Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9.
“Maaf... Tuan...” suara lirih itu akhirnya lolos dari bibir Kodasih. Hanya dua kata, tapi cukup untuk mengguncang keseimbangan antara dua dunia.
Secepat kilat, udara dalam rumah berubah. Angin berhenti mendadak. Lampu lampu minyak padam satu per satu, seperti dicubit oleh tangan tak kasatmata. Namun, cahaya remang dari bunga kantil dalam kendi justru memancar terang, pijar putih kebiruan yang hidup, seolah ada jiwa di dalamnya. Aura itu membungkus tubuh Kodasih, seperti selendang gaib yang melindunginya dari sesuatu yang lebih besar.
“Tiyem, bacakan asma Allah...” perintah Mbah Jati. Suaranya tetap tenang, tapi ada nada tergesa dan serius yang tak bisa disembunyikan.
Tiyem mengangguk, lalu mulai melantunkan bacaan. Suaranya lantang, meskipun menggigil.
“Bismillahirrahmanirrahim... Laa ilaaha illallaah...”
Bacaan itu merambat ke seluruh penjuru loji tua, menggema seperti dipantulkan dinding-dinding yang sudah terlalu lama menyimpan rahasia.
Dan saat itu juga, dari arah kamar Kodasih, lukisan Tuan Menir menyala. Bukan karena api, tapi karena energi aneh yang memancar dari dalam kanvas. Lukisan itu tampak hidup. Mata Tuan Menir yang sebelumnya kosong kini menyala merah. Perlahan berubah menjadi biru... lalu padam.
Hening.
Tak ada suara.
Tak ada angin.
Tak ada bayangan bergerak.
Lalu, dari dalam lukisan, sosok lelaki Belanda berjas kolonial muncul. Ia berdiri tegak. Wajahnya pucat, tapi tidak menyeramkan. Sosok Tuan Menir.
Semua menahan napas.
Pak Karto menggenggam tangan Mbok Piyah erat-erat. Sanah dan Pardi saling berpegangan, ketakutan. Sosok itu tak berkata sepatah pun, hanya menatap Kodasih yang masih terbaring lemah.
Tuan Menir melangkah perlahan. Tak ada bunyi dari langkahnya. Tapi hawa dingin mengikuti ke mana ia bergerak, seperti bayangan.
Mbah Jati bangkit dan berdiri di antara mereka. Menghadang.
Tuan Menir tak menunjukkan amarah. Ia hanya mengangkat tangan... dan menunjuk ke arah Kodasih.
Kodasih menggeliat, matanya terbuka sedikit. Dengan sisa tenaga, ia menatap sosok Tuan Menir. Lalu, perlahan, ia menunduk dalam-dalam.
“Saya... saya menyesal, Tuan Menir... saya... mohon... maaf...” bisiknya.
Sosok Tuan Menir diam.
Kemudian... ia mengangguk pelan.
Dan tersenyum.
Senyum yang samar. Sedih. Tapi penuh pengertian. Sosok itu berbalik dan berjalan kembali ke lukisan. Saat ia melangkah masuk, cahaya dari lukisan meredup, lalu menghilang.
Kini, lukisan itu kembali seperti semula.
Lampu-lampu minyak menyala kembali, namun kali ini dengan cahaya yang hangat. Aroma darah dan cerutu menghilang. Digantikan oleh harum tanah basah... dan bunga kantil yang segar.
Pak Karto menarik napas panjang. “Sudah... selesai?”
Mbah Jati menatap kendi di tangannya. Air di dalamnya kini jernih. Tak ada aroma. Tak ada kilatan gaib.
“Sementara...” gumamnya. “Tuan Menir... sudah memaafkan.”
Mata Pak Karto dan yang lain membulat mendengar kata itu.
“Sementara...?”
Kodasih kini sudah bisa duduk. Tiyem dan Sanah membantunya berdiri perlahan. Wajahnya masih pucat, tapi matanya jernih. Tak ada lagi bayangan kelam menyelubunginya. Darah yang tadi menodai wajahnya pun menghilang, seperti diseka oleh tangan tak terlihat.
Malam itu, loji tua kembali tenang.
Mbah Jati pun berpamitan. Langkahnya perlahan menyusuri jalan setapak di bawah sinar rembulan, meninggalkan loji yang masih dibalut ketegangan.
Namun ketenangan itu tidak sepenuhnya damai. Kodasih menolak tidur di kamarnya. Yang lain pun sama. Tak seorang pun berani tidur sendiri. Mereka membentangkan tikar di ruang depan, duduk berdekatan, seolah saling menjaga.
Tak banyak yang bicara malam itu. Hanya suara jangkrik dan detak jam dinding tua.
Namun menjelang dini hari, tepat saat ayam jago pertama berkokok... ada yang mengetuk pintu.
Tok... tok... tok...
Tiga kali. Pelan. Tapi jelas.
Pak Karto langsung bangkit. Ia menatap ke arah pintu. Yang lain terjaga. Sanah menggenggam tangan Pardi erat-erat.
“Siapa itu...?” tanya Mbok Piyah, suaranya pelan.
Tak ada jawaban. Tapi ketukan kembali terdengar.
Tok... tok... tok...
“Siapa?” tanya Pak Karto, kali ini lebih tegas.
Langkahnya perlahan mendekat ke pintu. Mbok Piyah dan Tiyem saling menggenggam tangan di samping Kodasih yang masih lemah. Di ruang depan, semua menahan napas.
“Saya, Pak. Mandor Yatmo,” jawab suara dari balik pintu. Suaranya berat, tapi terdengar akrab.
Begitu pintu dibuka, tampak sosok Mandor Yatmo berdiri di ambang pintu. Jaket kerjanya masih lengkap, kopiah tebal menutupi kepala, dan sepatu boot nya kotor oleh tanah kebun yang basah.
“Ada apa, Pak? Masih gelap begini,” ujar Pak Karto sambil menahan pintu agar tidak terbuka lebar. Angin dingin dini hari menyusup masuk.
“Maaf, Pak. Berita soal Belanda menyerah pada Jepang dan kematian Tuan Menir sudah menyebar. Para pekerja cemas. Gaji hari Sabtu kemarin belum turun. Kalau sampai hari ini tidak dibayar, mereka ancam mogok,” jelas Mandor Yatmo, suaranya pelan tapi tegas.
Pak Karto menghela napas panjang. Ia melirik ke arah ruang dalam, ke tempat Kodasih duduk bersandar, wajahnya pucat. Tatapannya kosong, seperti masih tersangkut di antara dua dunia.
“Kami tahu Nyi Kodasih masih berduka. Tapi para pekerja juga takut,” lanjut Mandor Yatmo. “Ada desas-desus, loji dan semua kebun kopi milik Tuan Menir akan diambil alih Jepang. Kalau tidak ada pemilik yang jelas... bisa-bisa semua dipecat, tanpa bayaran.”
Pak Karto menatap mata Mandor Yatmo. Di balik nada seriusnya, ada ketakutan yang nyata.
“Baik, Pak Mandor. Saya akan coba bicarakan pagi ini juga. Tapi mohon beri waktu. Keadaan belum stabil...” jawab Pak Karto dengan suara pelan.
Mandor Yatmo mengangguk, lalu pamit dengan langkah berat.
Begitu pintu ditutup, suasana di dalam kembali hening.
“Kacau...” gumam Pak Karto. “Belanda mundur, Jepang masuk. Tuan Menir sudah tiada. Siapa yang pegang loji dan kebun kebun ini sekarang?”
Semua terdiam.
Kodasih membuka mata perlahan. Tiyem membantunya duduk lebih tegak.
“Aku...” lirih Kodasih. Suaranya lemah, tapi jelas. “Aku masih di sini. Loji ini dan semua kebun kopi .. menjadi milikku.”
“Nyi... istirahat dulu saja. Belum kuat,” pinta Sanah.
Namun Kodasih menggeleng pelan. Ia mencoba berdiri. Kakinya goyah, tapi Tiyem dan Mbok Piyah menopangnya.
“Kalau aku tidak berdiri sekarang... loji ini dan kebun kebun kopi penghasil uang akan jatuh ke tangan orang lain. Kita semua akan disingkirkan,” ucap Kodasih lirih, tapi mulai terdengar tekadnya.
Pak Karto menatapnya lekat lekat. Di matanya, sorot yang tadi redup mulai kembali menyala.
“Kalau begitu, saya akan temui Mandor, agar mengumpulkan para pekerja. Pagi ini juga.”
“Dan... tolong siapkan altar kecil di depan lukisan Tuan Menir di kamar ku ,” ujar Kodasih. “Bunga kantil, bunga mawar, melati dan kenanga. Air kendi, anglo kecil kemenyan.. Dan... jangan pernah matikan lampu minyak di kamar.” Lanjutnya..
“Kenapa, Nyai?” tanya Mbok Piyah hati-hati.
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk