Saga, sang CEO dengan aura sedingin es, tersembunyi di balik tembok kekuasaan dan ketidakpedulian. Wajahnya yang tegas dihiasi brewok lebat, sementara rambut panjangnya mencerminkan jiwa yang liar dan tak terkekang.
Di sisi lain, Nirmala, seorang yatim piatu yang berjuang dengan membuka toko bunga di tengah hiruk pikuk kota, memancarkan kehangatan dan kelembutan.
Namun, bukan pencarian cinta yang mempertemukan mereka, melainkan takdir yang penuh misteri.
Akankah takdir merajut jalinan asmara di antara dua dunia yang berbeda ini? Mampukah cinta bersemi dan menetap, atau hanya sekadar singgah dalam perjalanan hidup mereka?
Ikuti kisah mereka yang penuh liku dan kejutan di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beauty and The Beast 30
Dengan langkah pelan, Saga keluar dari kamar dan menuju ruang kerjanya. Sesampainya di sana, ia melihat Rafael sudah duduk dengan wajah cemas.
"Ada apa, Rafael? Apa terjadi sesuatu dengan Mama?" tanya Saga langsung, tanpa basa-basi.
Rafael menghela napas berat, menyisir rambutnya dengan frustrasi. "Ini tentang Mama, Saga. Dia... dia semakin parah," jawabnya dengan nada putus asa.
Saga merasakan jantungnya berdebar kencang. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada khawatir.
"Setelah kalian pergi kemarin, Mama terus mengamuk. Dia terus berteriak memanggil nama Nirmala. Para perawat sudah mencoba menenangkannya, tapi tidak berhasil. Mereka bahkan sampai memberinya dosis obat penenang yang lebih tinggi dari biasanya," jelas Rafael dengan nada cemas.
Saga terdiam, membayangkan betapa menderitanya Sabrina saat ini. Ia merasa bersalah karena telah membuat wanita itu semakin tersiksa.
"Tapi... ada yang lebih aneh lagi, Saga," lanjut Rafael dengan nada bingung.
Saga mengangkat alisnya, menatap Rafael dengan tatapan bertanya. "Apa itu?" tanyanya.
"Mama terus mengatakan bahwa Nirmala adalah anaknya. Dia terus menyebutkan tanda lahir di lengan Nirmala. Dia bilang, dia ingat tanda itu, tanda kelopak mawar merah," kata Rafael dengan nada heran.
Saga terkejut mendengar perkataan Rafael. Ia tidak menyangka Sabrina akan mengingat tanda lahir Nirmala. Apakah ini berarti ingatannya mulai kembali?
Ponsel Rafael berdering. Adalah perawat dari RSJ. "Tuan, Ibu Sabrina tidak mau makan dan hanya melihat ke telapak tangannya yang kosong. Dia terus bergumam tentang 'tanda itu'."
Rafael langsung berdiri. "Aku mau kembali ke sana."
"Aku ikut." Mendengar suara itu, Rafael dan Saga kompak menoleh rupanya mereka berdua tidak sadar jika Nirmala sedang memperhatikan mereka dari lantai atas. Nirmala langsung turun menapaki anak tangga perlahan tapi dengan langkah yang cepat, membuat Saga ngeri-ngeri sedap melihatnya. Saga pun bergegas mendekati Nirmala dan meraih tangannya saat sudah mencapai beberapa anak tangga terakhir.
"Kamu masih sakit," ucap Rafael sambil meraba kening adiknya.
Nirmala menatap map merah yang berada di atas meja. "Ini rekam medis Mama waktu melahirkan kamu?" celetuknya.
"Ya," jawab Rafael. "Lihat ini nama dokter yang menangani persalinan itu adalah Dr. Siti Hartati. Tapi... dia sudah pensiun sejak 10 tahun yang lalu."
"Kita cari," ucap Saga. Ia langsung meraih ponselnya dan mengetik sesuatu. Tak lama, ponselnya pun bergetar. Saga segera membuka pesan yang dikirim ke ponselnya.
Perjalanan yang mereka tempuh cukup jauh untuk menemukan alamat Dr. Siti, yang berada di pinggiran kota sebuah rumah kecil yang tenang dengan taman bunga di depan. Ketika mereka tiba, seorang wanita tua dengan rambut putih yang diikat rapi membuka pintu. Dia langsung mengenali Rafael, tapi tidak dengan Nirmala.
Rafael bertanya tentang bayi dari pasangan suami istri Sabrina dan Jovanka, dan Dr. Siti mulai menceritakan dengan suara bergetar:
"Malam itu, aku melihat orang yang mencurigakan masuk kamar bayi. Dia memakai baju yang mirip staf rumah sakit, tapi matanya ganas. Dia mendekati tempat tidur bayi nona Sabrina."
Nirmala menangis mendengarnya. "Apa dia mau membunuhnya?"
"Aku tidak tahu, tapi insting ku berkata harus cepat bertindak. Tanpa berpikir panjang, aku menukar Mala dengan bayi yang baru saja meninggal sesaat setelah ibunya meninggal. Aku bawa Mala keluar kamar itu, dan orang itu langsung menyuntikkan sesuatu ke badan bayi yang sudah meninggal itu."
"Malam itu aku menghubungi Parman adikku yang bekerja sebagai tukang kebun di kediaman keluarga Jovanka. Benar saja, ada beberapa orang yang beberapa kali mencoba menerobos masuk untuk memastikan keadaan bayi Jovanka yang lain lebih memilih mengawasi dari luar pagar. Parman meminta aku membawakan bayi itu padanya. Setelah itu, aku tidak tahu kemana Parman membawa bayi mungil itu."
Ingatan Rafael perlahan menjauh, tapi kepingan ingatan itu satu persatu menyatu seperti puzzel. Ia memang sudah mengorek informasi dari Parman tukang kebun di rumahnya. Dan Parman benar-benar bercerita bahwa ia tidak membunuh adiknya.
Sebelumnya
"Maaf, Tuan, saya tidak membunuh Nona. Saya hanya meletakkan dia di tempat sampah tertutup, agar tidak ada orang jahat yang menemukannya," jelas tukang kebun itu.
Rafael menatapnya tajam seperti belati yang siap mengoyak tubuh tua renta Parman tukang kebun yang sudah lama bekerja di rumahnya.
Parman meneguk ludahnya kasar. Ia mencoba membuka suaranya, tapi tenggorokannya terasa kering.
Rafael memejamkan matanya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tanpa terasa, air matanya lolos membasahi pipinya.
"Tolong katakan, dimana bayi itu kamu buang?" suara keputusasaan Rafael tergambar jelas dari wajahnya dan suaranya.
"Saya meletakkan bayi itu di tempat sampah tertutup, lalu saya bersembunyi. Tidak lama, bayi itu menangis mungkin karena sudah cukup lama dalam dekapan saya."
"Saat saya mau berdiri mengambil bayi itu karena kasihan, tiba-tiba ada suara orang mengobrol dan makin dekat. Saya kembali bersembunyi, dan mereka ternyata sepasang suami-istri yang mendengar tangisan bayi itu."
"Mereka menemukan dia lalu mengeluarkan bayi itu dari tempat sampah. Saya dengar mereka mengucapkan rasa syukur, dan istrinya menangis bahagia. Saya diam-diam membuntuti keduanya, juga sering mendatangi rumah mereka dan bertanya pada tetangga sekitar untuk memastikan bayi itu dirawat dengan baik."
Parman juga pernah mengatakan nama sepasang suami-istri itu Ratna dan Seno.
Rafael membuka matanya perlahan-lahan, ia menghapus jejak air matanya. Pandangannya bersirobok dengan Nirmala.
"Ratna dan Seno," ucap Rafael lirih, tapi masih bisa didengar oleh Nirmala yang paling dekat dengannya. Nirmala langsung menoleh.
"Itu nama orang tua angkat ku," kata Nirmala dengan mata yang mengembun. "Abang tahu dari mana?"
Dada Nirmala naik turun, menggambarkan emosinya yang tertekan. Saga menggenggam erat tangan Nirmala, seolah ingin menenangkannya.
Rafael mengangguk. "Iya, aku tahu. Saat aku mendatangi kediaman mereka, tetangga di sana berkata jika mereka sudah meninggal dan meninggalkan anak perempuan mereka yang memiliki kios bunga di depan jalan besar."
Rafael menarik nafasnya pelan, seolah melepaskan beban. "Penduduk disana mengira aku seorang yang menagih hutang sepasang suami-istri itu. Tanpa mereka tahu kalau akulah yang berhutang budi pada mereka karena membesarkan adikku." Tak tertahan lagi, Rafael menangis tersedu-sedu, membayangkan kehidupan seperti apa yang dialami adiknya sampai membentuk sosok wanita yang kuat dan tangguh seperti sekarang.
Nirmala juga ikut menangis. Rafael membawa tubuh Nirmala ke dalam pelukannya akhirnya, perjuangannya selama ini membuahkan hasil. Meskipun ia sempat putus asa, tapi ia tak patah arang.
Sedikit demi sedikit, kepingan puzzle itu menarik kepingan yang lain seperti magnet. Meskipun terasa sulit, tapi Rafael merasa seperti ada yang selalu menyemangati dan mengarahkannya.
Ia yakin jika itu adalah Papanya.