Bagi Hasan, mencintai harus memiliki. Walaupun harus menentang orang tua dan kehilangan hak waris sebagai pemimpin santri, akan dia lakukan demi mendapatkan cinta Luna.
Spin of sweet revenge
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MJW 4
"Jadi kamu belum tau siapa yang memenjarakan gadis itu dan membawanya ke rumah sakit jiwa?" Ali Wahab mengulang kesimpulan yang bisa ditarik dari penjelasan pengajarnya.
"Iya, Pak Ali. Saya belum tau."
Ali Wahab menganggukkan kepalanya.
"Lantas Hasan ke rumah sakit untuk apa?" gumamnya penuh tanya.
"Mungkin berobat, bi. Kata Hasan, dia terkena radang," sahut Istrinya yang mendengar gumaman suaminya.
"Kalo hanya radang, dia tidak perlu ke rumah sakit. Tinggal panggil dokter saja ke rumah," sahut Ali Wahab pelan.
Oh iya, istrinya baru tersadar kalo hanya radang terlalu berlebihan ke rumah sakit. Tinggal beli vitamin c saja di minimarket atau beli obat di apotik untuk menyembuhkannya.
"Baiklah. Terimakasih penjelasannya." Ali Wahab mengajak istrinya pergi.
"Sama sama, Pak Kyai."
Di sepanjang jalan keduanya masih terdiam.
"Bi, aku ras Hasan merahasiakan banyak hal dari kita."
Suaminya mengangguk.
"Nanti aku akan minta tolong Arfan yang di kepolisian untuk menyelidiki kasus gadis itu."
"Iya, bi." Siti Azizah mengangguk setuju.
"Semoga yang disuka Hasan bukan gadis itu." Siti Azizah masih merasa ngga tenang karena khawatir.
"Tenanglah. Aku yakin bukan. Oh iya, kalo dia teman SMA Hasan, menurutmu, mungkin Laila mengenalnya juga, kan?" Ali Wahab menatap istrinya.
Perkataan suaminya membuat istrinya tersadar betapa pelupanya dirinya. Senyumnya terkembang lebar membuat suaminya menatapnya heran.
"Tadi kamu khawatir, sekarang malah tersenyum."
"Sekarang aku sudah yakin kalo gadis itu bukan yang disukai Hasan, Bi. Hasan pernah kasih tau umi, katanya gadis yang dia suka itu temannya dan Laila waktu SMA."
Suaminya sekarang baru bisa benar benar merasa lega.
"Oooh.... Ya, ya... Syukurlah."
"Tapi kita tidak mungkin bertanya pada Laila, Bi. Aku tidak sampai hati melihatnya terluka."
"Ya, aku juga begitu." Ali Wahab sekarang diliputi perasaan bingung. Bagaimana caranya dia mengatakan hal ini pada sahabatnya, Yahya, kalo putranya menolak putrinya Laila.
*
*
*
Hari sudah menjelang sore. Tinggal satu lagi yang merupakan pasien terakhirnya. Tapi bukan Hasan. Tumben dia tidak datang, batin Luna heran.
"Dokter, laki laki teman dokter tidak datang," bisik Tika setelah memanggil nama pasien terakhirnya.
"Hemm...." Walaupun perasaannya terasa aneh, tapi di depan perawatnya Luna menampakkan ekspresi ngga peduli. Cuek. Masa bodoh.
Tika melihat lagi ke arah luar ketika Luna sedang memeriksa pasiennya.
Kenapa malaikat penjaga pintu surga itu ngga datang, ya? Ketimbang nona dokternya, malah dia yang jadi gelisah karena laki laki itu tidak datang ke rumah sakit.
Nona dokternya terlalu judes, sih. Padahal kalo laki laki itu mau dengannya, dia akan memberikan seluruh perasaan sabarnya untuk teman nona dokternya. Sayangnya malaikat penjaga pintu surga itu tidak pernah memberikannya harapan kalo dia bisa menggantikan tempat nona dokternya itu.
Tidak lama kemudian pemeriksaan pasien terakhir selesai juga. Luna bersiap untuk pergi. Tapi dia masih memberi jeda waktu lima menit menunggu Hasan.
Luna pura pura merapikan meja periksanya yang sudah bersih dan rapi. Tapi sia sia saja. Dia bahkan sudah merevisinya jadi sepuluh menit
Malah bagus begini, kan, Luna. Dia sudah ngga akan datang lagi, batinnya mengingatkan apa yang dia pernah inginkan. Benar benar move on dari laki laki itu.
"Tidak mau ditunggu, nona? Mungkin terjebak macet?" perawatnya-Tika, masih mencoba menahan langkahnya yang sudah siap meninggalkan ruangan periksanya.
"Ya, sudah. Kamu aja yang nungguin," sarkas Luna sambil melangkah meninggalkan ruangannya.
Yaaa.... nona....., batin Tika hopeless. Yang dicari laki laki itu adalah nona dokternya, bukan dirinya.
Luna menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan ngga nyaman. Mungkin karena otaknya sudah terdistraksi dengan sikap Hasan yang datang dua hari berturut turut sejak kemarin. Jadi sekarang dia merasa kehilangan.
What? Luna mengomeli pikiran ngga warasnya.
Dia berjalan agak cepat sampai melihat kehadiran Ayra dan Adelia.
"Hai," panggil kembarannya.
"Sudah mau pulang, ya?" tanya Adelia.
"Iya. Kalian ngapain ke sini?" Luna sudah curiga saja kalo keduanya sedang memata mata-i dirinya.
"Mana Hasan?" tanya Ayra. "Dia ngga datang?"
Tuh, benar, kan, gedek Luna dalam hati ketika melihat tatapan jahil keduanya.
"Padahal sudah susah payah mau nuruti Ayra." Adelia tertawa pelan.
"Kalian seperti ngga ada kerjaan saja," sarkas Luna. Tapi kedua gadis itu malah makin keras tawanya.
Luna berjalan cepat melewati mereka saking sebalnya.
"Tunggu, dong, Lun," panggil Adelia masih di sela sela derai tawanya.
"Buru buru amat mau pulang," ledek Ayra.
Tapi Luna mengacuhkan keduanya. Dia mempercepat langkah kakinya.
"Marah, kan, dia." Sekarang Adelia yang ganti meledek.
Luna benar benar merasa semakin sebal dengan kelakuan kembaran dna sepupunya.
"Kantin dulu, yuk. Aku lapar." Adelia menarik tangan Luna agar mengikutinya ke kantin runah sakit.
"No....! Aku mau pulang," decaknya kesal.
"Minum es yang banyak biar marah kamu mereda." Ayra membantu Adelia, mendorong punggung Luna dengan masih berderai tawa.
Mereka sama sama memesan soto ayam, makanan favorit mereka di kantin rumah sakit.
"Jadi sudah ada ustazah yang akan merukyah Ratna?" tanya Adelia.
"Iya."
"Nathalia sudah kasih tau juga. Hanya ngga nyangka secepat itu Hasan bergerak," ujar Adelia lagi.
"Kan, itu alasan dia aja. Tujuan utamanya, kan, Luna," decak Ayra kemudian menyendokkan soto itu ke mulutnya.
"Iya, sih, modus aja." Adelia menyetujui pendapat Ayra.
"Kali ini Hasan seperti dapat momentum untuk deketin kamu lagi, Lun," respon Ayra mengeluarkan isi pikirannya.
"Ogah," tolak Luna. Jika saja Ayra dan Adelia tau kalo Hasan mau menemui mami dan papi. Ngga tau bakal seheboh apa reaksi keduanya.
"Si Laila bakal ngamuk lagi, ntar," komen Ayra sambil mengaduk sotonya.
"Kasian, ya. Udah dibuntutin sampai ke Kairo, masih juga gagal." Tawa Adelia pecah lagi.
"Iya, memang kasian banget," cela Ayra juga tergelak.
Luna tersenyum miring.
Katanya usaha ngga akan mengkhianati hasil. Ternyata slogan itu ngga berlaku untuk Laila.
"Ngapain aja, tuh, waktu di Kairo. Kirain udah nikah di sana," ejek Ayra lagi.
Tawa mereka makin berderai. Kemudian mereka menghabiskan soto dan meneguk air mineral dingin.
"Lun, kalo Hasan serius, kamu bakal terima?" selidik Ayra penasaran.
Luna ngga menjawab
Dia sudah serius, Ay.
"Mulai sekarang kamu harus koleksi gamis, siapa tau mau dibawa ke pesantren. Banyak, kok, model gamis kekinian," tukas Adelia serius.
"Kayak Ziza, sepupunya Haykal. Gamisnya bagus bagus. Sopan dan ngga ketat," sambung Ayra.
"Bisa nyontohin dia, Lun," respon Adelia setuju dengan perkataan Ayra.
"Kalian ini kenapa, sih. Hasan, tuh, pimpinan pondok. Ngga mungkinlah aku sama dia." Luna ngga akan menyeberang ke sana. Pernah kepikiran dulu, tapi sudah dia lupakan.
"Apa salahnya. Keren, 'kali, jadi Bu Nyai. Kamu bahkan ngga perlu sampai ke Kairo buat dapetin gelar itu," kompor Ayra penuh semangat.
Adelia malah tergelak mendengarnya, sementara Luna ingin sekali melemparkan mangkok sambal ke arah kembarannya.
👍 yaaa hasan
harus dengan cara apa agar kamu berhenti mengharapkan Hasan,
jangan rendahkan harga dirimu begitu murahnya
jangan juga buat kami ilfill dengan caramu yg menodai kehormatan wanita bercadar.
jujur aku penasaran kenapa hasan menolak laila??
ataukah dulu kasus luna dilabrak laila,, hasan tau??
udah ditolak hasan kok malahan mendukung tindakan laila??
Laila nya aja yg gak tahu diri, 2x ditolak msh aja ngejar²😡