Jangan lupa like dan komennya setelah membaca. Terima kasih.
Menjadi tulang punggung keluarganya, tidak membuat Zayna merasa terbebani. Dia membantu sang Ayah bekerja untuk membiayai sekolah kedua adik tirinya hingga tamat kuliah.
Disaat dia akan menikah dengan sang kekasih, adiknya justru menggoda laki-laki itu dan membuat pernikahan Zayna berganti menjadi pernikahan Zanita.
Dihina dan digunjing sebagai gadis pembawa sial tidak menyurutkan langkahnya.
Akankah ada seseorang yang akan meminangnya atau dia akan hidup sendiri selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Pesta Resepsi
"Na," panggil seseorang saat Zayna baru sampai di tempat kerjanya. Siapa lagi kalau bukan Alifia.
"Ya," sahut Zayna.
"Kamu nggak pa-pa? Kenapa kemarin bisa ...."
"Aku nggak pa-pa," jawab Zayna dengan tersenyum. Dia memakai masker jadi Alifia tidak bisa melihat lembab di pipinya.
"Kamu nggak bisa bohong sama aku! Kita sudah lama saling kenal."
Zayna pun membawa sahabatnya sedikit menjauh. Alifia memang sengaja berangkat lebih awal karena yakin jika Zayna akan berangkat kerja. Dia khawatir karena tidak tahu bagaimana kondisi gadis itu. Bahkan ponselnya tidak aktif.
Keduanya duduk di sebuah bangku diujung restoran. Zayna pun menceritakan semua apa yang terjadi kemarin. Sesekali gadis itu mengusap air matanya. Tidak dipungkiri hatinya masih sangat terluka jika harus mengingat kejadian hari itu.
Alifia yang mendengarnya pun menjadi geram. Bagaimana bisa Fahri yang selama ini dia kenal orang baik, ternyata sama saja seperti pria br****ek lainnya.
"Kurang ajar, bisa-bisanya dia memperlakukan kamu kayak gini. Si Zanita juga, padahal selama ini kamu sangat baik sama dia, bisa-bisanya dia nikung kamu!" kesal Alifia. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan keluarga Zayna.
"Sudahlah, Al. Dibalik semua ini aku bersyukur, semua terjadi sebelum aku menjadi istrinya. Aku nggak bisa bayangin jika semua ini terjadi setelah aku menikah, pasti aku akan sangat hancur sekali," ujar Zayna dengan suara lirih.
"Kenapa sih kamu nggak keluar aja dari rumah itu? Aku yakin kamu sangat mampu hidupin diri kamu sendiri. Gaji yang kamu dapat lebih dari cukup untuk sewa kos dan makan."
"Aku nggak mungkin ninggalin Papa."
"Tapi papamu nggak peduli sama apa yang kamu alami, dia lebih sayang sama dua putri dari mama tiri kamu itu."
"Udahlah Al, ayo, kita kerja! Nanti kena tegur," ujar Zayna yang kemudian beranjak dari duduknya.
"Kamu kalau diajak ngomong mah gitu, selalu saja mengalihkan pembicaraan."
Zayna tidak menghiraukan sahabatnya yang sedang menggerutu, dia lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya dari pada sibuk memikirkan hal yang tidak penting. Gadis itu memang sangat sanggup untuk hidup mandiri, tetapi Zayna tidak tega membiarkan sang papa sendiri.
Rahmat memang memiliki seorang istri yang akan merawatnya, tetapi Zayna tidak yakin Savina akan memperhatikan pria itu dengan baik. Ibu tirinya itu hanya tahu senang-senang bersama temannya saja. Itu yang membuat gadis itu ragu untuk pergi dari rumah.
Sore hari saat Zayna pulang, rumah tampak sepi. Pasti semua orang sibuk di tempat diadakannya resepsi. Gadis itu memilih langsung masuk saja dan istirahat. Di rumah tidak ada siapa-siapa jadi dia bebas tidak memasak malam ini.
Zayna juga tidak diundang dalam resepsi ini jadi gadis itu tidak perlu repot. Dia juga tidak tahu di mana mereka menggelar resepsi, di gedung yang sama seperti saat dia pesan bersama Fahri atau di gedung lain yang lebih mewah. Mengingat semua ini sudah terencana.
Saat sedang asyik dengan ponselnya, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari papanya. Rahmat meminta Zayna untuk datang ke acara resepsi karena pria itu tidak ingin dicap jelek oleh orang lain. Gadis itu menghela napas padahal dia ingin bersantai, tetapi sepertinya keluarga ini tidak bisa membuatnya tenang.
Tidakkah Rahmat memikirkan perasaannya? Zayna juga memiliki hati dan perasaan. Bagaimanapun gadis itu pernah melewati hari-hari bersama dengan suami adiknya itu. Kenapa mereka tidak membiarkan dirinya di rumah saja?
Terpaksa Zayna mengganti baju dan bersiap ke tempat resepsi adiknya. Rahmat tadi juga sudah memberitahu di mana letak gedungnya. Ternyata masih satu gedung dengan rencana tempat resepsi gadis itu sebelumnya. Hanya beda lantai saja.
Setelah semua siap dia segera berangkat. Zayna sudah menguatkan hatinya untuk menghadapi para tamu nanti. Entah ejekan apalagi yang akan dia dapat. Sepanjang perjalanan tidak hentinya gadis itu berdoa agar Tuhan menguatkan hatinya.
Begitu sampai di depan gedung, Zayna segera masuk ke tempat resepsi. Ruangan yang begitu luas dengan dekorasi yang sangat mewah. Lagi-lagi pemandangan seperti ini yang dia lihat. Sungguh miris sekali nasib gadis itu.
Dekorasi seperti ini, tidak mungkin dilakukan hanya dalam satu hari satu malam. sangat niat sekali mereka menghancurkan Zayna. Terlihat semua keluarga juga memakai baju seragam, hanya dirinya yang berbeda.
'Dari dulu, aku memang bukan bagian dari mereka, bukan? Untuk apalagi ditangisi, itu sudah menjadi hal yang biasa bagiku,' batin Zayna sambil melihat ke arah keluarganya.
Gadis itu memilih untuk tidak bergabung dengan yang lain. Dia duduk di salah satu kursi yang tidak dilalui banyak orang. Di atas panggung, pasangan pengantin itu tersenyum dengan manisnya, menyalami setiap tamu yang mengucapkan selamat.
"Aku dengar kalau pengantin wanitanya itu, sebenarnya bukan dia. Bener nggak, sih?" tanya seorang ibu-ibu pada temannya. Mereka berada di meja di samping Zayna jadi, dia dapat mendengar dengan begitu jelas.
"Iya, dalam undangannya, kan, ditulis nama pengantin wanitanya Zayna. Dia putri tertua di keluarga Pak Rahmat," timpal temannya.
"Kasihan juga gadis itu. Apa telah terjadi sesuatu hingga pengantin wanitanya diganti, ya?"
"Pasti seperti itu. Kamu juga pernah dengar, kan jika anak pertama Pak Rahmat itu pembawa sial. Ibunya saja meninggal saat melahirkannya, terus kakeknya juga meninggal saat berusaha menyelamatkannya saat akan tenggelam."
"Iya, aku juga mendengar hal itu."
Zayna mengepalkan tangannya. Dia tidak mengenal orang-orang ini, tidakkah mereka bisa diam saja daripada berbicara yang hanya akan menyakiti hati orang lain? Kedua wanita itu terus membicarakan semua hal jelek tentangnya.
Gadis itu tidak tahan lagi, Zayna pun berdiri dan mendekati mereka. Kedua wanita itu terkejut. Namun, berusaha untuk terlihat biasa saja untuk menjaga harga dirinya.
"Maaf, Bu. Anda memiliki anak, kan? Tidakkah Anda pikirkan bagaimana jika anak Anda yang berada di posisiku? Saya juga memiliki hati jadi tolong jangan bicara sembarangan," ucap Zayna dengan pelan. Namun, penuh penekanan.
"Heh, jangan samakan anakku dengan dirimu! Anakku jauh lebih baik darimu. Dia selalu menjadi kebanggaanku. Beda denganmu yang hanya sebuah benalu. Aku juga tidak pernah mendengar Pak Rahmat memujimu. Yang dia bicarakan selalu Zanita dan Zivana."
"Iya, benar. Mana mungkin Pak Rahmat mau memujimu. Kamu itu cuma anak tidak tahu diri dan pembawa sial!"
Zayna yang sudah tidak bisa menahan diri pun, menyiram kedua wanita itu dengan minuman yang ada di meja. Keduanya berteriak hingga membuat para tamu melihat ke arah mereka.
"Zayna!" Teriakan dari seorang pria membuat Zayna membeku.
.
.
.