NovelToon NovelToon
TUMBAL TERAKHIR

TUMBAL TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Horor / Iblis / Fantasi Timur
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pena biru123

Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya

bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 34

Ratih dan Dara saling berpegangan erat di tengah kamar kos yang terasa asing dan dingin. , aroma karpet tua, dan suara bising klakson dari jalanan ibukota terasa menusuk setelah keheningan dimensi batin. Di lengan Ratih, ukiran liontin tiga warna—putih, emas, dan ungu—bersinar lembut. Itu bukan tato, melainkan manifestasi energi Penyatuan Hati.

“Ini bukan mimpi, Dara,” bisik Ratih, suaranya masih serak karena emosi. Dia menyentuh ukiran itu. “Ini bukti bahwa kita memang melakukan perjalanan itu.”

Dara, yang biasanya tenang dan logis, kini panik. “Bagaimana kita bisa terpisah? Kenapa hanya kita yang ditarik? Mereka bilang Penyatuan Hati! Kenapa ‘hati’ itu tidak menarik mereka juga?”

Ratih berpikir keras. Dia mengingat saat cahaya itu meledak. Itu adalah kekuatan penolakan Void, dorongan kuat untuk menstabilkan dimensinya. Mungkinkah dimensi batinnya, yang kini damai, secara otomatis menarik 'jangkar' terdekatnya, yaitu kamar kos tempat dia memulai semua ini?

“Aku tidak tahu mekanismenya, tapi ada satu hal yang aku yakini,” kata Ratih, menatap Dara dengan mata yang kembali memancarkan cahaya ungu lembutnya. “kita adalah bagian dari ikatan itu, dan mereka masih di Desa Tiga Batu. Mungkin... mereka juga tengah bingung, karena kita tiba-tiba hilang " jelas Ratih.

Kebingungan Dara mereda, digantikan oleh tekad yang membara. Dia merapikan jubahnya yang kini robek dan kotor, warisan dari petualangan gila mereka.

“Kita harus kembali,” tegas Dara, suaranya kembali ke nada perintah yang biasa. “Kali ini, misinya lebih sederhana. Tidak ada Entitas Tunggal, tidak ada Void. Hanya menemukan cinta kita. Ayo, Ratih.”

Mereka hanya membawa uang tunai seadanya yang tersisa di dompet dan membiarkan diri mereka terbawa oleh jalur bus kota dan kemudian, bus antarprovinsi. Mereka bergerak cepat, didorong oleh satu tujuan: Desa Tiga Batu.

Tiga belas jam kemudian, mereka berdiri di pinggiran daerah yang seharusnya menaungi desa kuno itu. Namun, pemandangan di hadapan mereka membuat hati mereka mencelos.

Desa Tiga Batu tidak ada.

Hanya ada hamparan lahan kosong yang luas. Tanah itu subur, ditumbuhi ilalang tinggi, dan dibatasi oleh hutan lebat di kejauhan. Tak ada gubuk kayu, tak ada sumur kuno, tak ada batu-batu megalit yang menjadi ciri khasnya. Seolah-olah desa itu hanya fatamorgana yang ditiup angin.

Mereka bertanya kepada beberapa penduduk lokal di desa terdekat, menunjukkan deskripsi gubuk dan bertanya tentang orang-orang dengan ciri-ciri Jaya dan Wijaya.

“Desa Tiga Batu?” tanya seorang petani tua sambil menggeleng. “Tidak ada yang namanya desa itu di sini, Neng. Di daerah sini, sudah puluhan tahun hanya ada lahan kosong ini.”

“Mungkin namanya berubah, Kek?” tanya Dara putus asa. “Ada seorang pemuda bernama Wijaya, dengan pedang panjang di punggungnya? Atau Jaya, pemuda yang sangat pintar membaca aksara kuno?”

Pria tua itu tertawa. “Anak muda main pedang? Mereka pasti salah tempat. Di sini isinya hanya sawah dan hutan saja.”

Keputusasaan mulai merayap. Mereka mencoba mencari jejak energi, namun dunia ini terasa terlalu padat dengan kebisingan biasa. Pintu Kosmik Batin telah menutup, dan Desa Tiga Batu entah terserap ke dimensi lain atau hanya menjadi gerbang yang kini disegel.

Mereka kembali ke pinggir hutan, di lokasi yang mereka yakini sebagai titik awal. Dara terduduk lemas.

“Kita kehilangannya, Ratih,” bisik Dara, air mata mengalir di pipinya. “Kita sudah memenangkan perang itu , tapi kita kehilangan mereka. Semua ini hanya terasa seperti… penyesalan.”

Ratih memeluknya. Dia merasakan sakit yang sama, namun ingatannya tentang pertempuran terakhir memberinya kekuatan. Dia ingat tatapan Wijaya saat membiarkan gelombang Void menghantamnya. Itu bukan keputusasaan; itu adalah keyakinan.

“Wijaya bilang, kebebasan adalah untuk memilih,” ujar Ratih, mengencangkan pelukannya. “Dan aku memilih untuk tidak percaya bahwa mereka menghilang. Jaya dan Wijaya adalah bagian dari Penyatuan Hati-ku. Jika kita terpisah, berarti ada alasan yang lebih besar. Mereka pasti berada di tempat yang hanya bisa kita temukan dengan cara ini.”

Mereka menatap ukiran di lengan Ratih. Gambar Liontin itu berdenyut samar, seolah memberikan petunjuk, bukan melalui tempat, tetapi melalui waktu.

“Kita akan kembali ke kota, Dara,” putus Ratih. “Kita akan kembali ke tempat kita memulai, dan kita akan mencari cara untuk membuka pintu itu lagi. Kita akan mencari petunjuk yang menghubungkan dimensi kita dengan mereka.”

Setelah gagal total, mereka memutuskan untuk mengambil bus malam terakhir menuju ibukota. Terminal bus yang mereka singgahi adalah terminal tua yang ramai di siang hari, namun terasa suram dan menakutkan setelah jam 11 malam. Bau solar, sampah yang menumpuk, dan lampu neon kuning yang berkedip-kedip menciptakan suasana tegang.

Mereka duduk di bangku tunggu paling ujung, jauh dari kerumunan kecil pedagang asongan dan kondektur. Kelelahan fisik dan mental membuat mereka rentan.

Saat menunggu bus, Ratih merasakan sesuatu yang akrab namun mengganggu. Sebuah keraguan yang dalam. Keraguan itu bukan miliknya, tetapi seolah-olah mengalir dari lingkungan sekitar. Itu adalah jejak sisa-sisa Entitas Tunggal, yang menyukai tempat-tempat dengan konsentrasi penderitaan dan penyesalan kolektif. Terminal bus adalah sarang penyesalan, janji yang tertunda, dan perpisahan yang menyakitkan.

“Dara, kau merasakannya?” bisik Ratih, tangannya meraba ukiran di lengannya.

Dara mengangguk, matanya menajam. “Energi Void. Kecil, tersebar, tapi nyata. Seperti sisa-sisa abu Entitas Tunggal.”

Saat itulah, sesosok muncul dari kegelapan di samping kios rokok yang tutup. Sosok itu adalah seorang Kakek Tua Misterius.

Kakek itu berjalan lambat, menyeret tongkat kayu yang berderit di lantai semen. Dia mengenakan pakaian lusuh yang terlalu tebal untuk iklim tropis, dan topi jerami yang menutupi sebagian besar wajahnya. Yang paling menakutkan adalah cara dia bergerak: setiap langkahnya terasa lambat, seperti film yang diputar dalam gerakan lambat, tetapi dia menempuh jarak dengan cepat.

Kakek itu berhenti tepat di depan bangku mereka. Ratih dan Dara menahan napas.

Kakek itu mengangkat kepalanya sedikit. Di bawah bayangan topi jeraminya, mata Kakek itu memancarkan warna yang membuat darah Ratih dan Dara membeku: ungu kosong. Persis seperti mata Ratih saat dikuasai oleh Entitas Tunggal.

“Kalian mencari mereka, ya?” suara Kakek itu serak, seperti gesekan batu. Suara itu memiliki gema yang asing, seolah-olah berjarak ribuan tahun.

Dara segera bangkit, mencoba menyalakan Api Putihnya, tetapi tidak ada apa-apa. Kekuatan mereka seolah-olah tertinggal di dimensi batin.

“Siapa kau?” tuntut Dara.

Kakek itu tersenyum—senyum yang sinis, menampilkan deretan gigi yang menghitam.

“Aku adalah Keseimbangan yang terbawa bersamamu,” jawabnya, dan suaranya mulai membelah. Itu bukan suara satu orang, melainkan paduan bisikan, mirip dengan suara Entitas Tunggal yang hancur. “Aku adalah pecahan kecil dari yang kalian hancurkan, mencari tempat berlindung. Dan tempat ini... penuh dengan keraguan.”

Kakek itu mengulurkan tangan yang kurus kering ke arah Ratih. Di telapak tangannya, ada tiga butir debu yang berkilauan.

“Kalian berdua selamat, karena kalian adalah Wadah yang kuat. Tapi mereka...tanpa Tekad dan Bimbingan kalian... mereka berada di dimensi yang tidak bisa dicapai oleh hati yang rapuh.”

Ratih merasakan tarikan energi yang kuat. Ketakutan bahwa Wijaya dan Jaya benar-benar telah hilang.

“Di mana mereka?” tanya Ratih, suaranya bergetar.

“Di tempat di mana waktu adalah ilusi,” bisik Kakek itu. Dia melangkah maju, dan Ratih serta Dara melihat bahwa kaki Kakek itu tidak menyentuh lantai; dia melayang hanya beberapa milimeter. “Tapi kalian akan bertemu lagi. Asalkan kalian mau berkorban.”

Kakek itu menjentikkan jarinya. Tiga butir debu di tangannya terbang, dan bukan mengarah ke Ratih, tetapi ke arah bus mereka yang baru saja tiba.

Ketika debu itu menyentuh badan bus, bus itu mulai bergetar. Lampu di dalamnya padam, dan dari jendela-jendela gelap, Ratih dan Dara bisa melihat bayangan-bayangan bergerak—bayangan penumpang yang terjebak dalam kesedihan dan penyesalan. Bus itu berubah menjadi manifestasi horor, sebuah peti mati berjalan.

“Ikatan adalah pengorbanan,” kata Kakek itu, matanya yang ungu bersinar lebih terang. “Pilih. Temukan kembali cintamu, atau selamatkan jiwa-jiwa yang sudah mati ini. Apa yang akan kau korbankan untuk mendapatkan kembali Penyatuan Hatimu?”

" Itu hanya jebakan, kau adalah penipu" teriak Ratih, lalu dia terbangun dari tidurnya.

" Ratih ada apa?" Tanya dara yang kini duduk di dalam bus bersama Ratih.

" Tidak ada dara, kurasa aku hanya kelelahan" ucap Ratih, dia tidak mau membuat dara ketakutan lagi.

" Dara, kurasa sampai dikota. Kita akan ke perpustakaan tua, mungkin disana ada petunjuk" ucap nya lesu.

" Baik lah" sahut dara, dia kembali memejamkan matanya, menikmati perjalanan menuju kekota.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!