Winda Hapsari, seorang wanita cantik dan sukses, menjalin hubungan kasih dengan Johan Aditama selama dua tahun.
Sore itu, niatnya untuk memberikan kejutan pada Johan berubah menjadi hancur lebur saat ia memergoki Johan dan Revi berselingkuh di rumah kontrakan teman Johan.
Kejadian tersebut membuka mata Winda akan kepalsuan hubungannya dengan Johan dan Revi yang ternyata selama ini memanfaatkan kebaikannya.
Hancur dan patah hati, Winda bersumpah untuk bangkit dan tidak akan membiarkan pengkhianatan itu menghancurkannya.
Ternyata, takdir berpihak padanya. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang menawarkan pernikahan. Seorang pria yang selama ini tak pernah ia kenal, yang ternyata adalah kakak tiri Johan menawarkan bantuan untuknya membalas dendam.
Pernikahan ini bukan hanya membawa cinta dan kebahagiaan baru dalam hidupnya, tetapi juga menjadi medan pertarungan Winda.
Mampukah Winda meninggalkan luka masa lalunya dan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Nasehat teman
Siang hari di jam istirahat, kantin perusahaan ramai. Aroma masakan bercampur dengan aroma keringat dan parfum memenuhi ruangan. Suara-suara obrolan dan gelak tawa saling bersahutan.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Winda duduk sendirian, terisolasi dalam lamunannya sendiri. Ia hanya mengaduk-aduk soto ayam yang ada dalam mangkok di hadapannya tanpa selera. Makanan yang biasanya ia lahap dengan semangat, kini terasa hambar, tak ubahnya hidupnya yang terasa hampa sejak kemarin.
Johan, Revi dan Ardan. Ketiga nama itu terus berputar-putar di kepalanya seperti lagu yang terputar berulang. Pengkhianatan Johan dan Revi Pertemuan tak terduga dengan Ardan terus menari-nari di pelupuk matanya.
Terutama Ardan Pria asing dengan wajahnya yang dingin dan datar dan tatapan mata yang begitu dalam, telah menawarkan sesuatu yang tak pernah terbayangkannya; pernikahan.
“Win…!”
Winda tersentak. Lamunannya buyar ketika tepukan kecil mendarat di pundaknya. Winda mendongak dan mendapati Silvia, teman satu divisinya, berdiri di sampingnya, wajahnya penuh kekhawatiran.
“Kamu kenapa sih? Kok makannya cuma diaduk-aduk gitu?” tanya Silvia khawatir. “Dan aku perhatikan, sepertinya dari tadi kamu kayak nggak fokus kerja juga. Ada masalah?” Suara Silvia lembut penuh perhatian.
Winda menggeleng, mencoba menyembunyikan kekacauan batinnya. “Ah, nggak papa, Sil. Cuma lagi nggak nafsu makan aja. Pusing sedikit,” jawabnya, berusaha terdengar biasa saja.
Silvia menatap Winda dengan tajam. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar pusing yang sedang dialami temannya itu. “Pusing? Jangan dipaksain kalau nggak enak badan. Mendingan kamu istirahat aja dulu. Nanti kalau udah baikan, baru lanjut kerja,” saran Silvia, tangannya dengan lembut menyentuh lengan Winda.
Winda hanya mengangguk lemah. Ia kembali mengaduk-aduk makanannya, namun tetap tak menyuap sesendok pun.
Silvia yang melihat itu merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan sahabatnya. “Ada apa sih? Kamu bisa cerita sama aku kalau memang lagi ada masalah.”
Winda menunduk. Sebenarnya ia merasa ragu, tapi ia memang membutuhkan tempat untuk berbagi cerita. “Kalau misalnya aku menikah, bagaimana pendapatmu?” tanya Winda, suaranya hampir tak terdengar di tengah riuhnya kantin.
Silvia mengerutkan kening. “Menikah? Dengan Johan? Apa hubungan kalian seserius itu? Apa kau tidak ingin berpikir ulang?”
Sejujurnya, Silvia sama sekali tidak setuju dengan hubungan Winda dan Johan. Silvia tahu Johan bukan orang yang tulus. Ia bahkan melihat selama ini Winda hanya dimanfaatkan. Pernah ia mencoba untuk mengingatkan Winda, tetapi sahabatnya itu tampak sudah terlalu bucin.
Winda menggeleng, sebuah sentakan kecil yang menunjukkan emosinya. “Lupakan pria brengsek itu! Jangan pernah sebut namanya. Aku tidak berbicara tentang dia.”
Kening Silvia semakin berkerut. Ada apa dengan sahabatnya ini? “Bukan Johan? Lalu…? Ehh, tunggu. Kau ada masalah dengan Johan?”
Winda menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menceritakan semuanya. Ia mulai bercerita tentang pengkhianatan Johan bersama dengan Revi, sahabatnya sendiri. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi buru-buru ia mengangkat wajahnya agar air mata itu tak jadi terjatuh.
Winda menceritakan bagaimana ia melihat Johan berselingkuh dengan Revi, di rumah kontrakan teman Johan.
Silvia mengepalkan tangan. Tidak rela sahabat yang paling baik mendapatkan penghianatan seperti itu. “Aku sudah pernah menasehatimu dulu. Kamu yang tak pernah mau mendengarkanku.” Silvia marah pada Johan, tapi juga kesal pada sahabatnya.
“Maaf,” ucap Winda. “Andai kata dulu aku mendengar kata-katamu. Mungkin aku tak akan merasakan sakit ini.”
“Sudah lupakan laki-laki mokondo itu. Jangan membuang air mata secara sia-sia untuk dia. Air matamu terlalu berharga, ia tak pantas mendapatkannya!” Silvia menggenggam tangan Winda. Mencoba memberikan kekuatan.
Winda mengangguk. Iya benar-benar merasa beruntung memiliki seorang teman seperti Silvia.
“Lalu tentang pernikahan yang kau sebut tadi, siapa pria yang kau maksud jika itu bukan Johan?” Silvia ingin menuntaskan rasa penasarannya.
Winda menghela napas panjang, lalu melanjutkan ceritanya dengan pertemuannya dengan Ardan di taman kemarin. Ia menceritakan tentang Ardan, kakak tiri Johan yang selama ini tak pernah ia kenal, dan tentang pria itu yang menawarkan pernikahan.
Silvia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, Wajahnya tampak serius, keningnya sedikit berkerut seakan sedang memecahkan sebuah teka-teki rumit. Hingga akhirnya angkat bicara setelah beberapa saat terdiam.
“Aku merasa ada hubungan yang buruk antara Johan dengan Ardan. Sepertinya Ardan juga memiliki dendam pada lelaki mokondo itu,” ucapnya, suaranya terdengar yakin, matanya menatap Winda dengan penuh keyakinan saat mengeluarkan asumsinya, sebuah intuisi yang muncul dari cerita Winda barusan.
Winda menghela napas, rasa frustasi masih terasa jelas. “Jadi menurutmu aku harus bagaimana?” tanyanya, suaranya terdengar putus asa, mencari sebuah titik terang di tengah kebimbangannya.
Silvia tersenyum tipis, mencoba memberikan sedikit keceriaan di tengah situasi yang berat. “Bagaimana penampilan Ardan menurutmu?” tanyanya, ia harus tahu lebih banyak duku sebelum mengeluarkan pendapat.
Winda terdiam sejenak, seakan mengingat kembali sosok Ardan. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya. “Cukup baik. Penampilannya modis. Dia juga tampan. Bahkan menurutku lebih tampan dari Johan,” akunya, suaranya terdengar sedikit lebih ceria, seakan menunjukkan rasa kagum.
Silvia mengangguk, matanya berbinar. “Kalau aku jadi kamu, aku akan menerima tawaran itu,” ucapnya, suaranya terdengar tegas, memberikan sebuah saran yang berani dan tak terduga.
Winda menggeleng, keraguan dan ketakutan masih tampak jelas di wajahnya. “Tapi itu adalah pertemuan pertama kami. Masa iya aku akan menikah dengan orang yang baru saja aku jumpai,” bantahnya.
Silvia tertawa kecil, suaranya terdengar menghibur. “Kenapa tidak? Terkadang kebahagiaan tidak selalu kita dapatkan dari orang lama. Nyatanya kamu berhubungan dengan Johan sudah dua tahun, dan dia tetap saja menyakitimu,” ucapnya.
“Orang baru juga tidak selalu buruk. Menikah dengan Ardan, jelas akan membuat Johan marah dan cemburu. Apalagi kalau Ardan lebih tampan. Ia akan nangis guling-guling karena kamu mendapat yang lebih baik darinya,” lanjut Silvia. Suaranya terdengar sedikit jahil. “Aku bahkan berharap ada plot twist, ternyata dia CEO tajir. Ha ha ha, aku gak bisa bayangin tuh muka si kodok.”
“Kamu pikir ini drakor atau novel, yang habis dikhianati terus dapat yang kaya raya?” Winda memukul.pelan punggung tangan sahabatnya. Sedikit kesal, tapi dia merasa terhibur. Wajahnya yang tadi mendung, sedikit demi sedikit kembali bersinar.
“Aku sih Aaminn. Siapa tahu jadi kenyataan.” Silvia masih tak berhenti dengan pemikirannya sendiri.
“Dasar ratu drakor. Sana bikin film, DIKHIANATI KEKASIH DI PINANG SULTAN. Mungkin saja laris manis.” Berkata ketus, tapi Winda mulai membenarkan semua ucapan Silvia.
“Apa aku terima saja ya tawaran Ardan?”
duh.. kan jadi gatel jariku/CoolGuy/