkan diri. Namun, gerakannya yang gelagapan justru semakin memperkuat kecurigaan Nara.
“Konspirasi apa yang sedang kalian mainkan?” Nara bertanya lagi, suaranya sedikit lebih keras kali ini, menunjukkan emosinya yang mulai tak terbendung. Ia menatap Anya dengan tajam, mencari jawaban jujur lewat matanya.
Anya, dengan wajah yang masih pucat, mengelak dengan tegas. “Aku … aku nggak terlibat dalam konspirasi apa pun!” suaranya bergetar, menunjukkan betapa syoknya ia dengan tuduhan itu. “Aku hanya … aku bersalah karena membiarkan kamu bersama Pak Devan malam itu. Aku nggak tahu apa motivasi Pak Devan sebenarnya …. ”
Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Tapi … aku yakin Pak Devan menyukai kamu. Aku melihat di matanya malam itu ….” Anya menatap Nara dengan mata berkaca-kaca, “Makanya aku percaya sama dia … maafkan aku, Nara.” Ia menundukkan kepalanya, menunjukkan penyesalan yang tulus.
Nara mendesah pelan, merasa sedikit tenang. Meskipun masih ada keraguan, penjelasan Anya sedikit meredakan amarahnya. Sementara di bawah meja, tangan Devan dengan lembut mengusap tangan Nara, dengan sentuhan yang penuh perhatian.
“Nanti kalau udah di rumah, aku jelasin semuanya ya,” bisik Devan, suaranya lembut, mencoba menenangkan Nara. “Sekarang kamu makan dulu sekarang!” Ia memberikan senyum yang tulus, mencoba meyakinkan Nara bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun, di balik senyum itu, Nara masih merasakan sesuatu yang ganjil. Kepercayaan yang sempat goyah itu belum sepenuhnya pulih.
“Nara, kamu jangan marah … maafkan aku ya!” Anya memohon, wajahnya memelas, menunjukkan penyesalan yang tulus. Matanya berkaca-kaca, menambah kesan dramatis pada permintaan maafnya.
Nara menatap wajah sahabatnya itu, melihat kesungguhan dalam raut wajah Anya. Akhirnya, ia mengangguk pelan, menyatakan penerimaan atas permintaan maaf Anya.
“Tapi … urusan kita belum selesai,” ujar Nara, suaranya masih terdengar sedikit dingin, “Aku belum tahu semuanya.” Keraguan masih tertinggal dalam hatinya, meskipun ia memilih untuk mempercayai Anya untuk saat ini.
Anya memeluk Nara erat-erat, menunjukkan rasa syukurnya. Nara membalas pelukan itu, menunjukkan bahwa persahabatan mereka masih kuat.
Devan, yang menyaksikan adegan pelukan dua sahabat itu, merasakan sedikit kelegaan. Ketegangan yang sempat mencekam mulai mereda.
Dio kembali menghampiri meja mereka. Tepat bersamaan dengan waktu makan siang yang hampir habis. Nara dan Anya harus kembali ke kantor.
“Mau ke mana?” tanya Dio, suaranya ramah.
Anya tersenyum manis, sebuah senyum yang tampak dibuat-buat, menunjukkan bahwa ia memiliki sesuatu pada Dio. “Kita mau balik ke kantor. Duluan ya, Mas Dio, Pak Devan.” Ia melambaikan tangan, kemudian menarik Nara pergi.
Berbeda dengan Anya yang mampu bersikap genit dan ramah kepada Dio, Nara bersikap sebaliknya. Ia hanya melirik Devan sebentar, sebuah tatapan yang penuh makna, lalu menunduk, langkahnya tergesa-gesa meninggalkan restoran.
Devan menatap kepergian Nara, seolah-olah menyadari ada sesuatu yang masih disembunyikan.
**
Sore itu, mentari mulai merunduk di ufuk barat, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Nara yang pulang kantor lebih dulu dari suaminya, mampir ke supermarket dekat apartemennya.
Wanita itu tenggelam dalam hiruk-pikuk belanja, menyeleksi barang-barang kebutuhan rumah tangga. Hingga tanpa terasa satu jam berlalu dengan cepat. Ponselnya berdering, menampilkan nama "Devan" di layar.
“Sayang, kamu di mana?” suara Devan terdengar sedikit khawatir.
“Aku masih di supermarket dekat rumah, lagi belanja,” jawab Nara, suaranya masih terasa dingin, sama seperti saat di restoran siang tadi.
“Oh, ya udah hati-hati, ya,” balas Devan, suaranya terdengar datar, tanpa menyinggung niatnya untuk menjemput.
Nara memandang ponselnya dengan sinis, lalu melanjutkan aktivitas belanjanya. Di lorong sereal, ia berusaha meraih kotak sereal kesukaannya yang berada di rak paling atas. Tangannya tak mampu meraihnya.
Tiba-tiba, sepasang tangan muncul di belakangnya, membantu Nara mengambil kotak sereal tersebut. Ia menoleh, dan seketika jantungnya seakan berhenti berdetak.
Endra, mantan tunangannya, berdiri di sana, dengan senyum yang sedikit canggung.
Devan, yang datang untuk memberi kejutan, terpaku di tempat. Dari kejauhan, ia menyaksikan adegan itu, sebuah pemandangan yang menusuk hatinya.
Endra melirik isi keranjang belanjaan Nara, matanya berbinar. “Wah, ternyata kesukaanmu sama sekali nggak berubah ya, masih sama seperti dulu, ya,” katanya, suaranya terdengar hangat, menciptakan getaran yang tak nyaman di hati Devan yang mengintip di kejauhan.
Kenangan bersama Endra membanjiri pikiran Nara: belanja berdua, es krim di sore hari, sentuhan tangannya …. Semua terasa begitu nyata, menyakitkan, dan begitu dekat, sementara ia terpaku oleh kehadiran Endra yang tiba-tiba.
Endra melanjutkan, suaranya sedikit lebih pelan, “Nara … kenangan-kenangan kita … sangat sulit aku lupakan.” Kalimat itu menggantung di udara, sebuah pengakuan yang tak terucapkan, menciptakan ketegangan yang semakin mencekam.
Devan, dari kejauhan, mencengkeram tangannya. Kecemburuan dan rasa kehilangan bercampur aduk dalam hatinya.
Nara mengambil kotak sereal dari tangan Endra, sentuhan tangan mereka sekilas menciptakan percikan ketegangan yang tak terelakkan. Suaranya terdengar dingin, keras, “Semua ini karena kesalahanmu sendiri. Kalau kamu nggak selingkuh sama Renata, ini semua nggak akan terjadi.” Kalimat itu keluar seperti sebuah tuduhan, mengingatkan Endra pada kesalahan masa lalu yang telah menghancurkan hubungan mereka.
Endra tampak ingin meraih tangan Nara lagi, sebuah usaha untuk menjelaskan, untuk meminta maaf. Akan tetapi, Nara dengan cepat menepisnya, menunjukkan penolakan yang tegas.
“Kamu harus tahu batasan, Endra. Kamu udah punya istri dan anak. Aku juga udah punya suami.” Ia menjaga jarak, menunjukkan bahwa ia telah move on, bahwa masa lalu telah berlalu.
Namun, Endra tak menyerah begitu saja. Ia menatap Nara dengan mata yang penuh penyesalan. “Aku nggak mencintai Renata. Aku … aku terjebak, Nara. Lagi pula … kamu dan Devan nggak saling mencintai, ‘kan? Dia menikahi kamu demi balas dendam sama keluargaku, ‘kan? Nara … aku mencintai kamu, sedangkan Devan … dia hanya mau menipumu!”
Kalimat-kalimat Endra menusuk hati Nara. Tuduhan itu, meskipun menyakitkan, menciptakan benih keraguan dalam hatinya. Apakah Devan memang menipunya? Apakah pernikahan mereka hanya didasari oleh dendam? Kenangan pahit malam itu kembali menghantuinya.
Kehadiran Endra, dan pengakuannya yang mengejutkan, telah mengguncang fondasi pernikahannya. Ia terjebak di antara masa lalu dan masa kini, di antara cinta dan dendam, di antara dua pria yang sama-sama mengaku mencintainya.
Di tengah hiruk-pikuk supermarket, di antara rak-rak barang kebutuhan rumah tangga, Nara menghadapi dilema yang berat, sebuah persimpangan jalan yang menentukan masa depannya.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Endra. Ia menatap Nara dengan tatapan yang penuh penyesalan, suaranya bergetar menahan isak. “Aku menyesal, Nara. Kalau aja aku bisa lebih menahan diri, lebih bisa memahami keputusanmu untuk menjaga diri … kita pasti sudah bahagia sekarang. Nara … aku hanya mencintai kamu.” Pengakuan itu keluar dengan tulus, tanpa paksaan, mengungkapkan penyesalan yang mendalam atas kesalahan yang telah ia perbuat.
Kata-kata Endra menciptakan gelombang emosi dalam diri Nara. Kenangan masa lalu, kebahagiaan dan kesedihan, bercampur aduk dalam hatinya. Ia teringat akan cinta mereka yang dulu begitu kuat, cinta yang kandas karena kesalahan Endra sendiri. Ia juga teringat akan pernikahannya dengan Devan, yang kini dibayangi oleh keraguan dan ketidakpercayaan.
Nara terdiam, mencoba mencerna kata-kata Endra. Pengakuan cinta Endra, walaupun datang terlambat, menciptakan dilema dalam hatinya.
Di satu sisi, ia masih menyimpan sedikit rasa sayang pada Endra, kenangan indah masa lalu masih membekas dalam ingatannya. Di sisi lain, ia juga harus mempertimbangkan pernikahannya dengan Devan, masa depannya yang masih penuh ketidakpastian.
Lalu, bagaimana Devan akan bereaksi melihat dan mendengar pengakuan Endra?
***
Jangan lupa like dan komen 💋💋💋
buat meramaikan suasana 😂
emang mau hajatan😂😂😂