Anna adalah anak haram yang hidup menderita sejak kecil. Jalan hidupnya ditentukan oleh keluarga Adiguna secara kejam. Bahkan Anna harus menikahi calon suami kakak tirinya yang kabur meninggalkan pernikahan. Lion Winston, kekasih kakak tirinya, mereka saling mencintai, tapi entah kenapa kakak tirinya meninggalkan laki-laki sempurna itu. Tetapi Anna, gadis malang yang akan menerima penderitaan akibat kesalahan kakak tirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elizabetgultom191100, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan
Pagi-pagi sekali Leon sudah bangun, pergi ke mini market terdekat untuk membeli testpack sesuai petunjuk Diana. Ketika kembali, Anna tengah duduk di tempat tidur dalam keadaan pucat. Sepertinya ia baru saja mengalami mual lagi. Leon langsung memijat tengkuk dan punggungnya, memberi istrinya ketenangan.
Kemudian mengambil testpack dan menunjukannya pada Anna. Anna yang melihat testpack itu, menatap Leon penuh tanya. Ia sadar gejala yang dia alami ini adalah gejala kehamilan, tapi apakah mungkin? Anna ragu akan hal itu, mengingat perdebatan mereka kemarin, ia tidak berharap memiliki anak dengannya.
"Aku akan sangat bahagia memiliki anak denganmu." gumam Leon saat melihat keraguan di mata istrinya. "Aku janji tidak akan melakukan hal yang tidak kau suka."
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya dia menerima benda itu. Sebenarnya dia juga sangat penasaran kenapa dia terus mual. Anna masuk ke dalam kamar mandi, diikuti oleh suaminya. "Jangan melihatku!" perintah Anna saat akan mengambil urinnya.
Leon menurut seperti anak kecil, mengabaikan sikap ketus istrinya. Anna yang sudah menampung urinnya, meletakkannya di atas wastafel. "Aku tidak mengerti memakai benda ini."
Leon berbalik, mengambil testpack setelah membaca petunjuk di bungkusnya. Dia pun sama butanya dengan Anna. Hal ini merupakan hal yang baru untuknya. Setelah mengikuti petunjuk, keduanya menunggu dengan sabar. Jantung mereka berdetak lebih kencang dari biasanya. Terutama Anna, meski dia benci pria ini, dalam hati kecilnya ada secercah harapan dari alat tes itu.
Setelah merasa waktunya pas, Leon yang sangat penasaran mengangkat alat tes itu. Alat tes itu menunjukkan satu garis biru, yang menandakan tidak ada tanda kehamilan. Hati keduanya dihempas dalam sekejap, terlebih Leon yang sudah sangat mengharapkan kehamilan istrinya.
"Benar Bu, hanya satu garis, tidak ada garis samar." Leon bicara dengan Diana melalui telepon yang melaporkan hasil tes kehamilan istrinya.
"Mungkin ada masalah dengan testpack itu. Sebaiknya Anna dibawa periksa ke dokter, karena hasil pemeriksaan dokter lebih akurat." ucap Diana.
"Baiklah Bu."
Leon menutup teleponnya, lalu mendekati Anna yang baru selesai mandi. Wajah Anna tidak sepucat tadi pagi, terlihat sehat seolah tidak merasakan apa-apa seperti sebelumnya.
"Ibu menyuruh kita ke rumah sakit untuk memastikan kenapa kau terus mual. Nanti ibu juga akan ikut, kita akan bertemu di rumah sakit." Leon menyampaikan pesan Diana.
"Tidak perlu! Sepertinya aku hanya masuk angin biasa. Sekarang pun aku sudah merasa sehat." Anna menolak, sungguh ia benar-benar kesal karena masih tinggal bersama pria itu saat ini. Mengingat perdebatan mereka, ia tidak ingin bicara dengannya.
"Sayang, jangan sepele dengan kesehatanmu. Okelah kalau kau memang tidak hamil dan ternyata memiliki masalah kesehatan? Aku tidak mau kau sakit." dengan lembut menyibakkan rambut istrinya dan membelainya lembut.
"Lagi pula ibu sangat berharap setelah kutelpon tadi malam. Jangan membuat ibu terus berharap. Hem?"
Membayangkan wajah mertuanya, mau tidak mau Anna tidak bisa menolak. Wanita itu mengangguk lalu bersiap-siap. Kini keduanya sudah ada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Leon menuju rumah sakit dekat rumah mereka.
Ponsel Anna berbunyi, panggilan dari Diana. Setelah bicara dengan singkat, Anna menutupnya. "Ibu tidak menemani kita ke rumah sakit karena harus menemani ayah melihat kerabat jauh yang baru saja meninggal pagi ini."
Leon mengangguk, "Tidak apa-apa. Nanti kita beri mereka kabar baik." mesti alat tes itu mengecewakannya, Leon berharap pemeriksaan dokter memberinya harapan.
Tiba-tiba pria itu meraih tangan istrinya, memberikan kecupan di setiap permukaan kulitnya. "Anna sayang, sudah ya marahnya. Aku janji tidak akan berbohong lagi. Kalau aku ingin bertemu James, aku akan membawamu juga. Dan apa pun yang berkaitan dengan James harus atas sepengetahuanmu."
Anna menjauhkan pandangannya dari pria itu, tentu tidak semudah itu mendapatkan maaf darinya. "Baiklah kalau kau masih marah. Tapi nanti jika hasil tes dari dokter adalah kabar bahagia, kau tidak boleh marah lagi."
Mereka hampir sampai di rumah sakit, tetapi kabar buruk dari kantor Leon membuatnya mengubah haluan. Terjadi kecelakaan di ruang bawah tanah yang sedang dalam masa renovasi yang menyebabkan salah satu petugas tewas di tempat. Sebagai pemilik perusahaan, Leon harus mengurusnya sendiri. Alhasil rencana mereka harus ditunda. Membiarkan Anna melakukan pemeriksaan sendirian, tentu dia tidak akan melakukannya. Ia ingin kabar bahagia itu mereka dengarkan bersama.
Masalah itu ternyata menjadi masalah besar di perusahaannya. Leon yang kecolongan wartawan menjadi trending topik di media, sebab perusahaannya menyebabkan hilangnya nyawa salah satu karyawan mereka. Meski dia sudah bertanggung jawab dengan memberikan kompensasi yang besar pada keluarga korban, ternyata itu tidak cukup menutup mulut orang-orang. Sehingga dia benar-benar disibukkan menyelesaikan masalah itu sampai lupa dengan istrinya.
Anna yang tahu kondisi suaminya yang sedang kacau, pada akhirnya harus mengesampingkan amarahnya lagi. Setiap Leon pulang dengan wajah penuh tekanan, ia tidak sanggup bersikap ketus dengannya. Pada akhirnya, ia harus bersikap layaknya istri yang baik bagi Leon.
"Sayang, maaf karena tidak memperhatikanmu beberapa hari ini." ucap Leon yang masih berbaring di ranjang menatap istrinya yang juga baru tidur. Sejak sepuluh menit lalu dia sudah bangun, namun enggan bersiap-siap ke kantor karena pemandangan wajah cantik istrinya.
"Tidak apa-apa, aku mengerti. Kekacauan di kantor pasti membuatmu pusing kan?" tangan mungilnya mengusap wajah suaminya yang terlihat lelah karena begadang beberapa hari ini.
"Hem... saham perusahaan turun drastis. Investor terus menekanku karena masalah itu." Leon mengadu pada istrinya, meski tahu Anna tidak bisa memberi solusi. Tetapi mencurahkan masalahnya pada istrinya justru membuat hati dan pikirannya tenang. Tidak ada obat penenang yang lebih manjur dibanding wanita ini.
Anna menepuk pundak suaminya, "Aku percaya padamu, kau pasti bisa menyelesaikan masalah ini."
Leon tersenyum, langsung menarik tubuh istrinya sehingga tiada jarak di antara mereka. "Sebenarnya kau ini apa hah? Setiap melihatmu, aku selalu terbius. Padahal aku sedang kacau karena masalah kantor, tapi kau...." Leon tidak dapat melanjutkan ucapannya karena Anna terlalu menggemaskan di matanya. Pria itu mencumbu Anna dengan mesra. Penuh gairah yang akan membawa mereka menuju surga yang penuh nikmat.
***
Anna meremas kertas putih yang sudah dibubuhi oleh tinta hitam di atasnya. Matanya menatap nanar dinding rumah sakit yang serba putih. Air mata perlahan jatuh dari pelupuk matanya. Tadi pagi setelah suaminya pergi ke kantor, ia kembali merasakan mual, membuatnya memutuskan pergi ke rumah sakit sendirian. Dan hasilnya membuat jantungnya berdebar. Sudah berulang kali dia membaca hasil tes dari dokter, tetapi kalimat di dalamnya tidak berubah.