NovelToon NovelToon
Tersesat Di Hutan Angker

Tersesat Di Hutan Angker

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Mata Batin / Iblis
Popularitas:315
Nilai: 5
Nama Author: Juan Darmawan

Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.

Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Peringatan Yang Di Abaikan

Suasana mendadak hening. Hanya suara api dari lampu minyak yang sesekali berdesis halus. Lala menatap Citra dengan mata sedikit membesar, seolah meminta agar pembicaraan dihentikan saja.

"Jadi kalian ini…” ujarnya dengan nada sedikit menyelidiki.

“serius mau mendaki ke Gunung Arga Dipa?”

Keenam mahasiswa itu saling pandang, lalu mengangguk bersamaan.

“Iya, Pak,” jawab Lala pelan.

“Kami dengar di sana pemandangannya indah banget. Dan… katanya belum banyak yang naik.”

Pak Arman menarik napas panjang, lalu duduk kembali di kursinya. “Lebih baik jangan, Nak. Gunung Arga Dipa itu bukan gunung biasa. Jalurnya curam, dan… sudah dua bulan tidak ada yang mendaki ke sana. Jalannya pasti sudah hilang tertutup semak.”

“Kenapa nggak ada yang naik lagi, Pak?” tanya Lala, penasaran.

“Oh, jadi kalian mau mendaki ke Gunung Arga Dipa?” tanyanya bu Siti istri Pak Arman.

Citra dan Lala segera berdiri sopan.

“Iya, Bu. Kami memang rencananya mau ke sana besok pagi.”

Bu Siti menatap keenam mahasiswa yang duduk berjejer dengan tatapan cemas.

“Nak, menurut beberapa warga yang sering ke sana… sering terjadi tanah longsor di jalur menuju puncak. Banyak jalan setapak yang sudah tertutup tanah dan akar. Jadi, saya sarankan lebih baik kalian pulang saja. Jangan ambil risiko.”

Ia berhenti sejenak, menatap mahasiswa wanita dari kepala hingga kaki satu persatu, lalu menambahkan dengan suara lebih pelan,

“Apalagi… kalau di antara kalian ada yang sedang datang bulan.”

Lala spontan menegang, sementara Citra mengernyit bingung.

“Memangnya kenapa, Bu?”

Bu Siti menghela napas pelan, lalu menatap para mahasiswa itu dengan sorot mata yang lembut namun serius. Ia mengaduk teh di cangkirnya perlahan sebelum kembali bicara.

“Bukan apa-apa, Nak…” katanya tenang.

“Namanya juga di hutan, kita ndak pernah tahu keadaan di sana seperti apa. Hutan itu luas, sepi, dan kadang menyimpan hal-hal yang sulit bisa dijelaskan dengan akal.”

Citra, Lala dan Novi saling pandang, mulai merasa suasana ruangan semakin berat.

Bu Siti melanjutkan, suaranya sedikit menurun.

“Kita ini hidup di muka bumi juga sebenarnya berdampingan dengan makhluk lain. Ada yang bisa kita lihat, ada juga yang tidak. Mereka juga punya tempatnya sendiri, sama seperti kita.”

Pak Arman hanya diam, menatap istrinya tanpa berkomentar.

“Bukan berarti harus takut,” tambah Bu Siti cepat, seolah tak ingin mereka salah paham.

“Tapi harus tahu batas. Kadang, yang membuat orang celaka bukan karena gunungnya, tapi karena mereka lupa cara menghormati yang tak terlihat.”

Novi menggigit bibirnya pelan.

“Maksudnya, Bu… kalau kita naik, kita harus izin dulu?”

Nando menyenggol pelan lengan Raka sambil menahan tawa kecil. Dengan nada setengah berbisik ia berkata,

“Lu percaya gituan, Rak? Udah 2025 masih aja ngomongin penunggu, makhluk halus segala. Kuno banget, sumpah,”

Bu Siti mengangguk.

“Betul. Setiap tempat punya ‘penunggu’-nya. Orang sini kalau mau naik Arga Dipa, biasanya bawa bunga tujuh rupa, atau sekadar menunduk dan ucap salam waktu melewati batas jalur lama.”

Raka meliriknya cepat, ekspresinya setengah kesal setengah waspada.

“Ssst… pelan, Nd. Jangan ngomong gitu di rumah orang,” bisiknya.

Tapi Nando cuma nyengir.

“Yaelah, gue cuma ngomong doang. Masa iya cuma gara-gara ada yang datang bulan bisa bikin gunung marah? Logika dari mana, coba?”

Citra dan Lala yang duduk tak jauh dari mereka saling berpandangan, merasa suasana mulai sedikit canggung. Pak Arman, yang masih duduk melantai sembari mengisap sebatang rokok buatan sendiri.

“Anak muda,” ucap Pak Arman tenang,

“kadang yang kuno itu bukan ceritanya… tapi orang yang terlalu yakin semua bisa dijelaskan pakai logika.”

Nando mengangkat alis, tapi tak membalas. Udara di ruangan terasa berubah—lebih dingin, lebih berat. Bahkan lampu minyak di meja bergoyang seolah tertiup angin, padahal semua jendela tertutup rapat.

Bu Siti menatap Nando lembut, tapi nadanya tegas.

“Tidak apa kalau tidak percaya, Nak. Tapi jangan mengejek. Di tempat seperti ini, kata-kata bisa jadi panggilan.”

Nando menelan ludah, kali ini benar-benar diam. Raka hanya menepuk pundaknya pelan.

“Udah, Nd. Dengerin aja dulu. Kita tamu di sini.”

Hening kembali menyelimuti ruangan. Di luar, terdengar sesuatu berderak—seperti langkah kaki di halaman tanah yang basah.

Pak Arman menatap ke arah jendela, wajahnya menegang.

“Kalian semua diam dulu,” katanya pelan.

“Sepertinya… ada yang lewat.”

Para mahasiswa saling pandang. Setelah beberapa detik hening, ternyata tidak ada suara apa pun selain bunyi jangkrik dan sesekali burung malam yang menjerit di kejauhan. Angin berhembus lembut lewat celah dinding kayu, membawa aroma tanah lembap dan asap kayu bakar.

Nando tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

“Tuh kan, cuma suara hewan malam. Gak ada apa-apa juga.”

Raka hanya menatap ke arah jendela, masih waspada. Citra dan Lala duduk diam, sementara yang lainnya berbisik pelan.

Namun di tengah keheningan itu, tiba-tiba Pak Arman yang duduk di kursi rotan menundukkan kepala sedikit. Bibirnya bergerak perlahan, dan dari suaranya terdengar seperti gumaman pelan yang aneh, lirih tapi jelas.

“Sepertinya… ini waktunya.”

Suara itu begitu pelan, tapi cukup terdengar oleh ketujuh mahasiswa di ruangan itu. Mereka sontak terdiam. Bahkan Nando yang tadi masih sempat bercanda kini menegakkan badan, menatap Pak Arman dengan wajah bingung.

“Waktunya apa, Pak?” tanya Citra dengan hati-hati.

Pak Arman tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, lalu berdiri perlahan sambil mengambil lampu minyak dari meja. Cahayanya bergoyang liar, menebarkan bayangan panjang ke dinding.

Bu Siti yang berdiri di dekat dapur terlihat menunduk, seolah tahu sesuatu tapi memilih diam.

“Pak…” Raka mencoba memanggil lagi, tapi Pak Arman sudah berjalan menuju pintu depan. Setiap langkahnya terdengar berat, bergema di antara derit papan lantai yang tua.

Saat ia membuka pintu, angin malam langsung masuk, membuat api di lampu minyak hampir padam.

“Pak Arman, mau ke mana?” Tanya Leo cepat

Pak Arman berhenti di ambang pintu, lalu menatap mereka dengan mata sayu.

“Kalau kalian dengar suara itu nanti malam… jangan lihat ke luar. Anggap saja nggak terjadi apa-apa.”

Kemudian tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar, meninggalkan keenam mahasiswa itu dalam kebingungan dan suasana yang makin menegangkan.

Lala berbisik lirih ke Citra,

“Dia ngomong ‘waktunya’ itu maksudnya apa, ya?”

Citra menatap pintu yang masih terbuka setengah, tirai bergoyang perlahan ditiup angin malam. “Entahlah,” jawabnya pelan.

“Tapi aku ngerasa… malam ini bakal panjang.”

Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar dari luar. Lantai kayu berderit pelan saat seseorang mendekat ke pintu.

Citra yang duduk paling dekat refleks menoleh, dan tak lama kemudian pintu terbuka perlahan. Bayangan tubuh Pak Arman muncul di ambang pintu, diterangi cahaya lampu minyak yang redup.

Wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya, meski ada guratan letih di matanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, menutup pintu perlahan, lalu menaruh lampu di meja.

“Ndak apa-apa,” katanya akhirnya, suaranya datar tapi menenangkan.

“Kalian istirahat saja. Di luar cuma angin.”

Suasana hening beberapa detik. Semua mata tertuju padanya, menunggu penjelasan. Tapi Pak Arman malah tersenyum tipis, seolah ingin mengakhiri percakapan.

“Besok pagi saya sarankan kalian pulang saja ke kota,” lanjutnya.

“Jangan nekat mendaki. Jalur Arga Dipa sudah lama tak dipakai. Alam di sana sedang... tidak bersahabat.”

Nando mencoba tertawa kecil untuk meredakan ketegangan.

“Hehe, siap, Pak. Tapi kalau cuma jalan sedikit buat foto-foto boleh kali, ya?”

Pak Arman menatapnya tajam, kali ini tanpa senyum.

“Saya bilang jangan, Nak.” Suaranya terdengar rendah, namun tegas.

“Gunung itu bukan tempat untuk main-main. Kadang yang menunggu di atas bukan pemandangan, tapi sesuatu yang tidak ingin kalian temui.”

Lala menunduk, jantungnya berdegup cepat. Raka menatap ke arah Bu Siti yang sejak tadi berdiri di dekat dapur; wanita itu hanya menatap kosong ke arah jendela, seolah mendengarkan sesuatu yang tak bisa mereka dengar.

Ayu berbisik pelan,

“Kok aku jadi nggak enak ya, kayak ada yang ngawasin…”

Pak Arman menatap mereka satu per satu, lalu menepuk meja pelan.

“Sudah malam. Kamar di belakang sebelah kanan, dipakai saja. Kunci dari dalam. Kalau dengar suara apa pun, jangan keluar. Ingat… hutan di sini kadang masih hidup meski kalian kira sedang tidur.”

Ia lalu berjalan menuju kamarnya bersama Bu Siti, meninggalkan enam mahasiswa itu dalam diam.

Citra menatap teman-temannya.

“Kalian ngerasa aneh nggak? Tadi waktu Pak Arman keluar, kayaknya dia ngelakuin sesuatu di luar.”

Raka mengangguk pelan.

“Iya, gue juga denger. Kayak dia ngucapin sesuatu... semacam doa.”

1
Nụ cười nhạt nhòa
Belum update aja saya dah rindu 😩❤️
Juan Darmawan: Tiap hari akan ada update kak😁
total 1 replies
ALISA<3
Langsung kebawa suasana.
Juan Darmawan: Hahaha siap kak kita lanjutkan 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!