NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:642
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 Jejak Bayangan

Fajar menyingkap tirai malam di atas Samudra Jaya. Embun masih menempel di ujung dedaunan, sementara cahaya matahari yang lembut memantul di genting-genting istana. Suasana terlihat tenteram, seakan-akan malam sebelumnya tidak membawa rahasia gelap. Namun, di balik keheningan pagi itu, arus tak kasatmata terus bergerak.

Permaisuri Dyah Kusumawati duduk di serambi keputren, ditemani dua dayang yang setia. Wajahnya tampak teduh, namun ada lelah yang samar terpancar dari sorot matanya. Ia baru saja selesai memimpin doa pagi bersama beberapa cantrik istana, sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan untuk menjaga keseimbangan batin.

“Paduka tampak letih,” ucap salah seorang dayang sambil menuangkan air hangat ke cawan perak.

Dyah tersenyum tipis. “Hanya kurang tidur, mungkin. Pikiran akhir-akhir ini terasa penuh.” Belum sempat ia menyesap air itu, Mahapatih Nirmala Wisesa datang dengan wajah serius. Ia membungkuk hormat sebelum bersuara pelan.

“Paduka, izinkan hamba menyampaikan kabar. Tumenggung Wiranegara melaporkan gerak-gerik mencurigakan di gudang penyimpanan logistik. Ada prajurit asing yang mencoba masuk, namun berhasil dihalau.”

Dyah terdiam sejenak, menaruh cawan di meja kayu. “Dan orang itu?”

“Tidak tertangkap. Mereka bergerak cepat, seolah mengenal betul lorong-lorong dalam istana. Ini membuat hamba semakin yakin bahwa penyusup itu tidak bekerja sendiri.” Dyah memejamkan mata, merasakan kegelisahan semakin menguat. Hatinya menimbang apakah semua ini kebetulan, atau benar ada kekuatan yang berusaha mengguncang Samudra Jaya dari dalam?

Sementara itu, di sisi lain keputren, Ken Suryawati duduk di ruang pribadinya. Wajahnya tersamar cahaya pagi yang masuk lewat jendela ukir. Di pangkuannya terletak sebuah kantung kecil berisi serbuk hitam pemberian sang dukun. Jemarinya mengusap lembut permukaan kain, seolah merasakan kekuatan yang tersembunyi di dalamnya.

“Tidak ada teluh yang mampu menembusnya,” gumamnya lirih, “tapi racun… racun akan bekerja dalam diam.” Ia menoleh pada nyi Rengganis—dayang tua yang menjadi pengikut setianya. “Hari ini… aku ingin kau mulai melangkah. Cari waktu saat makanan atau minuman permaisuri dipersiapkan. Tidak banyak, secubit saja. Biarkan tubuhnya perlahan melemah.”

Nyi Rengganis menunduk, wajahnya pucat diliputi ketakutan. “Ampun, Gusti. Apakah tidak terlalu berbahaya?”

Ken Suryawati menatap tajam, senyumnya tipis namun dingin. “Bahaya memang selalu ada, tapi keberanianlah yang membuat seorang wanita tetap dikenang.”

****

Di tengah rencana yang sedang disulam Ken Suryawati, Puspa bangkit lebih pagi dari biasanya. Gadis itu masih memikirkan tatapan Raden Raksa malam sebelumnya. Senyumnya yang samar, sorot matanya yang menusuk, semuanya membuat tidur Puspa tidak tenang. Ia berjalan ke sumur untuk mengambil air, mencoba menenangkan diri dengan dinginnya pagi. Laras menyusul, menepuk bahu sahabatnya pelan.

“Puspa… kau masih terguncang?”

Puspa mengangguk lemah. “Aku tidak bisa melupakan matanya, Laras. Seakan ia menandai aku, dan itu menakutkan.”

Laras menarik napas dalam. “Jangan khawatir. Aku akan selalu di sisimu. Raksa mungkin berkuasa, tapi bukan berarti kita tak bisa melindungi diri.”

Puspa menghembuskan nafas kasar, ingatannya beralih pada adik dan ibunya dirumah, hutang yang tak tuntas menuntutnya untung bekerja lebih keras lagi. Pemberian putri Dyah dan permaisuri biasa ia titipkan pada seorang pelayan yang sering keluar berbelanja kebutuhan istana.

****

Di kejauhan, lonceng balairung berdentang tiga kali—tanda bahwa rapat dewan istana akan segera dimulai. Para tumenggung, patih, dan bangsawan dipanggil untuk membicarakan keamanan kerajaan. Raden Arya Wijayakusuma melangkah menuju balairung dengan wajah tegang. Ia tahu pertemuan itu akan menjadi ajang uji kekuatan antara dirinya dan adiknya. Dan benar saja, Raden Raksa sudah lebih dulu tiba. Duduk dengan sikap santai, namun matanya menyapu seluruh ruangan dengan penuh percaya diri. Beberapa tumenggung yang duduk di dekatnya tampak memberi isyarat hormat, menandakan arah angin perlahan berubah.

Arya menatap Raksa sekilas. Dalam hatinya ia sadar, bayangan pemberontakan yang ditakutkan Putri Dyah mungkin bukan sekadar firasat. Perlahan namun pasti, Samudra Jaya tengah diguncang dari luar dan dari dalam sekaligus. Pertemuan itu baru saja dimulai, namun di luar balairung, badai yang lebih besar telah menanti.

Mahapatih Nirmala Wisesa membuka rapat pagi ini. Balairung agung Samudra Jaya terasa begitu hening ketika Mahapatih Nirmala Wisesa bangkit dari kursinya. Suaranya yang lantang memecah kesunyian, bergema di antara pilar-pilar tinggi yang berhias ukiran emas dan naga bermahkota.

“Para tumenggung, adipati, dan mantri sekalian,” ucapnya dengan nada penuh wibawa, “sudah sepekan Prabu Harjaya meninggalkan singgasananya untuk melaksanakan tapa brata. Selama itu, kita semua memikul tanggung jawab menjaga keutuhan kerajaan ini. Maka, pada hari ini, kita berkumpul untuk membicarakan keadaan negeri.” Semua kepala menunduk hormat. Di barisan depan, Tumenggung Wiranegara tampak menegakkan tubuhnya, penuh kewaspadaan. Berbeda dengan Tumenggung Wiranata, yang duduk sedikit lebih ke samping, matanya menyipit ke arah Raden Raksa seakan memberi tanda diam-diam.

Arya duduk tenang, namun sorot matanya tajam, menatap Raksa yang tampak santai di kursinya. Senyum tipis di bibir Raksa seolah mengejek, seakan ia sudah memegang kendali yang tidak dimiliki kakaknya. Mahapatih melanjutkan, “Laporan pertama di wilayah timur, beberapa desa mengeluhkan hasil panen yang menurun akibat banjir kecil. Adipati Wilwatikta diminta untuk segera mengatur pembagian pangan. Lalu, ada pula kabar dari Tumenggung Wiranegara mengenai dua penyusup yang ditangkap di luar tembok kota. Hingga kini mereka masih bungkam. Kami khawatir ada kekuatan asing yang hendak menguji kewaspadaan kita.” Beberapa bangsawan mulai berbisik, wajah-wajah gelisah menyebar di barisan. Arya mengangkat kepalanya, bicara dengan nada jelas.

“Jika benar ada penyusup, maka sudah saatnya keamanan diperketat. Bukan hanya di gerbang timur, tetapi juga seluruh pintu masuk menuju istana. Jangan sampai kita lengah, sebab musuh bisa saja sudah berada di dekat kita.” Tatapannya beralih ke arah Raksa, tajam seperti mata pedang. Semua orang bisa merasakan ketegangan yang memancar di antara keduanya. Raksa terkekeh lirih, lalu menyela dengan suara tenang namun penuh sindiran. “Kangmas Arya benar-benar berhati lembut. Baru dua orang penyusup kecil, sudah menebar kekhawatiran ke seluruh balairung. Apakah Paduka tidak percaya pada kekuatan prajurit Samudra Jaya?”

Arya mengepalkan tangannya di atas meja kayu, namun ia tetap menjaga wibawa. “Aku percaya pada prajurit kita, Raksa. Yang tidak kupercaya adalah orang-orang yang mencoba mengalihkan perhatian demi ambisi pribadi.” Beberapa mantri menunduk, pura-pura tak mendengar, namun jelas bisikan lirih mulai beredar.

Mahapatih Nirmala Wisesa menengahi dengan tegas. “Cukup. Ini rapat istana, bukan gelanggang adu kata. Kalian berdua adalah darah daging Prabu Harjaya, seharusnya menjadi teladan bagi bawahan.” Raksa hanya tersenyum dingin, sementara Arya menunduk hormat, menahan bara dalam dadanya. Tumenggung Wiranata kemudian bangkit, suaranya berat. “Ampun Mahapatih, hamba hanya ingin menambahkan. Bagi hamba, keamanan negeri ini tidak semata-mata ditentukan oleh prajurit atau tembok istana. Yang lebih penting adalah siapa yang kelak akan memimpin. Sebab bila seorang pemimpin teguh, rakyat pun akan setia. Namun bila pemimpin ragu-ragu… maka celah pemberontakan akan terbuka.” Kata-kata itu terasa seperti anak panah yang melesat tepat ke dada Arya. Ia tahu, Wiranata tengah menyindirnya secara halus. Raksa tersenyum puas, menegakkan tubuh seolah menyambut dukungan yang datang tanpa harus diminta.

Arya tidak tinggal diam. Ia berdiri, matanya berkilat. “Seorang pemimpin sejati bukan diukur dari seberapa banyak ia mengumpulkan pengikut, melainkan dari seberapa besar ia menegakkan keadilan. Negeri ini tidak butuh pemimpin yang congkak, tapi pemimpin yang bijaksana.” Suasana balairung memanas. Para tumenggung saling pandang, sebagian mendukung Arya dalam hati, sebagian lain mulai goyah melihat karisma Raksa.

Mahapatih Nirmala Wisesa kembali berdiri, suaranya bergemuruh. “Sekali lagi, hamba ingatkan. Prabu Harjaya sedang dalam tapa brata, mencari petunjuk dari para leluhur. Jangan sampai saat beliau kembali, beliau mendapati kita terpecah belah. Samudra Jaya bukan milik satu orang, melainkan milik seluruh rakyatnya!” Sunyi seketika meliputi balairung. Bahkan Raksa pun hanya terdiam, meski senyumnya belum pudar. Arya menatapnya dengan tatapan penuh peringatan. Dalam hati, Arya berdoa semoga petunjuk yang dicari sang ayah segera datang, sebelum api pemberontakan benar-benar membakar kerajaan dari dalam. Di luar balairung, suara burung gagak terdengar serak, seakan menjadi pertanda bahwa hari-hari mendatang tidak akan pernah lagi sama.

Balairung utama kembali riuh oleh suara-suara para tumenggung yang saling melontarkan pendapat. Sebagian besar membicarakan perbatasan yang mulai rawan, sebagian lagi menyoal persediaan pangan yang semakin menipis sejak Prabu Harjaya menjalani tapa brata. Mahapatih Nirmala Wisesa sudah berulang kali mengangkat tangannya untuk menenangkan suasana, namun setiap kali ketenangan tercipta, perdebatan kembali memanas.

Raden Raksa duduk dengan punggung tegak, jemari tangannya mengetuk perlahan pada lengan kursinya. Tatapannya tajam, setiap kata yang keluar dari mulut para tumenggung seolah menjadi bahan untuk memperkuat posisinya. Beberapa kali ia mengangguk kecil, seolah-olah menyetujui pendapat yang mengisyaratkan perlunya pemimpin baru yang lebih tegas. Senyumnya samar, namun cukup untuk membuat beberapa bangsawan di dekatnya merasa mendapat restu. Berbeda dengan Arya. Ia tampak menahan diri, hanya sesekali menyela untuk menegaskan bahwa keputusan apa pun tetap harus menunggu kembalinya sang prabu. Tatapannya beberapa kali beralih pada Raksa, dingin dan waspada. Ia tahu betul, setiap kata yang meluncur di ruang balairung ini bisa menjadi batu pijakan bagi adiknya untuk melangkah lebih jauh.

Di tengah hiruk-pikuk itu, sosok Putri Dyah yang sejak tadi duduk tenang akhirnya bergerak. Hanya dengan satu kali ia menegakkan tubuh dan mengangkat tangan, suara-suara yang memenuhi ruangan perlahan mereda. Para bangsawan menoleh, sebagian menunduk memberi hormat. Tak ada yang berani memotong saat suara lembut namun tegas itu mengalun.

“Sejak tadi hamba dengar banyak kata-kata terucap, namun sedikit sekali yang benar-benar memberi jalan keluar,” ucapnya, lirih namun menggema hingga ke sudut ruangan.

Hening menyelimuti balairung.

“Negeri ini bukan milik satu orang, bukan pula milik segelintir yang merasa dirinya paling berhak. Samudra Jaya adalah rumah bagi seluruh rakyatnya. Jika hari ini kita hanya berbicara tentang kekuasaan, tentang siapa yang pantas dan siapa yang tidak, lalu siapa yang akan memikirkan rakyat yang menunggu di sawah, di ladang, di pasar?” Kata-kata itu meluncur tanpa tergesa, namun tajam menembus dada siapa pun yang mendengar. Arya menunduk hormat, wajahnya lega karena ada suara yang akhirnya menegakkan arah rapat. Sementara Raksa—yang sejak tadi penuh percaya diri—perlahan mengepalkan tangannya di bawah meja. Rahangnya mengeras, matanya menatap lurus ke depan tanpa berkedip. Putri Dyah melanjutkan, kali ini dengan sorot mata berkilat. “Selama Prabu Harjaya menjalani tapa brata, kita semua hanyalah penjaga. Penjaga agar kerajaan tetap kokoh hingga beliau kembali. Jangan sampai sejarah mencatat bahwa saat seorang raja berdoa untuk rakyatnya, para bangsawan sibuk saling berebut kursi.”

Bisikan-bisikan kecil terdengar dari sudut ruangan, beberapa tumenggung saling bertukar pandang dengan wajah tegang. Tak ada yang berani membantah.

“Jika masih ada yang merasa dirinya lebih pantas memimpin,” suara Putri Dyah kian tegas, “tunggu hingga Prabu kembali. Sampaikan di hadapan beliau, bukan di balik meja-meja rapat seperti ini.” Sejenak, balairung benar-benar senyap. Hanya terdengar napas berat yang ditahan. Arya mengangkat kepalanya, menatap sang putri dengan rasa hormat yang dalam. Sedangkan Raksa, dengan tangan terkepal dan dada naik-turun menahan emosi, hanya bisa menyunggingkan senyum tipis—senyum yang lebih mirip gertakan daripada keramahan.

Mahapatih Nirmala akhirnya menutup pertemuan dengan suara berat, “Kiranya apa yang disampaikan Putri Dyah sudah cukup menjadi pengingat bagi kita semua. Rapat selesai. Kembali pada tugas masing-masing, demi Samudra Jaya.” Para bangsawan berdiri, satu per satu keluar dari balairung dengan wajah penuh pikiran. Namun di antara langkah-langkah berat itu, ketegangan yang mengendap antara Raksa dan Arya kian terasa nyata. Putri Dyah berhasil membungkam suara-suara yang berisik, tapi bara yang bersemayam di dada Raden Raksa jelas belum padam—hanya menunggu waktu untuk menyala kembali.

Putri Dyah kembali ke keputren melangkah anggun menyusuri lorong panjang menuju keputren. Udara siang yang agak pengap tidak mengurangi wibawa langkahnya. Dayang-dayang yang berjalan di belakangnya menundukkan kepala, tak berani berbisik sepatah kata pun. Namun langkahnya terhenti ketika suara lembut namun tegas terdengar dari belakang.

“Mbak yu, maaf…”

Raden Arya berdiri di sana, tubuhnya tegak, wajahnya menyiratkan kerisauan yang belum tuntas sejak rapat balairung tadi. Putri Dyah menoleh perlahan. Senyum tipis ia hadirkan, meski sorot matanya masih penuh beban. “Adimas Arya, apakah ada hal yang belum sempat engkau sampaikan di balairung?”

Arya mendekat, menundukkan kepala sejenak sebagai bentuk hormat sebelum bicara. “Mbak yu, hamba merasa ada yang janggal dari semua laporan tadi. Tentang perbatasan yang ditembus, tentang gudang logistik yang terbakar, bahkan tentang penjaga yang mendadak hilang. Semua itu… seperti bukan kebetulan.” Dyah menahan napasnya sejenak, lalu berjalan pelan. Arya mengikutinya dari samping. “Adimas merasa ada tangan yang memandu mereka dari dalam istana?” tanyanya lirih, nyaris berbisik.

Arya menatap lurus ke depan, seolah takut kata-katanya terdengar oleh dinding. “Betul, mbak yu. Tidak mungkin seorang penyusup bisa masuk ke ruang-ruang penting tanpa tahu celah dan waktunya. Seperti ada seseorang yang membuka jalan.” Dyah terdiam. Suara gemerincing gelang peraknya yang beradu dengan kain kebayanya terdengar samar ketika langkahnya terhenti. Ia menoleh pada Arya, sorot matanya tajam namun penuh kepercayaan. “Adimas Arya… apakah engkau telah mencurigai seseorang?”

Arya menghela napas panjang, lalu menunduk sedikit. “Bukan hendak menuduh tanpa bukti, mbak yu. Namun bayangan itu terus menghantui pikiran hamba. Seolah ada arus bawah tanah yang mengalir, pelan tapi pasti, hendak meruntuhkan Samudra Jaya.”

Dyah memejamkan mata sejenak, lalu berkata dengan suara pelan namun bergetar “Kekhawatiranku ternyata bukan hanya firasat. Apa yang terjadi hari ini di balairung, saat semua tumenggung berselisih pendapat, dan Raksa begitu mudah menarik simpati… membuatku semakin yakin bahwa badai memang sedang menghampiri.”

Arya menatap kakaknya dalam-dalam. “Mbak yu jangan merasa sendiri. Selama hamba masih bernafas, hamba akan selalu berada di sisimu. Kita tidak boleh membiarkan siapa pun menodai nama besar Samudra Jaya.” Putri Dyah menatap adiknya, senyum getir tersungging di bibirnya. “Kadang aku lupa, adimas, bahwa engkau adalah lelaki yang sudah ditempa oleh banyak hal. Seringkali aku melihatmu hanya sebagai saudara yang harus kulindungi… padahal engkau justru menjadi penopangku.”

Arya menunduk hormat, lalu menimpali dengan suara mantap “Bila badai itu datang, biarlah hamba menjadi tamengnya terlebih dahulu. Namun, mbak yu, satu hal yang harus kita jaga: jangan sampai musuh tahu bahwa kita telah membaca jejak mereka. Kita harus diam, mengamati, hingga tiba saatnya bertindak.” Putri Dyah menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Benar. Jika musuh menyangka kita lengah, mereka akan semakin berani menampakkan dirinya. Dan saat itulah kita akan mengetahui siapa yang selama ini menyulam benang pengkhianatan.” Lorong sepi itu seakan menjadi saksi atas percakapan dua darah bangsawan yang tengah memikul beban masa depan kerajaan. Dari kejauhan, suara gamelan sayup-sayup terdengar dari keputren, seolah menutupi kegelisahan yang menggantung di udara.

Dyah menoleh lagi pada Arya sebelum melangkah lebih jauh. “Adimas, berjanjilah… apapun yang terjadi, engkau tidak akan bertindak terburu-buru.” Arya menatapnya lekat, lalu menunduk dalam. “Hamba berjanji, mbak yu. Namun bila nyawamu terancam, jangan harap hamba akan tinggal diam.” Putri Dyah tersenyum tipis, meski hatinya perih mendengar kalimat itu. Ia melangkah lagi ke arah pintu keputren, sementara Arya berdiri memandanginya hingga bayangan sang putri menghilang di balik tirai pintu. Di balik sikap tenang keduanya, ada bara yang sama-sama mereka rasakan. Bara yang kelak bisa menjadi nyala obor perjuangan… atau api yang membakar seluruh istana.

Diam-diam Puspa dan Wulan memandang raden Arya saat mereka berpisah dan mengikuti langkah putri Dyah, mereka bertatap muka lalu tersenyum karena pesona Raden Arya mengikuti memikat. Sampai di dalam pasren putri Dyah duduk di kursi ukir kayu jati, rupanya kain-kain baru sudah sampai.

Dia memilih-milih, ada kain sutra yang halus dan lembut mengingatkannya pada ibundanya.

“Puspa, tolong antarkan kain ini untuk ibunda permaisuri,” titah sang putri.

“Inggih kanjeng putri.” Ucap Puspa lalu beranjak dari duduknya dan mengantar kain sutra itu ke permaisuri. Lorong istana yang diterangi cahaya matahari siang itu terasa lengang, hanya langkah beberapa dayang yang sesekali terdengar. Puspa, dayang yang tersohor karena kecantikannya, tengah membawa baki berisi kain sutra yang hendak ia serahkan kepada permaisuri. Pandangannya tertunduk, tubuhnya tegak anggun. Namun karena tergesa, ia tak menyadari seorang bangsawan muda berjalan dari arah berlawanan.

Tubuh mereka beradu ringan. Baki yang dibawa Puspa hampir terlepas dari tangannya, sementara gulungan kitab yang dipegang sang bangsawan jatuh berserakan di lantai.

“Ya, ampun...” gumam Puspa kaget, segera berlutut mengambil kitab yang jatuh. Raden Arya Wijayakusuma Narendra—putra raja yang dikenal bijak dan teduh—menundukkan kepala, menahan senyum. “Dayang Puspa, tiada perlu resah. Hamba yang seharusnya meminta maaf. Langkah hamba terlalu tergesa.” Suaranya halus, tutur bahasanya penuh krama yang membuat hati siapa pun terasa dihormati. Puspa tertegun. Tatapannya bertemu sejenak dengan mata Raden Arya yang jernih dan menenangkan. Pipinya merona tanpa ia sadari. “Ampun, Kanjeng Raden... hamba yang ceroboh,” bisiknya dengan suara lirih. Raden Arya tersenyum tipis, tangannya terulur menerima kitab yang Puspa serahkan. “Tiada cela dalam dirimu, wahai Puspa. Hanya kebetulan saja langkah kita bersilang.” Cara ia berkata membuat Puspa tak kuasa menahan debaran di dadanya. Mereka berdua masih terdiam sesaat, seolah waktu sengaja melambat. Namun dari balik pilar, sepasang mata lain menyaksikan. Raden Raksa, saudara Arya, yang dikenal congkak dan penuh gairah duniawi, berdiri dengan wajah menegang. Api cemburu menyala di balik sorot matanya ketika melihat Puspa tersipu di hadapan Arya.

Di lorong sunyi itu, Puspa melangkah kembali dengan wajah merona, sementara Raden Arya menatap punggungnya dengan senyum samar yang tak disadari siapa pun. Namun dari balik pilar, sorot mata Raksa menyala seperti bara yang tersulut angin. Senyum tipisnya bukan lagi senyum seorang pangeran, melainkan senyum seorang pemburu yang tak rela buruannya jatuh ke tangan lain. Di istana yang megah ini, cinta, ambisi, dan pengkhianatan perlahan saling bertaut, meninggalkan jejak bayangan yang kian pekat—bayangan yang kelak akan menentukan takdir Samudra Jaya.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!