Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemandangan yang Tak Biasa
Pasar itu terlihat seperti pasar biasa. Lampu-lampu redup menggantung di sepanjang jalan, menciptakan cahaya yang lembut meskipun cukup gelap. Tumpukan barang antik, kain-kain, dan benda-benda tak jelas lainnya terletak begitu saja di rak-rak yang sudah tampak berdebu, seperti ditinggalkan begitu lama. Namun, ada sesuatu yang tidak beres. Meskipun tampak seperti pasar, tidak ada penjual atau pembeli yang terlihat. Tidak ada suara riuh, tidak ada transaksi yang terjadi. Hanya ada kesunyian yang mencekam.
Kami semua merasa tidak nyaman, seakan kami sedang diperhatikan. Rasanya seperti ada mata yang mengawasi setiap gerakan kami. Setiap kali aku menoleh, aku merasa seperti ada seseorang yang diam-diam mengamati kami dari bayangan, namun ketika aku mencoba melihat lebih jelas, tak ada siapa pun di sana. Aku bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat di antara kami.
“Gue nggak suka ini,” kata Indra dengan suara pelan, mencoba menenangkan diri, meskipun wajahnya terlihat sangat cemas. “Semua ini aneh banget. Kayak ada yang salah, tapi nggak ada yang bisa gue jelasin.”
“Gue juga ngerasa begitu,” jawab Fandi, sambil menatap sekeliling dengan penuh curiga. “Pasar ini sepi banget, bahkan nggak ada suara sama sekali. Ini bukan pasar biasa.”
Aku melihat Rudi yang mulai melangkah lebih jauh ke dalam pasar. Dia tampak penasaran, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang mendorongnya untuk terus maju. “Coba kita lihat lebih dekat. Mungkin ada yang bisa jelasin kenapa pasar ini kosong begini,” katanya, mencoba mengabaikan kecemasan yang mulai menyelimuti kami semua.
“Awas, Rud! Jangan jauh-jauh!” teriak Danang, mencoba mengingatkan, meskipun suaranya sedikit terputus-putus karena ketegangan.
Namun, Rudi tampaknya tidak mendengar. Dia melangkah lebih jauh, mendekati salah satu tenda yang tampak lebih besar. Kami semua hanya bisa mengikuti dengan pandangan cemas, tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Fandi yang sudah agak khawatir mulai melangkah mengikuti Rudi.
“Rudi, lo harus hati-hati, bro!” seruku, tapi suara aku terasa sia-sia, seolah terhanyut oleh angin yang semakin kencang.
Saat Rudi berjalan lebih dekat, suasana semakin terasa aneh. Bayangan-bayangan yang ada di sekitar kami mulai bergerak, meskipun kami tahu bahwa tak ada angin yang cukup kuat untuk menggerakkan sesuatu. Pasar yang tampaknya mati itu seolah hidup, dengan bayangan-bayangan gelap yang terus mengintai dari balik tenda dan rak-rak barang. Kami semua mulai merasa seperti terjebak dalam dunia lain, dunia yang tidak kami kenali, dunia yang semakin terasa menakutkan.
Rudi akhirnya berhenti di depan tenda yang lebih besar dan menoleh ke belakang. “Kalian lihat itu nggak? Ada barang-barang aneh di sini. Apa ini?” dia bertanya dengan suara yang agak ragu.
Aku dan Fandi mendekat, mencoba melihat apa yang ada di dalam tenda itu. Ternyata, di dalam tenda itu ada berbagai macam barang yang tidak kami kenal. Ada boneka-boneka yang terbuat dari bahan yang tampaknya sangat tua, dengan mata kosong yang menatap kami seakan mengingatkan kami akan sesuatu yang menakutkan. Ada juga jarum dan alat-alat yang tampaknya berasal dari zaman kuno, serta berbagai benda-benda lain yang membuat kami semakin bingung dan takut.
“Ada apa ini, bro?” tanya Fandi dengan suara bergetar, seakan tak bisa memproses apa yang dia lihat.
Aku merasa merinding, namun tidak bisa berhenti menatap barang-barang itu. “Gue nggak tahu, tapi gue nggak suka ini. Semuanya terasa salah. Kita harus pergi dari sini,” kataku, mencoba menenangkan diri, meskipun aku tahu tidak ada yang benar-benar merasa tenang.
Namun, sebelum kami bisa berbalik untuk pergi, suara tawa yang nyaring tiba-tiba terdengar dari dalam pasar. Tawa itu seperti berasal dari berbagai arah, mengelilingi kami, namun tak ada sosok yang tampak. Kami semua terdiam, tak tahu harus bagaimana menghadapi suara itu yang terdengar semakin dekat, semakin menakutkan. Tawa itu penuh dengan ironi dan kegelapan, seakan menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih buruk di baliknya.
“Ada yang nggak beres,” kata Danang, suaranya penuh dengan ketakutan. “Kita harus keluar dari sini sekarang juga.”
Kami semua saling berpandangan, dan aku bisa melihat kecemasan di mata mereka semua. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di sini, dan semakin lama kami berada di pasar ini, semakin jelas bahwa ini bukan tempat yang aman. Namun, meskipun kami semua ingin keluar, kaki kami seolah terhenti. Ada sesuatu yang aneh tentang tempat ini. Pasar ini menahan kami, menarik kami untuk tetap berada di sini, meskipun kami tahu bahwa semakin lama kami bertahan, semakin besar risiko yang kami hadapi.
Rudi yang tampaknya mulai menyadari bahwa ada yang tidak beres, akhirnya berbalik dan melangkah cepat ke arah kami. “Guys, kita harus pergi dari sini. Gue merasa ada yang mengawasi kita, dan gue nggak suka ini,” ujarnya, suaranya cemas.
Kami semua mulai bergerak mundur, berusaha menjauhi tenda-tenda dan barang-barang yang tampak semakin tidak wajar. Namun, semakin kami bergerak mundur, semakin kuat perasaan bahwa kami tidak bisa keluar dari sini. Seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi kami untuk pergi, sesuatu yang tidak terlihat namun terasa ada di sekitar kami.
“Kenapa kita nggak bisa keluar?” tanya Fandi, suara terengah-engah. “Gue nggak ngerti, kok rasanya jalan yang kita lewati sama aja. Kita udah berputar-putar dari tadi.”
Aku mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatiku berdegup kencang. "Gue juga nggak tahu, Fandi. Tapi kita harus terus coba. Jangan berhenti sekarang, kita harus keluar!"
Ketika kami berbalik dan berusaha mencari jalan keluar, kami merasa semakin terjebak. Pasar yang tampaknya sepi dan tidak berbahaya, kini berubah menjadi labirin yang membuat kami semakin bingung. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Tenda-tenda dan lampu-lampu yang redup terus menyelimuti kami, mengaburkan arah kami. Setiap langkah terasa sia-sia, dan semakin jauh kami berjalan, semakin kami merasa seperti berada di tempat yang tidak seharusnya kami datangi.
Danang yang mulai panik mulai berlari ke salah satu ujung pasar, berteriak, “Ada jalan keluar, pasti ada jalan keluar!”
Namun, suaranya hanya terhanyut oleh angin dan kesunyian pasar yang semakin mencekam. Kami semua mulai berlari, mencoba mencari jalan keluar yang tampaknya tidak ada ujungnya. Semakin lama kami berlari, semakin kami merasa terperangkap dalam tempat ini, dan semakin kami menyadari bahwa pasar ini bukan hanya tempat biasa—ini adalah tempat yang telah menahan kami, mengunci kami dalam dunia yang tidak kami kenal.