NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 35 — “Bayangan dari Masa Lalu”

Kantor Vibe Media tampak tenang sore itu, tapi di balik ketenangan itu, badai sedang mulai terbentuk.

Emma duduk di mejanya dengan pandangan kosong.

Kata-kata Liam semalam terus terulang di kepalanya:

> “Tentang surat itu… aku baru tahu hari ini.”

Ia masih bisa merasakan getaran aneh di dadanya waktu Liam menatapnya seperti seseorang yang baru menyadari kesalahannya lima tahun terlambat.

Tapi sebelum pikirannya tenggelam lebih dalam, suara Samantha memecah lamunannya.

> “Em, kau lihat berita bisnis pagi ini?”

Emma menoleh. “Berita apa?”

Samantha mengangkat tabletnya, menampilkan headline besar di portal bisnis: “Aldrias Group Luncurkan Platform Media Digital Baru: Siap Tantang Vibe Media!”

Emma membaca cepat, alisnya terangkat.

> “Steven Aldrias... nama yang familiar.”

Samantha mengernyit. “Aku kira kau tahu dia. Semua orang membicarakan dia sekarang — CEO muda, jenius teknologi, katanya baru balik dari London.”

Emma terdiam beberapa detik.

Nama itu terasa seperti pukulan lembut ke dada.

Steven Aldrias…

Nama yang dulu hanya berarti “cowok kutu buku yang selalu duduk di pojok kelas jurnalistik, dengan kacamata tebal dan rambut berantakan.”

> “Aku... dulu satu kelas sama dia,” ucap Emma perlahan.

“Dia dulu... bukan siapa-siapa.”

Samantha tertawa. “Ya, sekarang dia siapa-siapa banget. Katanya perusahaan dia baru aja akuisisi dua media besar, dan mereka buka kantor pusat di Manhattan. Ngeri, kan?”

Emma mengangguk pelan, tapi wajahnya tampak agak tegang.

Sesuatu di dalam dirinya berbisik bahwa ini bukan sekadar kebetulan.

---

Beberapa jam kemudian, rapat dadakan diadakan.

Liam memimpin tim dengan ekspresi serius, Vanessa duduk di sebelahnya — dengan tatapan penuh kemenangan seolah baru dapat kabar bagus.

> “Teman-teman,” ujar Liam, menatap seluruh tim. “Kita punya masalah besar. Aldrias Group baru saja mengumumkan platform media baru bernama Aurora Network. Dan mereka akan menarget segmen pembaca yang sama dengan kita.”

Semua orang saling pandang.

> “Yang lebih menarik,” lanjut Liam, “mereka sudah mulai merekrut jurnalis senior dari beberapa media top — dan rumor mengatakan, mereka juga mengincar beberapa orang dari Vibe.”

Vanessa langsung mengangkat alis. “Mereka pikir bisa beli semua orang dengan uang?”

Liam menatapnya dingin. “Kalau kau tak hati-hati, mereka bisa saja ‘membeli’ reputasi kita juga.”

Emma hanya diam.

Di dalam pikirannya, nama “Steven Aldrias” berputar tanpa henti.

Seolah-olah masa lalu memanggilnya lagi, kali ini dengan nada yang jauh lebih serius.

---

Malam hari.

Kantor sudah sepi.

Emma masih duduk sendirian, menatap layar laptop.

Satu notifikasi email masuk.

Alamatnya tidak dikenal: sa@auroragroup.com

Subjek:

> “Apakah kau masih suka kopi dingin di sore hari, Emma Brooks?”

Emma terpaku.

Tangannya gemetar sedikit saat membuka pesan itu.

Isi emailnya hanya satu kalimat:

> “Aku dengar kau masih di dunia media. Dunia kecil, ya? Aku berharap kita bisa bertemu lagi — kali ini bukan di kantin kampus.”

— S.A.

Ia menatap layar itu lama.

“Steven Aldrias…” katanya pelan, seperti menyebut nama hantu.

---

Sementara itu, di gedung kaca megah Aurora Group, seorang pria berdiri di depan jendela besar, menatap panorama Manhattan malam hari.

Sosok tinggi, berjas hitam elegan, wajahnya tampan dan tenang — tapi matanya menyimpan sesuatu yang gelap dan berbahaya.

Asisten pribadinya masuk. “Pak Steven, rapat dengan tim akuisisi selesai. Mereka sudah setuju untuk menarget Vibe Media sebagai prioritas utama.”

Steven mengangguk perlahan.

> “Bagus. Tapi jangan mulai dulu.”

Asistennya bingung. “Kenapa, Pak?”

Steven memandangi layar di meja — menampilkan profil Emma Brooks dari situs internal Vibe Media.

Foto itu menampakkan Emma tersenyum samar di bawah cahaya lampu kantor.

> “Ada seseorang di sana yang harus aku temui dulu,” katanya pelan.

“Sebelum perang dimulai.”

Ia menekan tombol di layar, dan wajah Emma membesar di monitor.

Di bibir Steven, senyum kecil muncul — hangat tapi menyimpan sesuatu.

> “Dulu aku hanya temanmu yang tak berani bicara, Em,” gumamnya pelan.

“Sekarang... aku punya cara untuk membuatmu melihatku lagi.”

---

Keesokan harinya, Emma datang ke kantor dengan perasaan campur aduk.

Liam menyapanya singkat — tatapannya masih belum stabil sejak pembicaraan tentang “surat cinta” itu.

Vanessa menatap mereka berdua dengan curiga, seperti kucing yang mencium aroma bangkai di dapur.

> “Kau tampak gelisah, Em,” kata Vanessa, dengan nada manis.

“Masih mikirin Liam? Atau seseorang yang lain?”

Emma menatapnya tajam. “Kalau kau punya waktu untuk gosip, mungkin kau bisa pakai itu buat kerja.”

Vanessa tersenyum. “Aku kerja dengan otak dan pesona, sayang. Dua hal yang, yah... sebagian orang nggak punya.”

Samantha yang kebetulan lewat menepuk pundak Emma sambil berbisik, “Jangan digubris. Tuh orang cuma cemburu sama rambutmu.”

---

Sore hari, saat Emma hendak keluar dari kantor, seorang petugas keamanan menghampirinya.

> “Maaf, Nona Brooks. Ada seseorang yang menitipkan ini untuk Anda.”

Sebuah kotak kecil berwarna perak diserahkan padanya.

Di atasnya, hanya ada kartu kecil bertuliskan:

> “Untuk Emma. Dari seseorang yang dulu tidak cukup berani.”

Emma membuka perlahan.

Di dalamnya — sebotol kopi dingin favoritnya dari Columbia Café, tempat langganan mereka dulu kuliah.

Ia menatapnya lama.

Bibirnya bergetar sedikit. “Steven...”

---

Di gedung Aurora, Steven menatap foto Emma yang ia ambil diam-diam melalui jendela seberang kantor.

Ia berdiri di ruangan gelap, hanya diterangi cahaya laptop.

> “Aku tidak akan mengambil perusahaannya dulu,” katanya pelan.

“Aku akan mengambil hatinya.”

Dan di sisi lain kota, Vanessa duduk di bar, menatap layar ponselnya — membaca berita yang sama: Steven Aldrias, CEO baru Aurora Group, siap guncang dunia media.

Ia tersenyum miring.

> “Ah, laki-laki tampan baru masuk permainan? Ini akan menarik.”

---

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!