karya tamat, novel ini hanya pembentukan world-building, plot, dan lore kisah utama
kalian bisa membaca novel ini di novel dengan judul yang lain.
Karena penulisan novel ini berantakan, saya menulisnya di judul lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 0: PROLOG
Namaku Yoga Permana. Usia dua puluh lima tahun. Aku tidak kuliah, hanya seorang karyawan di perusahaan milik keluarga… keluarga orang.
Aku tidak menjalin asmara, bukan karena aku tidak laku, tapi karena bosan. Bosan kalau endingnya selalu putus.
Arah hidupku? Entahlah. Beberapa tahun terakhir, aku hanyut membaca webnovel—filemnya selalu menggantung, jadi kuputuskan untuk lanjut di dunia webnovel.
“Padahal nggak ada gambar, cuma tulisan, tapi kok seru…?!”
Itu komentarku beberapa tahun lalu, saat membaca webnovel pertamaku: My Death Flags Show No Sign Of Ending.
Aku lahir di Jakarta Barat, tapi besar di Citayam. Meski lahir di tempat lain, Citayam bagiku seperti rumah. Di sini aku merasakan segalanya: teman pertama, masa sekolah, pertama jatuh cinta, dan pertama kali dicampakkan…
Saat dicampakkan, rasanya ingin mengakhiri dunia.
“Andai saja aku nggak pernah jatuh cinta,” pikirku.
“Aku ingin dilahirkan kembali.”
Perasaan itu nyata, sesak di dalam, tapi tampak normal di luar. Raut wajahku bosan hidup, rambut panjang berantakan, tatapan suram, badan kurus.
“Mati rasa itu nggak enak, ya,” ucapku setelah merasakannya sendiri.
Di SMA, aku menilai percintaan teman-temanku lebay. Drama mereka terlalu berlebihan, padahal bagiku itu sepele. Hidupku berubah drastis: dari ceria menjadi suram, ekstrovert menjadi introvert.
Aku mudah bergaul, tapi setelah dicampakkan, enggan berkenalan dengan orang baru. Menghabiskan waktu di kamar, kehilangan pekerjaan, bahkan mengonsumsi obat-obatan untuk melarikan diri dari kesedihan.
Aku mencoba bangkit, menjalin hubungan baru, tapi gagal lagi… dan lagi. Hingga lelah.
“Cinta pertama itu beda, ya…”
“Semakin ingin dilupakan, semakin terbayang…”
“Satu kesalahan, terlarut dalam cinta hanya membawamu ke keputusasaan.”
“Satu penyesalan, mencintai orang yang salah.”
Namun aku tumbuh. Aku kembali bekerja.
Selama empat tahun bekerja di perusahaan keluarga orang, karirku membaik, tubuhku menggemuk, tapi hati tetap sama. Masih satu nama yang tersimpan di hati: Mulya Rahmayanti Amalsyah.
Di satu sisi, aku ingin kembali, tapi di sisi lain ingin tetap asing. Menahan kerinduan dalam seribu satu malam, melawan sepi seorang diri.
“Bahkan dia saja nggak peduli sekarang aku hidup apa sudah mati,” pikirku tiap malam.
Aku selalu tahu tentangnya, walau lama berpisah. Jangan panggil aku penguntit, hanya karena aku mencari tahu. Aku terbelenggu masa lalu, perasaan yang takkan pernah hilang. Hanya aku… dan Tuhan yang tahu.
Aku memutuskan pergi dari Citayam, kembali ke Jakarta. Empat tahun bekerja untuk melupakan semua rasa yang pernah ada.
“Hoaaanmm… aku malas menulis,” ucapku sambil menguap. “Lagipula siapa yang mau baca?”
Aku seorang penulis, tapi inkonsisten. Setiap buang air besar bukan ide bab baru yang kudapat, tapi judul naskah baru.
“Membuat premis cerita itu lebih seru,” ucapku setengah mengantuk di depan layar dokumen.
“Paling malas nulis prolog,” terus mengeluh, padahal satu kata pun belum jadi.
Lagi-lagi pelarianku: scroll fesnuk, menonton reels, membaca komik. Tapi setiap membaca novel orang lain, aku kembali menulis.
“Kesian juga nih MC naskah…”
“Kalo nggak dilanjutin, nggak tamat-tamat.”
Setiap kali menulis, aku teringat.
“Kalo digantungkan rasanya nggak enak.”
Aku mengetik dengan kecepatan super sonic. Namun tiga puluh menit kemudian, aku kembali scroll fesnuk. Lihat meme, reels ibu-ibu, sindiran… kembali menulis.
“Dasar penyakit FESNUK GILA!” teriakku keras. Tetangga sebelah memukul dinding kamarku.
“BERISIK WOY!”
“…hening.”
“Lagipula kenapa aku jadi penulis sih… Padahal nggak ada di list cita-citaku,” gumamku.
Menjadi penulis tapi malas menulis. Hari demi hari berjuang untuk satu bab yang tak kunjung jadi.
“Ya, sebaiknya aku baca novel pertamaku,” pikirku. Sudah lama aku tak membaca novel yang membuatku menjadi penulis malas menulis.
Terkadang aku bingung dengan apa yang kutulis.
“Padahal aku sendiri penulisnya, tapi juga nggak ngerti.”
Memaksakan plot absurd pada tokoh utama.
“Tidak! MC-ku ini kuat, kamu villain harus mati!”
“INI DIA KEKUATAN PLOT ARMOR SETEBEL BOKONG PETRIK!”
Mendapat komentar buruk.
“APA MAKSUDMU?! HAH?! KAMU LIAT KARAKTER SEMPURNA, TAMPAN, OVERPOWER, DAGU LANCIP, HAREMNYA SEKEBON!! KAMU BILANG AMPAS!!”
Mendapat pujian.
“Hahhh, itulah MC-ku, seribu kali hehehehe.”
Brainstorming.
“Hah, kalau buntu ide gini mending buka grup komunitas.”
Semua menyenangkan. Dari riset pengalaman menjadi kisah—walau nggak ada yang baca. Semua rasa campur aduk. Kesepian, jauh dari keluarga, hanya sepulang kerja lalu menulis.
“Oke… akhirnya selesai juga premisnya,” kataku sambil menatap layar laptop.
Premis kususun dengan susah payah: buang air besar, melamun, disindir ibu-ibu fesnuk.
“Sekarang… prolog.”
Kucoba mengetik satu kalimat.
“Di dunia di mana sihi—”
BRZZT.
Layarku berkedip.
“Eh?”
BRZZT BZZZTTTTT KRAK!
Layarku pecah seperti kaca, warna berubah jadi ungu pekat dengan retakan cahaya di tengah. Aneh.
Dari celah layar muncul tangan hitam berasap, mencengkram laptop, lalu mengacungkan jari tengah.
“Oii oii oi… ini prank YouTube ya?! Kalian di mana?! Kamera? Nyempilnya?!”
Terlambat.
Tangan itu menarikku masuk layar. Tubuhku tersedot seperti lubang hitam… dan gelap.
“Selamat! Kamu terpanggil ke dunia Pe and Kob,” suara itu bergema di kepalaku.
“E-eh… Pe and Kob?”
Itu judul novel yang sedang kutulis prolognya.
“Kamu salah orang! Aku bahkan belum menulis prolognya!”
“Justru itu. Kamu akan menulisnya… dari dalam.”
“HAH?! Nggak ada manualnya ini?!”
Lalu semuanya hilang. Gelap. Sepi. Loading bar muncul di bawah kakiku.
[Sedang memuat dunia isekai… 7%]
“…Ya Tuhan, aku bahkan belum kasih nama kerajaan.”
[Sedang memuat dunia isekai… 16%]
[Sedang memuat dunia isekai… 23%]
[Sedang memuat dunia isekai… 48%]
“Ayolah, temani aku ngobrol, aku bosan melihat loading bar RPG ini.”
[Sedang memuat dunia isekai… 78%]
“Apa aku bisa tinggal tidur sampai loading selesai? Tapi gimana caranya?”
[Sedang memuat dunia isekai… 99%]
“Woahhh… ini dia! Apa aku akan punya harem?!”
[ERROR!!]
“EHHHH APA-APAAN INI?! APA AKU AKAN MATI?!”
“Ya walau aku bosan hidup sih…”
[Maaf, data anda tidak cocok…]
“Bodo amatlah, sampe kiamat aja begini. Ya walau udah kiamat sih bagiku.”
[Memuat…]
[Memuat data ke dunia ini dengan tubuh…]
“Eh?! Tubuh apa?!
[Sedang memuat dunia isekai… 100%]
“LAHHHH!!”
[Selamat menjalani kehidupan Pe and Kob]
Contoh salah: "Aku lelah." keluhku.
Contoh benar: "Aku lelah," keluhku.
Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian saya tidak akan pernah menyelesaikan rangka awal kisah ini.
Terimakasih untuk para reader yang sudah membaca kisah ini hingga volume 1 selesai.
Terimakasih atas dukungan kalian selama ini.
Novel ini tamat dalam bentuk naskah kasar. Saya berniat merapihkannya nanti dengan sudut pandang orang ketiga.
Sekali lagi saya ucapkan terimakasih.
Aku menunduk lebih dekat. "Apa-apaan ini …." bisikku, tenggorokanku kering.
Celah itu melebar. Dari dalam, sesuatu merayap keluar, sebuah tangan legam, berasap seakan bara membakar udara di sekitarnya. Jari-jari panjangnya menancap di tepi layar, mencengkeram kuat, lalu menarik celah itu lebih lebar, seperti seseorang membuka pintu ke dunia lain.
Tangan itu terhenti. Perlahan, satu jari terangkat … lalu berdiri tegak. Jari tengah.
Narasi ini jauh lebih baik dan lebih enak dibaca.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.