Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Amira menunduk di sudut kamarnya, cahaya lampu meja yang redup memantul samar di dinding putih. Matanya kosong, tapi pikirannya berputar cepat, kembali ke kejadian malam kemarin. Semua terasa begitu nyata, seolah setiap detik yang terjadi masih membekas di kulitnya.
Ia masih bisa merasakan sentuhan tangan Satria yang menenangkan, lembut tapi tegas, seolah mencoba menahan Amira dari jatuh ke dalam pusaran emosi yang tak terkendali. Kata-kata yang terucap antara mereka masih terngiang, bukan hanya di telinganya, tapi juga di hatinya. Ada campuran kemarahan, kekecewaan, dan sesuatu yang jauh lebih rumit—rasa kehilangan yang tak bisa ia definisikan dengan kata-kata sederhana.
Amira teringat bagaimana Satria menatapnya, tatapan yang dulu begitu hangat dan familiar, kini terselip sedikit kepedihan, tapi tetap ada kesabaran yang ia kenal. Malam itu, seolah mereka berdua berdiri di tepi jurang perasaan, mencoba menyeimbangkan antara kenyataan dan harapan yang rapuh.
Pintu kamar kemudian terbuka dengan suara pelan, tapi cukup untuk membuat Amira terkejut. Ia menoleh, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat saat melihat Angga berdiri di ambang pintu. Wajahnya serius, tapi ada kelelahan yang jelas tersirat di mata suaminya.
Amira seketika menahan napas, dadanya terasa sesak. Meski tak pernah mengundang rasa curiga apalagi peduli, ia menghapus wajahnya yang basah dan matanya yang sembab agar tak terlihat dari tatapan Angga.
"Mas,kamu pulang cepat hari ini?" Sambut Amira.
Amira tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya kaku, matanya tak lepas dari gerak-gerik Angga. Ia memperhatikan cara suaminya melepas sepatu dengan tenang, melonggarkan dasi dan membuka satu dua kancing atas kerjanya. Sungguh, setiap gerakan terasa biasa, tapi bagi Amira, setiap detik terasa berat dan sarat makna. Ada jarak di antara mereka yang tak bisa ia ukur, tapi terasa begitu nyata—jarak yang dibangun dari diam, dari kata-kata yang tak terucap, dan dari rahasia hati yang belum pernah ia bagi. Itu sebabnya, sampai saat ini ia sulit diterima. Kehadirannya hanyalah bayang yang bahkan sama sekali tak berarti. Andai Satria tahu, andai Satria datang dan bisa menyelamatkannya, andai Satria bisa membawanya lari dari pernikahan ini. Andai.
Amira tertelan. Ia melangkah mundur saat Angga kembali beranjak lalu berjalan melewatinya. Pria itu merogoh sesuatu dari dalam saku celanya, ponsel. Tanpa disadari, atau mungkin sengaja, benda tipis itu diletakkannya di atas nakas samping tempat tidurnya.
"Mas, a-aku udah siapin makan malam. Kamu makan dulu atau--"
Gerak Angga terus berlanjut, membawa piyama handuk dari wardrobe lalu melangkah menuju kamar mandi. Sedangkan, Amira tertegun, ucapannya tersangkut di tenggorokan. Kata-kata kepedulian yang seharusnya bisa mencairkan suasana, justru membuatnya membeku dalam luka.
Di dalam sana, terdengar gemericik air yang menenangkan tapi juga memecah kesunyian kamar. Amira masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang tanpa sadar, matanya kembali basah dan menggenang.
Tiba-tiba, ponsel Angga bergetar di atas meja samping tempat tidur, memecah keheningan yang tegang itu. Suara getar itu cukup keras untuk membuat Amira menoleh, hatinya seketika tercekat.
"Ma-Mas, ponselnya bunyi!" Sahut Amira. Namun pintu kamar mandi itu tak bergerak. "Ma-Mas Angga?"
Hening.
Amira menghela udara, ia menatap benda tipis yang masih bergetar sambil menampilkan layar yang menyala. Ada rasa penasaran yang akhirnya membuat Amira melangkah perlahan, mendekati meja samping tempat tidur. Jari-jarinya nyaris tak sadar menyentuh permukaan ponsel yang masih bergetar, matanya terpaku pada layar yang menampilkan notifikasi. Rasa ingin tahu itu pun bercampur dengan ketakutan, ia tahu, melihat isi pesan itu bisa menghadirkan jawaban, tapi juga bisa membuka luka baru yang belum siap ia hadapi.
Amira menatap layar itu dengan perasaan campur aduk antara takut tapi juga penasaran. Hatinya berdebar kencang. Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri, tapi setiap detik terasa menegangkan. Namun di detik berikutnya, ia terkejut. Lengan Angga lebih dulu cepat mengambil ponsel itu sebelum Amira sempat menyentuhnya.
Gerakan itu begitu cepat dan tegas, membuat Amira berbalik lalu mundur beberapa langkah, hatinya berdebar kencang saat mendapati Angga berbalut piyama dengan wajahnya yang tegang namun tajam, dibalik bingkai tetes air yang basah dari ujung rambutnya.
"Ma-Mas," Lirih Amira.
"Jangan pernah berani menyentuh barang pribadiku tanpa izin!" Ucap Angga dengan nada setengah meninggi.
"A-Aku minta maaf, Mas. A-aku hanya--"
"Hanya apa?!" Potong Angga, suaranya semakin meninggi, penuh emosi yang terkandung rapat selama ini. Ia kemudian berpaling, menatap jauh ke arah jendela, dan tertawa pahit, suara itu bergema tipis di kamar, seperti menandai luka yang tak pernah ia ungkapkan. Kemudian, ia kembali menatap Amira yang sedari tadi mengunci geraknya. "Aku lupa, kamu kan emang gak punya etika. Main lihat HP pria sembarangan aja setelah melayani mereka."
"Mas," Ucap Amira. Nadanya berbisik, namun penuh penekanan. Air matanya yang sedari tadi ia hapus dan sembunyikan kini menetes perlahan, menelusuri pipinya dengan lembut, meninggalkan jejak yang tak terbantahkan dari rasa sakit dan bersalah yang ia rasakan. "Tapi, aku ini istri kamu. Aku berhak melakukannya!"
Tiba-tiba, Angga menarik paksa lengan Amira, gerakannya cepat dan tegas, membuat Amira terkejut dan hampir kehilangan keseimbangan. Ia meremas tangan Amira dengan kekuatan yang cukup untuk menahan setiap gerakan, memaksa wajah mereka berhadapan.
"Ma-Mas, sakit." Ringis Amira.
Namun sepertinya, Angga sama sekali tak memperdulikannya. Ia justru semakin kencang meremas tangan Amira.
"Mas," Rintih Amira. Sebelah tangannya berusaha melepas genggaman kuat itu. "Sa-sakit, Mas!"
Angga semakin meremas tangan Amira lebih dalam, kekuatannya yang tiba-tiba membuat nyeri menjalar ke seluruh lengan Amira. Nyaris, darah yang mengalir disana tersendat merasakan dari tekanan itu. "Jangan coba-coba membantahku!"
"Ma-Mas Angga,"
"Kamu memang istriku, tapi bagiku, kamu itu gak berarti apa-apa, Amira!" Lirih Angga, namun nadanya penuh penekanan. "MENGERTI?!"
Seketika, Angga mendorong kuat tubuh Amira hingga wanita itu terjatuh ke lantai.
Kepala Amira menyentuh sudut nakas dengan dentuman yang tajam. Rasa sakit mulai menjalar seketika, bercampur dengan kepanikan dan kebingungan yang melumpuhkan. Darah mulai menetes dari luka kecil di dahinya, menodai rambut dan pipinya. Angga telah menghantamnya, bagaimana bisa ia tega melakukannya?
"Ma-Mas Angga," Lirih Amira terisak sesak. "Ke-kenapa kamu bisa melakukan ini semua padaku?"
"Bisa!" Angguk Angga. Ia menarik dagu Amira, sehingga dengan paksa wajah mereka kembali bertemu lebih dekat. "Aku tidak hanya bisa melakukan ini, tapi lebih dari ini. Jangan pernah ikut campur urusanku, Amira! Kamu ... bukan bagian dari hidupku! SAMA SEKALI, BUKAAAN...! MENGERTI!!"
Amira menangis, tak kuasa menahan air matanya, panasnya emosi yang bercampur rasa sakit membuatnya sulit untuk tetap diam. Ia merasa terluka bukan hanya secara fisik, tapi juga di bagian hatinya yang paling rapuh. Malam itu, mereka berdua terperangkap dalam pusaran emosi yang begitu kuat, antara amarah, rasa bersalah, dan luka yang tak mudah disembuhkan. Mas Satria, tolong aku. Aku takut.
****
yah