NovelToon NovelToon
DIBUANG SUAMI, DINIKAHI CEO

DIBUANG SUAMI, DINIKAHI CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romantis / Cinta setelah menikah / Crazy Rich/Konglomerat / Balas Dendam
Popularitas:41.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

​Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35

Beberapa perawat mendorong ranjang perlahan ke ruang perawatan khusus, suasana masih hening dan penuh ketegangan.

Selang infus tergantung di sisi tempat tidur, menyalurkan cairan pelan ke dalam tubuh Amira yang masih lemah.

Sesaat setelah ranjang berhenti, mata Amira mulai terbuka perlahan.

Pandangannya buram, cahaya lampu di langit-langit terasa menyilaukan.

Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya yang dingin dan terasa berat, lalu melihat tangan kirinya yang terpasang jarum infus.

Suara mesin monitor berdetak lembut di telinganya.

Dengan napas pelan, ia berbisik, suaranya nyaris tak terdengar.

“Aku, di mana?”

Dari sisi ranjang, Sebastian yang sejak tadi duduk terpaku, langsung menegakkan tubuhnya.

Matanya sembab, wajahnya pucat, kemejanya berantakan seolah semalaman tak tidur.

Ia menggenggam tangan istrinya dengan erat, mencoba tersenyum meski suaranya bergetar.

“Kamu di rumah sakit, sayang. Kamu sudah aman sekarang,” ucapnya lembut, mencoba menenangkan.

Amira menatap wajah suaminya lama.

“Bas…” suaranya parau.

“Anak kita, dia baik-baik saja, kan?”

Pertanyaan itu menancap tepat di dada Sebastian.

Kedua bahunya langsung jatuh, napasnya tercekat.

Ia menunduk, menggenggam tangan Amira lebih kuat, berusaha menahan isak yang akhirnya pecah juga.

“Maafkan aku, Mira…” suaranya pecah di antara tangis.

“Aku gagal jaga kalian. Maafkan aku, sayang…”

Amira menatapnya dengan mata membesar.

Wajahnya pucat, tubuhnya mulai bergetar.

“B-bas, a-anak kita…” suaranya gemetar, air mata mulai jatuh deras dari sudut matanya.

“Jangan bilang kalau—”

Tangisnya pecah, tubuhnya menegang, napasnya tersengal.

“Tidak!! Tidak, Bas!! Anak kita—!!”

Dokter dan perawat yang mendengar dari luar langsung masuk ke ruangan.

“Tenangkan dia!” ucap dokter cepat.

Perawat segera memegang bahu Amira, sementara dokter menyiapkan obat penenang dan menyuntikkannya perlahan ke selang infus.

Sebastian hanya bisa memeluk bahu istrinya, wajahnya dipenuhi air mata.

“Maafkan aku, Mira. Maafkan aku…” ucapnya berulang kali dengan suara serak, seolah kalimat itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk menebus semuanya.

Perlahan, napas Amira melemah.

Kelopak matanya menutup kembali, tangisnya mereda dibawa obat yang mulai bekerja.

Namun tangan kecilnya masih tetap menggenggam tangan Sebastian.

Amira membuka matanya perlahan. Cahaya pagi menyelinap masuk melalui tirai putih kamar rawat itu.

Kepalanya terasa berat, namun kesadaran mulai pulih. Ia menoleh ke samping dan melihat Sebastian masih duduk di kursi, kepala tertunduk, matanya sembab karena menangis semalaman.

Perlahan Amira mencoba duduk. Tangannya bergetar saat menyentuh perban di lengannya.

Sebastian tersadar dan segera bangkit, hendak menahan Amira agar tetap berbaring.

Namun Amira menepis tangannya.

“Lepaskan tanganmu, Bas,” ucapnya pelan tapi tegas.

Sebastian membeku di tempat, matanya menatap Amira dengan tatapan penuh rasa bersalah.

“Mira, kamu belum kuat. Tolong, jangan begini…”

Amira menggeleng, air matanya mulai jatuh.

“Aku sudah tidak bisa lagi, Bas…” suaranya pecah.

Ia menatap mata suaminya dalam-dalam, dengan luka yang begitu dalam di sana.

“Aku sudah memberikan cincinmu. Anggap saja, semua ini sudah selesai. Aku tidak bisa meneruskan pernikahan ini.”

Air matanya jatuh deras, suaranya bergetar.

“Semoga kamu bahagia dengan jodohmu nanti…”

Sebastian langsung menggeleng keras. Air matanya ikut jatuh.

“Jangan bilang begitu, Mira, tolong. Aku yang salah, aku yang gagal melindungimu. Tapi jangan pergi… jangan tinggalkan aku.”

Amira menatapnya dengan pandangan kosong, hatinya hancur berkeping.

“Aku pergi, Bas…” ucapnya lirih, kemudian dengan tangan gemetar ia mencabut selang infus dari pergelangan tangannya.

Sebastian terkejut. “Mira!!”

Darah menetes dari ujung jarum saat Amira berdiri, tubuhnya masih lemah tapi tekadnya kuat.

Ia berjalan pelan menuju pintu, menahan sakit di dadanya, baik yang terasa di tubuh maupun di hati.

Namun baru beberapa langkah, Sebastian berlari dan langsung memeluknya dari belakang, memeluk seolah tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.

Tangisnya pecah di bahu Amira.

“Jangan tinggalkan aku, Mira! Kalau kamu mau balas dendam, bunuh aku! Tapi jangan pergi! Aku nggak bisa hidup tanpa kamu!”

Amira berusaha melepaskan diri, menjerit kecil di tengah tangisnya.

“Lepaskan aku, Bas! Tolong lepaskan!”

Namun Sebastian menggeleng keras, memeluk lebih erat, suaranya parau.

“Aku tidak akan melepaskan kamu! Kamu tetap istriku, Mira! Selamanya kamu tetap milikku!”

Tangis keduanya pecah di tengah kamar rumah sakit itu.

Antara cinta, kehilangan, dan luka yang terlalu dalam untuk diucapkan.

Amira masih menangis dalam pelukan Sebastian. Isak tangisnya pecah, suaranya parau di antara helaan napas yang tersengal.

“Aku lelah, Bas…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Matanya menatap kosong ke arah dada Sebastian yang basah oleh air mata mereka berdua.

“Aku nggak pantas jadi istri kamu. Aku udah gagal dalam segalanya. Tolong,aku cuma ingin sendiri.”

Sebastian terdiam. Kedua tangannya yang memeluk tubuh istrinya perlahan melemah.

Perlahan, ia melepaskan pelukannya. Wajahnya hancur, tapi senyum tipis penuh sedih muncul di bibirnya.

“Baik, Mira. Kalau itu yang kamu mau.”

Dengan lembut, Sebastian membopong tubuh Amira yang mulai kehabisan tenaga.

Tanpa banyak bicara, ia membawanya keluar dari rumah sakit, ke dalam mobil yang sudah menunggu di pelataran.

Sepanjang perjalanan, suasana hening. Hanya terdengar suara mesin mobil dan sesekali isakan pelan Amira.

Sebastian sesekali melirik istrinya melalui kaca spion, hatinya terasa remuk.

Tak lama, mobil itu berhenti di depan sebuah villa kecil di pinggir danau tempat mereka dulu pernah menghabiskan waktu berdua, tertawa, bercanda, mencintai tanpa batas.

Sebastian turun lebih dulu, lalu membuka pintu dan menggendong Amira masuk ke dalam kamar yang dulu menjadi saksi cinta mereka.

Ia menidurkan Amira di ranjang, menyelimuti tubuhnya dengan lembut.

“Istirahatlah di sini…” ucapnya lirih, menatap wajah Amira yang mulai memejamkan mata.

“Sampai kamu siap, sampai kamu sendiri yang minta aku datang.”

Ia berdiri di tepi tempat tidur, menggenggam tangan Amira untuk terakhir kalinya sebelum perlahan melepaskannya.

“Diko akan menjaga kamu. Aku janji, aku nggak akan datang kecuali kamu yang meminta.”

Amira tak menjawab. Hanya air mata yang kembali jatuh di sudut matanya, membasahi bantal putih itu.

Sebastian menatapnya untuk terakhir kali, matanya berkaca-kaca, lalu berbalik dan melangkah keluar dengan langkah berat.

Saat pintu tertutup, hanya suara tangis pelan Amira yang tersisa menggema di ruang sunyi villa itu, bersama kenangan cinta yang kini mulai memudar dalam luka.

Sebastian berdiri di depan pintu kamar villa, menatap ke dalam sekali lagi memastikan Amira sudah tertidur dengan tenang.

Napasnya berat, matanya masih sembab, namun sorot tekad mulai kembali terlihat di wajahnya.

Di luar, Diko sudah menunggu di teras dengan wajah khawatir.

“Diko,” suara Sebastian pelan namun tegas.

“Mulai malam ini kamu yang jaga Amira. Jangan biarkan siapa pun mendekat. Kalau dia butuh apa pun, kau kabari aku.”

Diko menatap tuannya dengan serius, lalu mengangguk mantap.

“Baik, Tuan. Saya akan pastikan Nyonya aman. Tapi, Anda sendiri mau ke mana?”

Sebastian memandang ke arah jalan yang mulai diselimuti kabut malam.

“Ke tempat seseorang yang harus aku hadapi,” jawabnya lirih namun tajam.

Tanpa menunggu, ia menepuk bahu Diko dan berjalan menuju mobil hitamnya.

Mesin meraung pelan, lalu melaju menjauh dari villa itu meninggalkan Diko yang berdiri tegap di depan gerbang, memastikan Amira tak lagi terganggu.

Di sepanjang perjalanan, pikiran Sebastian penuh dengan bayangan wajah Amira yang menangis, suara tangisnya yang memohon untuk sendiri, dan luka yang disebabkan oleh satu nama: Natasya.

Lampu jalan berkelebat di kaca depan mobil. Tangannya menggenggam kuat setir, rahangnya mengeras.

Tak butuh waktu lama hingga mobil itu berhenti di depan kantor polisi pusat kota.

Ia turun, langkahnya tegas meski tubuhnya tampak lelah. Petugas yang berjaga langsung menunduk hormat begitu mengenalinya.

“Tuan Vettel,” ucap salah satu polisi.

“Tahanan perempuan yang Anda laporkan… masih dalam pemeriksaan. Ingin melihatnya?”

Sebastian hanya mengangguk dingin.

“Bawa aku ke sana.”

Mereka berjalan melewati lorong panjang yang dingin, sampai tiba di ruang tahanan kecil yang bercahaya redup.

Di dalam, Natasya terlihat meringkuk di sudut ruangan, rambutnya acak-acakan, wajahnya pucat, matanya kosong.

Begitu melihat Sebastian berdiri di balik jeruji, ia mendongak pelan.

Senyum tipis yang samar muncul di bibirnya, tapi bukan senyum bahagia melainkan senyum seorang wanita yang kalah dan hancur.

“Bas…” suaranya serak. “Kamu datang juga akhirnya.”

Sebastian menatapnya tajam, dingin, tanpa sedikit pun belas kasihan.

“Bukan untukmu, Natasya,” katanya pelan tapi penuh tekanan.

“Aku datang untuk memastikan kamu benar-benar akan membayar semua yang kamu lakukan pada Amira, pada anak kami, dan pada hidupku.”

Natasya menelan salivanya, tubuhnya gemetar. Air matanya jatuh, tapi Sebastian hanya berdiri diam, memandangnya tanpa kata.

Dalam hatinya, hanya ada satu hal: memastikan keadilan menggantikan rasa sakit yang telah menghancurkan rumah tangganya.

Di dalam kamar villa yang remang, hanya suara hujan di luar jendela dan isak tangis Amira yang terdengar.

Ia duduk di tepi ranjang, tubuhnya gemetar, tangan halusnya menekan lembut perut yang kini terasa hampa.

Air matanya tak berhenti mengalir.

“Maafkan Mama, sayang…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

“Maaf Mama nggak bisa jaga kamu. Maafkan Mama…”

Kedua bahunya bergetar hebat, sesekali ia menunduk, menahan rasa sakit yang tak hanya di tubuh tapi jauh di dalam jiwanya.

Tangannya menggenggam bantal, menutup wajahnya, namun tangisnya justru semakin keras, pecah seperti hujan di luar jendela.

Diko yang berdiri di depan pintu kamar hanya bisa terdiam.

Hatinya ikut terenyuh melihat Nyonya yang begitu hancur. Ia mengambil ponsel dan menekan nomor Sebastian.

“Tuan,” suaranya berat.

“Nyonya Amira masih terus menangis. Dia tidak berhenti memanggil anaknya, Tuan. Saya takut keadaannya memburuk.”

Di seberang sana, Sebastian terdiam. Tak ada jawaban, hanya napas berat yang terdengar.

Namun tak lama, dari speaker ponsel, suara tangisan Amira terdengar sayup-sayup jelas, menyayat hati.

“Maafkan Mama, sayang… Maaf…”

Sebastian menutup matanya rapat-rapat. Napasnya tersengal.

Tangannya menggenggam ponsel terlalu erat hingga buku jarinya memutih.

“Tuan?” panggil Diko pelan.

Namun yang terdengar berikutnya adalah suara keras, “AARGGGHHHHH!!”

Ponsel itu terjatuh dan Sebastian berteriak sekuat tenaga, menghantamkan tinjunya ke dinding kantor polisi hingga berdarah.

Seluruh amarah, rasa bersalah, dan penyesalan meledak bersamaan menghantam dirinya dari dalam.

“Kenapa bukan aku yang terluka?! Kenapa bukan aku yang kehilangan?! Tuhan…”

Suaranya parau, bergetar di antara deru napas beratnya.

Sementara di villa, Amira masih memeluk dirinya sendiri, menatap kosong ke arah jendela yang diselimuti kabut, berbisik lirih…

“Bas, tolong aku…”

Namun jarak dan luka kini membentang begitu jauh di antara mereka berdua.

1
Erna Riyanto
kok bandara... bukannya lgi di hotel yg sama dgn nakula
Maylia Ahmad
jelaskan lah thor..apa Alexander mengenal almira sebelumnya..
Maylia Ahmad
Al Mira cerai blm siap udah menikah..ini gimana ceritanya perempuan kan ada masa Iddah .trs nikah harus ada waklinya..😄
my name is pho: saat itu Amira kan belum siap bertemu dengan orang tuanya karena ia membantah dan Menikah dengan nakula
total 2 replies
M42H 1Q84L
bagus amira beri pelajaran sama sebastian...biar kapok tuh sebastian bagai mana rasany jd amira yg sllu dikecewakan sebastian yg terlalu baik pd mantanny n tidak mnjaga perasaan amira...terus amira balas ja trs biar tw sebastian bagai mn perasaanmu yg sering dibuat kecewa sama sebastian....
up'ny yg bnyk thor🙏💪
Ariany Sudjana
amira ini bodoh atau gimana sih? sudah punya suami, dan lagi hamil, kok main peluk saja, dan mengabaikan Sebastian, yang jelas adalah suaminya. kalau gini, ya jangan salahkan orang lain, kalau ada pelakor masuk dalam kehidupan mereka
Ariany Sudjana
Sebastian ini mafia kan? kok mudah sekali percaya sama jalang murahan Devia? amira juga sama bodohnya
Evi Lusiana
bodoh ny sebastian
Ningazkazifa
gemes sama bas...laki kok lembek banget🤣
my name is pho: sabar kak. ditunggu kelanjutannya
total 1 replies
Tining Revi
bukan nya td pembukaan hotel tuan alexander di bandung ya. kok dekat dengan gunung bromo. apa aku yg salah baca
my name is pho: terima kasih koreksinya kak.
total 1 replies
Ariany Sudjana
amira kamu bodoh, mau menyelesaikan masalah tapi ga melibatkan Sebastian, ya ga bisa, kan kamu istrinya. Sebastian juga bodoh, masih saja peduli sama Devia, sudah jelas pelakor itu licik, dan ingin menghancurkan rumah tangga kamu
Herdian Arya: hmmmmm betul 22nya bodoh dan banyak janjinya.
total 1 replies
Ariany Sudjana
harusnya sih Sebastian yang berjaga yah di villa, bagaimanapun Sebastian suaminya. dalam situasi seperti amara, peran suami sangat dibutuhkan, selain keluarga yang lain
my name is pho: iya kak.
tapi Amira masih marah jadi nggak mau lihat wajah Sebastian
total 1 replies
Ariany Sudjana
Sebastian ga tegas jadi Amira jadi korban. kalau gini sih alamat Amira pergi dan ga balik lagi ke Sebastian, karena sudah kehilangan kepercayaan
Herdian Arya
maaf saran aja nih, bas tuh kebanyakan omong dan janjinya, melindungi istri dan anak selalu terucap tapi lagi dan lagi kecolongan ga istri ga dirinya sendiri, kaya jual jual obralan yg banyak janjinya.
dew_ii
keren torrr
Andira Rahmawati
coba mira punya sedikit skill..apa gitu yg bisa bantu nemuin suaminya...jgn jadi wanita lemah bisanya cuma nangis aja..
Ariany Sudjana
semoga Sebastian bisa ditemukan dalam keadaan sehat, dan bisa kembali ke Amira dengan selamat juga. dan si pelakor gila Natasya juga harus dihukum berat
Nona Canbas
mampir Thor semangat 💪
my name is pho: terima kasih kak
total 1 replies
Widia
bagus ceritanya..suka bgt..sat set ga bertele"..👍
Evi Lusiana
hrs y kmn² bastian bw pngawal bgus lg pngawal wanita jd k toiletpun ada yg mnjg amira klo d luar rmh
my name is pho: terima kasih kak🥰
total 1 replies
Herdian Arya
bodoh! janji doang mau melindungi ujung-ujungnya kecolongan lagi dan lagi.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!