Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Contrast
Berantakan sekali hunian perempuan ini… adalah yang terlintas di kepala Amy saat berkunjung ke rumah Nuansa. Sampah makanan ringan berserak di mana-mana, tisu basah dan kering tersebar di seluruh meja, remahan biskuit tercecer di lantai—membuat Amy berjinjit jijik karenanya.
“Nuansayyyyyy … what are you doing, my baby, honey, sweety? Rumah yey kenapa jadi kayak kapal pecah begini?” celotehnya frustrasi, memegangi kepala yang terasa berputar-putar seperti habis kena gempa.
Nuansa, dari balik selimut yang memeluk tubuhnya erat, menemaninya meringkuk di sofa, hanya melirik sekilas, dan tidak mengatakan apa-apa. Pandangannya kembali fokus ke layar televisi, meyaksikan adegan exorcism ekstrem untuk seorang perempuan yang tengah kayang di atas tempat tidur.
Setan sudah merasuki tubuh perempuan itu, menguasai raganya. Sementara jiwanya melayang entah ke mana. Mungkin terjebak di dunia bawah, mungkin diajak berkelana oleh sosok yang dalam pandangannya tampak indah—sementara wujud aslinya adalah iblis bertanduk merah yang kejam.
“Setan takutnya sama apa, My?” tanya Nuansa tiba-tiba.
Amy yang sedang membungkuk, memungut bungkus makanan ringan dari lantai, sontak kembali menegakkan punggungnya dengan wajah terheran-heran. “Mana eyke tahu? Eyke bukan setan,” jawabnya agak nyolot. Tapi begitu melihat Nuansa menatap ke arahnya dengan sorot putus asa, Amy menghela napas berat dan mendekat. “Kenapa sih emangnya? Yey ketempelan setan?”
Nuansa menarik selimutnya, merapatkan ke tubuhnya sambil bangun dari posisi rebah. Dia bergeser duduk di ujung, memberikan Amy ruang untuk duduk di ujung yang lain. “Ada setan yang gangguin hidup gue belakangan ini,” keluhnya.
Amy mengernyit. “Setan apa? Di mana?” cerocos Amy. Kepalanya celingukan, mencari keanehan yang mungkin ada di rumah Nuansa. Jika benar di sini ada setan, maka masuk akal ketika Nuansa bisa menjadi sosok yang berantakan seperti sekarang. “Yey mau eyke panggil ustad, pendeta, biksu, atau apa? Kita bersihin rumah yey biar netral lagi.”
Sejenak, Nuansa geming, hanya mendengarkan ocehan Amy yang mulai heboh sendiri. Lalu helaan napas panjangnya, membuat mulut Amy berhenti bergerak. Pria gemulai itu menatapnya lekat-lekat.
“Nuansay … yey kayaknya emang harus dirukiah.”
“Rukiah doang nggak akan mempan,” cetus Nuansa, disandarkannya kepala ke bahu sofa, matanya menatap nanar layar televisi. Kegiatan exorcism masih berlangsung. Setan di dalam tubuh tokoh utama itu semakin galak, semakin menjadi-jadi menyiksa raga yang dijadikannya inang. “Setan yang gangguin hidup gue udah another level,” lanjutnya.
“Terus yey mau eyke bagaimana?”
Nuansa mulai memejamkan mata, “Nggak tahu. Gue pusing.”
Amy mendesah pelan, “Yey aneh tahu belakangan ini. Kayaknya setan yang ganggu hidup yey emang setan yang dikirim langsung dari neraka,” ujarnya.
Kepala Nuansa mengangguk pelan, “The real dari kerak neraka.”
Tapi wujudnya manusia. Namanya Demas Angger Danaseta.
...✨✨✨✨✨...
Angger mengorek telinga, barusan terasa berdenging dan seperti ada yang bergerak menjejak gendang telinganya. “Ada yang lagi ngomongin gue,” katanya.
K, yang sedang sibuk dengan laptop, mengangkat kepala. Pria itu tampak clueless, tidak mengerti kenapa bosnya tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tidak jelas juntrungannya. “Emangnya kenapa?” tanyanya polos.
Angger diam sebentar, lalu menggeleng. “Bukan apa-apa,” katanya. Memilih tidak menjelaskan apa pun kepada K, daripada panjang urusan.
Angger datang jauh-jauh ke apartemen K bukan untuk membicarakan soal telinga berdenging, yang mitosnya bisa terjadi karena sedang jadi bahan omongan orang lain. Dia datang jauh-jauh ke sini, menyetir sendiri, untuk mendengarkan rencana K dengan lebih detail. Soal kerja lapangan yang akan mulai dilakukan tangan kanannya itu mulai besok, setelah hari ini dia berhentikan dari pekerjaannya di kantor.
“By the way, itu apa?” kata Angger mengalihkan pembicaraan, menunjuk kotak mungil di atas nakas dengan bibirnya.
K mengikuti arah yang ditunjuk, kemudian kembali menunduk menekuri layar laptopnya. “Hadiah,” jawabnya singkat.
Angger tampak tertarik. Didekatinya nakas, lalu diambil kotak yang K sebut kado itu. “Dari siapa?” tanyanya semakin kepo, sambil membolak-balikkan kotak mungil itu, seakan sedang memindai setiap sisinya.
“Anak magang di kantor.”
“Lo punya penggemar? Dan baru muncul detik-detik terakhir pas lo dipecat?” celetuk Angger, diikuti tawa meledek.
K manyun, jemari panjangnya menari di atas keyboard dengan gerakan agak keras. “Chief datang ke sini bukan buat bahas kehidupan pribadi saya, kan?” tembaknya.
Senyum lenyap dari wajah Angger. Dia kembali lagi mendekat pada K, langsung duduk di sebelahnya, dan meletakkan kotak mungil itu di dekat laptop sang empunya. “Selingan dikit, biar nggak terlalu mumet,” katanya.
K tidak menggubris, malah menggeser laptopnya, mengarahkan Angger memeriksa susunan rencana yang sudah dibuatnya.
“Hmm…” Angger memeriksa dengan hati-hati. Susunan rencana buatan K itu meliputi identitas barunya, yang akan dia gunakan selama menjalani misi penyelidikan. Bagian yang lain tampak oke. Angger mengangguk setuju, mengapresiasi betapa terampil kemampuan K—yang sebenarnya, tidak perlu diragukan lagi. Namun saat membaca identitas baru yang K siapkan, tawa Angger tidak bisa ditahan. Susah payah pun dia berusaha, tawa itu tetap menyembur keluar, menggema memenuhi apartemen K yang biasa sunyi senyap penuh ketenangan.
K yang tidak tahu menahu alasan mengapa bosnya tertawa, melongo dengan sorot mata penuh tanya. “Kenapa, Chief? Ada yang salah?”
Bukannya langsung menjawab, Angger malah semakin tertawa terbahak-bahak.
“Chief.” K menekannya suaranya.
Angger berusaha keras menghentikan tawa. Selain mulai engap, perutnya juga terasa sakit. “Dimas …Dimas Badai….” Dia menunjuk layar laptop K, tawanya menyisakan senyum konyol yang sulit dilenyapkan sekaligus. “Lo serius mau pakai nama itu? Nggak ada nama lain yang lebih manusiawi?”
“Ini udah cukup manusiawi,” balas K. Dia menatap layar laptopnya, cemberut. Memangnya apa yang salah sih dengan nama Dimas Badai? Keren, kok. Lagi pula siapa yang akan cukup peduli? Toh hanya nama palsu, akan dia tinggalkan juga kalau misinya sudah selesai.
“Chief mending fokus ke rencana, Chief. Nggak usah pusingin soal nama.”
Angger menyeka sudut mata, sambil mengangguk. “Ya, ya, sorry. Gue nggak ngomong itu in a bad way, kok.”
“Tahu, Chief, tahu.” K sedikit ngegas. “Sudah ya, kita lanjut bahas yang lain.”
Begitu cepat gerakan K menggeser kembali laptopnya, menekan kursor jauh ke bawah, meninggalkan profil identitas palsu buatannya. Sementara Angger, mengangguk samar dengan senyum tipis masih terpatri di wajahnya. K yang sudah kembali sibuk, dipandanginya sambil bertopang dagu.
Reaksi K atas protesnya, mengingatkan Angger kembali bahwa K adalah manusia. Manusia biasa, yang memiliki ragam emosi, dan bisa meledak kapan saja. Tugas Angger adalah untuk memastikan itu tidak terjadi. Memastikan K tetap memiliki momen-momen kecil untuk mengekspresikan perasaannya. Agar tangki emosinya tidak penuh. Agar dia tidak meluluhlantakkan semuanya.
“Nanti setelah misi ini selesai, kita liburan ke Faroe Islands kayak yang selalu lo impikan,” tandas Angger, menutup pembicaraan santai untuk kembali fokus pada misi penting mereka.
Bersambung….
Hamil dulu tapi😁