Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RETORIKA KESENJANGAN
Malam setelah jamuan makan malam bersama Bapak Surya terasa seperti memegang bom waktu yang ditaburi berlian. Peringatan Sistem tentang Misi Romansa Tersembunyi kini Terkunci mengubah dinamika pertarunganku.
Aku tidak hanya melawan Serena atau sistem yang korup; aku melawan naluri yang diciptakan oleh masyarakat patriarkal dan kapitalis yang mendikte bahwa stabilitas seorang wanita sering kali ditemukan dalam aliansi kekuasaan, bahkan jika aliansi itu membelenggu jiwa.
Keesokan harinya, fokusku harus sepenuhnya beralih. Debat Nasional adalah panggung yang Bapak Surya janjikan akan ia sorot. Jika aku gagal di sana, citra ‘Amara yang Baru’ akan runtuh, dan aku akan kembali menjadi ‘Antagonis Terbuang’ yang baru saja mencicipi kesuksesan semu.
Aku bertemu Pak Arka di belakang panggung Aula Utama yang dipenuhi delegasi dari seluruh Indonesia. Atmosfernya formal, dingin, dan dipenuhi aroma persaingan yang kental. Pak Arka tampak tenang, namun matanya memancarkan ketegangan.
“Anda melihat media sosial?” tanya Pak Arka, tanpa basa-basi. Aku tahu dia tidak merujuk pada Debat Nasional, tetapi pada artikel kriptik Dimas yang mulai menyebar.
“Ya, Pak. Dimas bergerak cepat. Dia tidak mempublikasikan data utuh, hanya mengaitkan ‘skor psikologis’ dengan ‘potensi debit jangka panjang.’ Itu cukup untuk membuat publik penasaran tentang apa sebenarnya SPU itu,” jawabku.
“Langkah yang cerdas. Dia memicu kecurigaan tanpa melanggar hukum pencemaran nama baik. Tapi ini juga meningkatkan tekanan Anda di sini, Amara. Publik akan melihat Anda bukan hanya sebagai perwakilan universitas, tetapi sebagai perwakilan ideologi. Surya memastikan kamera akan menyorot setiap kesalahan Anda.”
Aku menghela napas. “Itu berarti saya harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan retorika, tidak ada ruang untuk kelemahan.”
Pak Arka menyentuh bahuku, gerakannya lebih seperti seorang mentor daripada dosen. “Bukan kesempurnaan yang kita cari, Amara. Kesempurnaan adalah ilusi yang dijual oleh sistem ranking ini.
Kita mencari otentisitas. Ketika Anda berdebat, jangan berbicara dari buku teks. Berbicaralah dari pengalaman Kinara, dari trauma Amara. Anda adalah perwujudan kegagalan sistem ini. Itulah kekuatan Anda.”
“Mosi hari ini: ‘Dewan ini percaya bahwa investasi swasta yang masif adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan pendidikan tinggi di negara berkembang’,” ujarku, mengutip kartu mosi.
“Persetan dengan mosi itu,” desis Pak Arka, nadanya sangat tidak sopan untuk seorang dosen, tapi jujur.
“Ini adalah mosi yang dibuat oleh Bapak Surya. Ini adalah cara elegan untuk melegitimasi pendanaan korporat. Anda harus menyerang jantung premis ini. Kritiklah premis bahwa uang adalah penyelamat, karena uang itu sendiri yang sering kali menjadi pemenjara.”
“Saya akan menyerang dari kerangka Sosiologi Konflik. Bahwa investasi masif hanya menggeser konflik dari kesenjangan ekonomi ke kesenjangan intelektual, menciptakan oligarki pengetahuan,” kataku, merasakan adrenalin mengalir.
“Gunakan istilah Anda sendiri, Amara. Istilah yang Anda temukan saat Anda berusaha melunasi utang. Bicara tentang ‘Debit Sosial’—utang yang harus dibayar mahasiswa kepada korporasi hanya karena diizinkan berpendidikan. Sekarang, pergilah. Dan hancurkan panggung itu.”
***
Aku melangkah ke podium. Aku adalah pihak Oposisi Pertama. Lawanku adalah seorang mahasiswa elit dari universitas rival yang terkenal konservatif dan pro-bisnis, perwujudan sempurna dari lulusan ideal Bapak Surya.
Lampu sorot terasa panas. Aku bisa merasakan tatapan ribuan orang, baik yang hadir maupun yang menonton siaran langsung. Aku mencari Bapak Surya di antara penonton VIP; dia ada di sana, tersenyum tipis, seolah dia sedang menonton pertunjukan miliknya sendiri.
Setelah pihak Pemerintah selesai memaparkan argumen tentang efisiensi modal swasta, giliranku tiba. Aku berdiri, mengambil jeda panjang. Aku tidak terburu-buru. Aku menggunakan *Skill Fokus Absolut* yang kuterima di Seri 1. Segala kebisingan, semua keraguan, semua ancaman romansa dari Surya, menghilang.
“Yang terhormat Dewan Juri, para hadirin, dan terutama, kepada semua mahasiswa yang menonton di rumah,” aku memulai, suaraku stabil, “Pihak Pemerintah berargumen bahwa investasi swasta adalah ‘satu-satunya’ penyelamat. Saya berdiri di sini untuk mengatakan bahwa investasi swasta yang tidak terikat etika bukanlah penyelamat, melainkan Sang Kreditor. Dan pendidikan tinggi saat ini sedang menderita akibat ‘Debit Sosial’ yang kronis.”
Aku melihat lawanku, sang mahasiswa elit, terlihat sedikit bingung dengan terminologi baruku.
“Apa itu Debit Sosial?” lanjutku, menjawab pertanyaan retoris itu sendiri. “Debit Sosial adalah utang yang harus kita bayar kepada korporasi—seperti yang diwakili oleh para penyandang dana kampus ini—atas setiap kemewahan yang kita nikmati di fasilitas kampus. Utang ini bukan dibayar dengan uang, melainkan dengan kepatuhan. Utang ini dibayar dengan persetujuan kita untuk menjadi roda gigi yang sempurna di mesin bisnis mereka, bukan menjadi pemikir kritis yang akan membongkar mesin itu.”
Aku menunjuk pada layar di belakangku yang menampilkan logo-logo sponsor. “Ketika universitas didominasi oleh investasi yang hanya peduli pada laba, kurikulum kita tidak lagi didesain untuk menciptakan warga negara yang tercerahkan, tetapi untuk menciptakan karyawan yang patuh. Inilah kesenjangan pendidikan yang sesungguhnya.”
Lawanku mencoba melakukan interupsi. “Pihak Oposisi tampaknya mengabaikan realitas finansial. Tanpa uang, bagaimana universitas dapat bersaing secara global?”
Aku tersenyum, senyum Amara yang sinis, dibungkus dengan ketajaman Kinara. “Saya tidak mengabaikan realitas finansial, saya mengkritik realitas prioritas, Saudara. Anda bicara kompetisi global. Tapi apakah kompetisi itu diukur dari berapa banyak dana yang kita terima, atau dari seberapa berani mahasiswa kita untuk menantang status quo?”
“Universitas kami memiliki Sistem Ranking yang objektif untuk mengukur potensi mahasiswa!” seru lawanku, membela sistem yang justru sedang Kinara incar.
“Objektif?” tanyaku, menekankan kata itu. “Objektif berdasarkan kriteria siapa? Sistem Ranking yang objektif akan mengukur seberapa tinggi integritas moral seorang mahasiswa, bukan seberapa tinggi potensi kepatuhan mereka pada struktur korporat. Saya tahu betul apa itu Sistem Ranking. Saya adalah mahasiswi dengan IPK 0.9. Saya adalah Antagonis Terbuang. Dan sistem itu, dengan segala objektivitasnya, berusaha membuang saya karena saya dianggap tidak memiliki nilai investasi.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Ini adalah momen pengakuan yang berani—menggunakan status 'Antagonis Terbuang' sebagai senjata kritik struktural.
“Namun,” lanjutku, meninggikan volume suaraku, “di sinilah ironinya. Sistem itu gagal. Saya berdiri di sini hari ini, membuktikan bahwa mahasiswa yang dianggap ‘terbuang’ memiliki kapasitas untuk melihat kebobrokan sistem yang tidak terlihat oleh mahasiswa yang dianggap ‘ideal’ dan ‘sempurna’—mereka yang sibuk menjaga IPK dan citra, sehingga mereka tidak berani menjadi kritis.”
Aku mengarahkan pandanganku tepat ke arah kamera yang kuasumsikan sedang menyorotku secara *live*.
“Kesenjangan terbesar dalam pendidikan bukan lagi antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan terbesar adalah antara mahasiswa yang diberi ruang untuk berpikir kritis, dan mahasiswa yang dipaksa patuh demi mendapatkan pendanaan korporat.
Jika Anda ingin menyelamatkan pendidikan, jangan panggil investor. Panggil reformator. Panggil mereka yang berani mengakui bahwa sistem ini memiliki utang moral yang harus dilunasi.”
Aku menyelesaikan argumenku, dan untuk pertama kalinya, aku mendengar tepuk tangan yang tulus, bukan hanya dari Pak Arka di belakang, tetapi dari beberapa delegasi netral yang hadir.
Meskipun pihak kami kalah tipis di babak pertama karena juri masih terikat pada dogma ekonomi, dampak argumenku terasa eksplosif. Ketika aku kembali ke belakang panggung, Pak Arka terlihat puas, meskipun wajahnya tegang.
“Hebat, Amara. Anda menggunakan pengalaman Anda sebagai bukti empiris. Itu kritik yang autentik,” pujinya.
“Surya pasti tidak menyangka Anda akan menggunakan panggung yang ia danai untuk menyerang pendanaannya.”
“Dia mungkin tidak marah, Pak. Dia mungkin justru semakin tertarik,” kataku, mengingat tatapan Surya. “Dia tidak mencari kepatuhan dari saya, dia mencari perlawanan yang layak untuk ia taklukkan.”
Tiba-tiba, ponselku bergetar tanpa henti. Notifikasi media sosial meledak, jauh lebih intens daripada saat aku memenangkan kuis Sosiologi di Seri 1.
Rendra (Target 2), yang berada di belakang panggung sebagai Ketua BEM untuk memantau perwakilan universitas, mendekat dengan wajah terkejut. Rendra, yang biasanya dingin dan otoriter, tampak benar-benar terguncang.
“Amara, Anda… Anda menjadi ‘trending topic’ nasional,” kata Rendra, menunjukkan ponselnya. Tagar #DebitSosial mendominasi. Kunci argumenku telah menyebar luas.
“Bukan hanya itu, Amara,” sambung Pak Arka, membaca berita lain.
“Dimas telah menghubungkan argumen Anda dengan laporannya semalam. Dia menulis: ‘Debit Sosial: Ketika IPK 0.9 Membongkar Utang Moral Pendidikan Tinggi’.”
Kamera-kamera jurnalis mulai bergerak mendekat ke arah belakang panggung. Reputasi Amara yang lama—mahasiswi skandal kini tertutup oleh citra Amara yang baru aktivis struktural yang berani.
Saat itu, Sistem berbunyi, nadanya mendesak.
[Misi Seri 3.7: Trending Topic Terverifikasi. Kinara/Amara telah menjadi perhatian nasional. Dampak Publik: +45%. Reputasi Amara (Publik): Jauh di Atas Nol.]
Namun, notifikasi selanjutnya membuat darahku dingin.
[Peringatan Kritis: Intrik Konglomerat. Target 4 (Bapak Surya) telah melihat Kinara sebagai ancaman/aset yang sangat berharga. Ia akan meningkatkan pengawasan dan mendekati secara personal.
Target 4 juga telah memberikan informasi tentang Amara kepada Serena. Risiko Pengkhianatan Jaringan: 90%. Kinara harus segera mengamankan Gold Finger*untuk melawan.]
Surya tidak hanya tertarik, ia kini menggunakan Serena sebagai pion untuk mendapatkan informasi tentangku. Pertarungan di level korporat dan pribadi baru saja dimulai. Aku harus memenangkan sisa babak Debat Nasional dan segera mendapatkan Reward System yang dijanjikan.
Aku melihat Rendra yang masih tertegun di sampingku, lalu Pak Arka yang penuh kekhawatiran. Mereka berdua kini terperangkap dalam jaring perhatian yang dibuat oleh Bapak Surya. Kinara tidak hanya menyelamatkan Amara; Kinara mulai menyeret Target-Targets ke dalam pusaran konflik eksistensial ini.
Tiba-tiba, pintu di ujung lorong terbuka. Seseorang melangkah masuk dengan senyum yang sempurna, seolah baru saja memenangkan lotre, tetapi matanya dingin dan tajam, seperti pisau yang tersembunyi di balik sutra. Serena.
“Selamat, Amara,” kata Serena, nadanya manis, tetapi menusuk.
“Hebat sekali Anda menggunakan panggung Debat Nasional untuk menceritakan kisah tragis Anda. Tapi bukankah lucu, bahwa Anda begitu sibuk bicara tentang Debit Sosial, padahal utang judi online Anda masih berstatus kritis di catatan Sistem Administrasi?”
Dia melirik Pak Arka dan Rendra yang berdiri di dekatku. “Hati-hati, para pahlawan. Musuh baru Anda mungkin lebih baik dalam bersembunyi daripada yang Anda duga.”
Serena telah menerima informasi dari Surya. Dan dia datang untuk menguji aliansi baruku.
“Serena,” balasku dingin.
“Saya sudah melunasi utang saya. Tapi utang moral Anda pada Amara yang lama, dan utang struktural yang Anda dukung, baru akan dimulai pelunasannya.”
“Kita lihat saja, siapa yang akan bangkrut duluan, Amara,” bisik Serena, sebelum berbalik dan menghilang.
Aku tahu, pengkhianatan saudara angkat akan segera mencapai klimaksnya, dan aku harus memenangkan Debat Nasional ini untuk mendapatkan senjata pertamaku: Gold Finger.