NovelToon NovelToon
Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Romansa / Mantan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nanie Famuzi

Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda


Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.

Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .

Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.

Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .

Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 19

Sebenarnya, aku sendiri tak pernah benar-benar tahu kenapa dulu mau menerima perjodohan itu. Kenapa aku setuju menikah dengan Alin, seorang gadis yang bahkan tak kukenal sama sekali.

Mungkin saat itu aku hanya terlalu lelah menolak takdir, atau mungkin… ada sesuatu di dirinya yang membuatku berhenti berpikir panjang.

Jujur saja, ketika pertama kali menatap matanya, aku merasakan sesuatu yang aneh. Ada sorot yang begitu familiar, seolah mata itu pernah menatapku dari masa lalu.

Ya, mata yang sama… milik seorang gadis yang pernah begitu aku sukai bertahun-tahun lalu. Tapi hanya matanya. Bukan wajahnya. Bukan caranya bicara. Bukan jiwanya.

Dan di situlah kesalahanku bermula.

Aku berharap Alin adalah gadis yang sama. Tapi nyatanya, bukan. Bahkan setelah malam-malam panjang yang kami lewati, dengan kehangatan yang seharusnya mendekatkan, aku tetap merasa jauh.

Mungkin benar, perlakuanku padanya selama ini hanyalah bentuk tanggung jawab… bukan cinta. Karena dia istriku, bukan karena aku mencintainya.

Sampai suatu hari, saat aku mulai bekerja di rumah sakit jiwa ini, aku kembali melihat sorot mata itu.

Mata yang dulu menghantuiku, yang pernah kucari dalam diri Alin tapi tak pernah kutemukan.

Dan kali ini, mata itu datang dengan nama yang sama.

Miranda.

Dia masih sangat muda waktu itu, seorang gadis remaja berusia lima belas tahun.

Sementara aku… sudah duduk di bangku kuliah, terlalu tua untuk menyebutnya cinta pertama, tapi terlalu bodoh untuk menyebutnya sekadar kagum.

Setiap kali melihatnya, ada sesuatu yang membuat dadaku sesak. Aku selalu berusaha mendekatinya dengan cara paling sederhana yang bisa kulakukan, menanyakan kabarnya, membawakan buku, atau sekadar berdiri di tempat yang sama agar bisa melihatnya lebih lama.

Begitulah caraku menunjukkan rasa yang tak pernah sempat kuucapkan.

Tapi aku pengecut.

Aku takut mengakuinya, takut dia menjauh, takut orang-orang salah paham dan menilainya sebagai sesuatu yang kotor.

Mereka tak akan mengerti bahwa aku hanya jatuh cinta… dengan cara yang salah waktu.

Sampai akhirnya, aku harus pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studiku.

Dan di sanalah semuanya berhenti, tanpa perpisahan, tanpa kata-kata terakhir, hanya kenangan samar tentang gadis berambut sebahu dan sorot mata yang selalu tampak menunggu sesuatu.

Sejak hari itu, aku tak pernah lagi melihatnya. Tak tahu di mana dia sekarang, tak tahu apakah dia masih mengingatku.

Yang kutahu, sebagian kecil dari diriku masih tertinggal di masa itu, di antara senyum seorang gadis lima belas tahun yang tak pernah sempat kucintai dengan benar..

Seandainya waktu bisa berputar kembali ke masa itu… Aku ingin menjadi lebih berani, mengatakannya dengan jujur, tanpa takut pada penilaian siapa pun.

Aku ingin menatap matanya dan berkata, “Aku mencintaimu.”

Dan mungkin, dengan suara bergetar aku akan menambahkan, “Tolong tunggu aku… sampai aku kembali.”

Sayangnya, waktu tak pernah memberi kesempatan kedua. Yang tersisa kini hanyalah penyesalan, dan bayangan wajah yang perlahan memudar di ingatan, tapi tak pernah benar-benar hilang dari hati..

Aku masih ingat, disana, di bawah pohon mangga yang rindang, seorang gadis duduk di ayunan kayu. Seragam sekolahnya masih menempel di tubuh mungilnya, rambutnya sedikit kusut tertiup angin, dan jemarinya sibuk memainkan tali ayunan.

Aku berdiri di seberang pagar, diam cukup lama.

Aku tahu aku harus segera pergi, hari keberangkatanku tinggal besok pagi. Tapi langkahku terasa berat, seolah tanah menahan untuk pergi

Aku ingin bicara banyak, tentang rasa yang menyesakkan di dadanya, tentang ketakutan kehilangan, tentang janji yang tak berani diucapkan. Tapi lidahku kelu.

Akhirnya, aku hanya berkata pelan, nyaris seperti bisikan,

“Miranda…”

Gadis itu menoleh. Senyumnya ringan, tanpa beban.

“Oh, Kak Jodi…” ucapnya sambil berdiri, menepuk-nepuk rok seragamnya. “Baru pulang kuliah?”

Aku mengangguk. “Iya.”

Hanya itu. Tak ada tambahan. Tak ada tawa. Tak ada perpisahan.

Sesaat mata kami bertemu, cukup lama untuk membuat waktu seolah berhenti. Ada sesuatu di sana, rasa ingin berkata, tapi tak punya keberanian untuk menanggung akibatnya.

Miranda tersenyum kecil, lalu kembali duduk di ayunan.

“Jangan lupa makan, Kak,” katanya ringan, tanpa tahu bahwa kalimat sederhana itu akan terus bergema di kepalaku selama bertahun-tahun.

Aku menatapnya sekali lagi.

Ingin mengatakan “Aku akan pergi besok.”

Ingin mengatakan “Aku mencintaimu.”

Tapi tak ada kata yang keluar.

Aku hanya menatap dari jauh, membiarkan senja menelan bayangan gadis itu perlahan-lahan, sampai yang tersisa hanyalah suara rantai ayunan yang berderit pelan… dan penyesalan yang akan aku bawa sepanjang hidupku..

...----------------...

Getaran halus dari ponsel di saku celana memecah keheningan.

Jodi tersentak kecil, seperti baru ditarik paksa keluar dari mimpi panjang yang samar.

Ia menghela napas panjang, mengusap wajahnya perlahan, mencoba menghapus sisa bayangan masa lalu yang masih menempel di benaknya.

Ponsel itu masih bergetar sekali sebelum akhirnya berhenti.

Layar menyala, menampilkan nama yang membuatnya sedikit tegang. Ayah Mertua.

Ia membuka pesan itu.

 “Nak Jodi, Alin ada di rumah. Katanya mau menginap malam ini. Kalian tidak sedang bertengkar, kan?”

Beberapa detik Jodi hanya diam, menatap layar ponsel tanpa ekspresi.

Pertanyaan sederhana itu terasa seperti pisau kecil yang menembus pikirannya.

“Jadi dia ke rumah orang tuanya…” batinnya, menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan dari ayah mertuanya.

Jodi menarik napas pelan, lalu mulai mengetik balasan.

 Iya, Yah. Tadi Alin sempat bilang ingin mampir.

Tidak apa-apa, biarkan saja dia di sana malam ini.

Ia membaca ulang pesannya sebelum menekan kirim.

Kalimatnya terdengar tenang, sederhana, dan rapi, seperti dirinya yang selalu berusaha terlihat baik-baik saja di mata orang lain.

Padahal di dalam kepalanya, masih berputar bayangan masa lalu yang belum benar-benar ia lepaskan.

Nama yang tadi terlintas di pikirannya… Miranda..

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
partini
kalau berjodoh ma dokternya kasihan jg Miranda lah dokter suka lobang doang nafsu doang
Nunna Nannie: 🙏🙏
Terimakasih sudah mampir,
total 1 replies
Aal
bagus... saya suka ceritanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!