Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemui Orang Tua Jelita
“Silakan diminum, Bu, Nak Rian,” ucap Bunga lembut sambil meletakkan dua gelas minuman hangat dan beberapa piring kecil berisi camilan di atas meja.
Malam itu suasana rumah terasa berbeda. Kedatangan Bu Sri dan Rian yang mendadak jelas mengejutkan semua penghuni rumah. Fadi sempat beradu pandang dengan sang ayah. Dari sorot matanya, jelas tersirat pertanyaan, ‘ada apa mereka datang malam-malam begini?’ Namun Kakek Doni hanya mengangkat bahu kecil, seolah memberi jawaban tanpa suara bahwa dirinya pun tidak tahu.
“Nak Jelitanya di mana, Bu?” tanya Bu Sri sambil menoleh pelan ke sekeliling ruang tamu. Tidak terlihat sosok yang sejak tadi membuat putranya gelisah.
“Di kamar, Bu,” jawab Bunga tenang.
“Alhamdulillah sekarang Jelita juga menerima konsultasi online, jadi bisa dikerjakan dari rumah.”
“Oo…” Bu Sri mengangguk pelan, senyumnya mengembang tipis. Di sampingnya, Rian duduk dengan punggung tegak, namun jari-jarinya saling bertaut gugup.
“Alhamdulillah saya akhirnya bisa bertemu langsung dengan Pak Fadi dan Ibu Bunga,” lanjut Bu Sri. “Selama ini saya hanya sering mendengar cerita dari Pak Doni saja. Dulu, sebelum suami saya meninggal, almarhum juga sempat beberapa kali menyebut nama Pak Fadi.”
“Iya, Bu,” sambut Bunga hangat. “Akhirnya kita bertemu juga. Saya pun baru banyak tahu tentang Bu Sri dari Bapak mertua saya ini.” Bunga melirik Kakek Doni sekilas, lalu tersenyum lagi. “Dan saya juga mau berterima kasih. Katanya Bu Sri sering mengirimkan makanan untuk beliau. Maaf kalau kami malah jadi merepotkan.”
“Oh tidak sama sekali, Bu Bunga,” sahut Bu Sri cepat. “Saya justru senang. Rasanya seperti punya orang tua lagi.”
Suasana sempat menghangat, sebelum Bu Sri menarik napas dalam, pertanda ia hendak masuk ke inti pembicaraan. “Sebelumnya, saya mohon maaf atas kedatangan saya dan putra saya yang mendadak ini,” ucapnya pelan namun tegas. “Saya merasa sudah waktunya kita membicarakan satu hal penting. Demi kebaikan anak-anak kita.”
Rian refleks menelan ludah.
“Kedatangan kami malam ini,” lanjut Bu Sri, menoleh ke arah Fadi dan Bunga, “adalah untuk melamar putri Ibu dan Bapak, Nak Jelita, agar menjadi istri putra saya.”
Hening seketika menyelimuti ruang tamu itu.
“Rian sudah lama bercerita pada saya,” tambah Bu Sri. “Tentang perasaannya, dan tentang keseriusannya. Dan dari apa yang saya lihat, kedekatan mereka sudah cukup dekat. Saya khawatir jika dibiarkan tanpa kejelasan, justru akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.”
Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang berat.
“Terima kasih, Bu Sri,” akhirnya Fadi membuka suara. Suaranya terdengar tenang, meski ada sesuatu yang tertahan di dalamnya. “Saya menghargai niat baik Ibu. Saya juga senang karena ada pria yang berniat serius pada putri saya.”
Rian sedikit mengendurkan bahunya. Namun ketenangan itu hanya sesaat.
“Namun,” lanjut Fadi, menatap lurus ke arah Bu Sri, “sebelum saya memanggil Jelita dan menyampaikan maksud kedatangan Ibu, ada satu hal yang harus saya sampaikan terlebih dahulu. Supaya nanti Ibu tidak kaget… atau menyesal.”
Jantung Rian seakan jatuh ke perutnya.
Fadi lalu mengalihkan pandangannya pada Rian. Tatapan itu membuat Fadi sadar jika pria di hadapannya ini belum menceritakan semuanya pada sang ibu.
“Ada apa ya, Pak Fadi?” tanya Bu Sri hati-hati. Ia jelas menangkap perubahan suasana.
“Sebenarnya…” Fadi menghela napas panjang. “Jelita bukan anak kandung saya.”
Hening kembali menerpa, kali ini lebih berat.
“Maksudnya bukan anak kandungnya Bu Bunga, kan?” Bu Sri mencoba menalar. “Setahu saya, Pak Fadi menikah dengan Ibu Bunga setelah sebelumnya duda.”
“Itu benar, Bu,” jawab Fadi pelan. “Namun Jelita memang bukan anak kandung saya. Ia adalah anak dari adik saya, anak kedua dari pernikahan Bapak saya dengan mantan istrinya, Ibu Yeni.”
Kening Bu Sri berkerut. “Berarti… keponakan Pak Fadi?”
Fadi mengangguk. “Iya.”
“Lalu… di mana letak masalahnya?” tanya Bu Sri jujur.
“Mungkin Bu Sri tahu,” Fadi melanjutkan, suaranya mulai berat, “bahwa saya besar di panti asuhan. Dan baru bertemu kembali dengan Bapak saya sekitar dua puluh tahun lalu.”
“Iya, saya tahu,” sahut Bu Sri cepat.
“Adik saya, Dimas, dulu berpacaran dengan seorang gadis bernama Nita,” lanjut Fadi. “Gadis itu juga tinggal bersama saya di panti asuhan. Saya sangat dekat dengannya… karena saya yang pertama kali menemukan dan membawanya ke sana.”
Bunga menunduk. Tangannya perlahan mengusap sudut matanya.
“Nita hamil,” suara Fadi sedikit bergetar. “Dan Dimas menghilang setelah tahu kabar itu. Nita sempat depresi, bahkan ingin mengakhiri hidupnya. Saat itu… saya merasa gagal sebagai kakak.”
Rian menahan napas. Dalam hatinya ia merapalkan doa, meminta agar sang ibu tidak terlalu mempermasalahkannya nanti.
“Saya menikahi Nita,” lanjut Fadi. “Dan Jelita lahir… namun Nita meninggal saat melahirkannya.”
Sunyi.
“Saya membesarkan Jelita seorang diri. Menganggapnya putri kandung saya sepenuh hati,” kata Fadi lirih. “Sampai akhirnya saya bertemu kembali dengan Bunga… dan menikah.”
Ia menggenggam tangan istrinya erat.
“Takdir memang aneh,” Fadi menghela napas panjang. “Ayah biologis Jelita… ternyata adalah adik saya sendiri.”
Kata-kata itu menggantung di udara, berat, jujur, dan tanpa ada satu pun yang ditutupi.
Bu Sri tampak terdiam, memikirkan segala pernyataan yang malam ini didengarnya.
Melihat tidak ada reaksi dari sang ibu, membuat Rian semakin ketar-ketir. Dirinya takut jika ibunya ini menolak dan memintanya untuk melupakan Jelita. Sesuatu yang sudah pasti tidak bisa ia lakukan.
*
*
*
Jelita berada di kamarnya, ditemani oleh Zaidan yang masih saja sibuk bermain game di ponselnya. Pemuda itu tadi masuk ke kamarnya, di tengah-tengah sesi konseling sedang berlangsung.
Dari adiknya itulah ia tahu jika di luar sana, ada Rian dan juga ibunya yang sedang bertamu. Susah payah Jelita mengendalikan dirinya, agar ia bisa menyelesaikan sesi konseling dengan baik.
“Mereka ngapain?” tanya Jelita ketika baru saja menutup laptopnya.
“Nggak tau. Mau ngelamar Kakak mungkin,” jawab Zaidan santai, yang tentu saja membuat Jelita semakin gelisah.
Ia mengambil ponselnya yang sejak tadi ia letakkan di atas nakas. Tidak ada sama sekali telepon maupun pesan yang dikirimkan oleh Rian.
“Mau ngapain sih dia,” gerutu Jelita.
Ia hanya bisa menunggu di dalam kamar, sebab tadi Zaidan mengatakan jika ia dan sang kakak disuruh Fadi untuk tetap di kamar sampai di suruh keluar.
Ditengah kegelisahannya itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Tampak sosok Bunga yang membuka pintu kayu itu.
“Kakak…” panggil Bunga lembut. “Keluar, yuk.”
Jelita begitu disayangi oleh keluarga Bunga.
Gak sabar menunggu hari pernikahan Jelita dan Rian
Bahagia banget pak lurah😄
dramatisasi si fadi dan mama bunga cuma bisa tepok jidat....🤣🤣🤣🤣