Karena cinta kah seseorang akan memasuki gerbang pernikahan? Ah, itu hanya sebuah dongeng yang indah untuk diriku yang telah memendam rasa cinta padamu. Ketulusan ku untuk menikahi mu telah engkau balas dengan sebuah pengkhianatan.
Aku yang telah lama mengenalmu, melindungi mu, menjagamu dengan ketulusanku harus menerima kenyataan pahit ini.
Kamu yang lama aku sayangi telah menjadikan ketulusanku untuk menutupi sebuah aib yang tak mampu aku terima. Dan mengapa aku baru tahu setelah kata SAH di hadapan penghulu.
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga bulan."
Dada ini terasa dihantam beban yang sangat berat. Mengapa engkau begitu tega.
"Kakak, Kalau engkau berat menerimaku, baiklah aku akan pulang."
"Tunggulah sampai anak itu lahir."
"Terima kasih, Kak."
Namun mengapa dirimu harus pergi di saat aku telah memaafkan mu. Dan engkau meninggalkanku dengan seorang bayi mungil nan cantik, Ayudia Wardhana.
Apa yang mesti ku perbuat, aku bukan manusia sempurna....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Kepergian Lea
Pandangan Dika tak lepas dari baby Ayu dan Lea. Ia merasa kehidupannya telah lengkap. Ada istri yang sangat ia cintai dan juga seorang putri cantik di sampingnya.
Dia mengusap dengan jarinya, kulit Ayu yang sedemikian lembut dengan senyum bahagia. Meski tak bicara, namun tatapannya yang bahagia menunjukkan apa yang ingin diungkapnya. Yang disambut geliat lembut tubuh baby Ayu yang masih sangat mungil itu.
“Anak papa yang cantik,” ucapnya lirih Sesekali dia mencium tangan baby Ayu dan juga bibirnya.
Lea ingin mencegahnya namun tubuhnya masih lemah sehingga tak mampu berkata-kata apa-apa. Dia hanya tersenyum melihatnya.
Hati Lea pun senangnya bukan main, membuatnya sedikit iri. Perlakuan Dika pada putrinya lebih hangat dari pada kepada dirinya.
Selama ini, Dika memang menjaga dirinya dengan baik. Namun tak pernah sekalipun Dika mencium dirinya. Pernah sekali-kali Dika mengusap perutnya dan itu pun sangat jarang.
“Aku jadi iri, deh,” kata Lea.
Dika menatap Lea dengan ujung matanya sambil tersenyum tipis.
“Kamu ingin?” kata Dika dengan riang.
“Lupakan,” kata Lea. Dia tak mungkin meminta sesuatu yang memang sulit dilakukan oleh Dika, mengingat begitu besar kesalahan yang telah diperbuatnya.
Ia merasa dadanya tiba-tiba sesak dan nafas tersengal-sengal.
“Kakak,” ucapnya dengan lirih.
Tampak keringat dingin membasahi dahi Lea, membuat Dika hawatir. Dia pun meletakkan baby Ayu ke tempat tidurnya. Dia segera menghampiri Lea yang terlhat sangat kepayahan.
“Kakak. Sepertinya waktu Lea sudah dekat. Maafkan Lea jika tak bisa menemani kalian lagi,” ucapnya dengan suara yang makin melemah.
“Kamu ngomong apa sih, Lea.”
Dika bingung dan tegang, tak tahu berbuat apa.
“DOKTER!” Dika berteriak lantang memanggil dokter yang menangani Lea.
Tak beberapa lama petugas medis dan juga Dokter datang. Mereka segera memasang kembali peralatan medis ke tubuh Lea.
“Kakak. Aku ... Aku percayakan Ayu padamu, Kak …” ucapnya dengan suara semakin melemah.
“Ya,” ucap Dika sambil menahan air mata yang tergenang di danau miliknya.
Dika merasa waktunya sudah sangat dekat. Tak ada yang bisa diperbuatnya, selain menguatkan hati agar bisa menerima segala kemungkinan apa yang terjadi dengan sabar.
"Allah... Allah ..." bisiknya lembut di telinga Lea.
"Allah..." Mata Lea pun terpejam sempurna dengan senyum bahagia menghias bibirnya.
“Lea…Lea…Lea…” panggil Dika sedih.
Ia melihat layar monitor yang terhubung dengan denyut jantung berhenti berdetak. Gerak garis semakin turun dan akhirnya hanya meninggalkan garis lurus di layar dengan bunyi datar.
“Dokter…Dokter…” Dika berlari keluar dengan panik. Ia seakan tak peduli dengan baby Ayu yang tiba-tiba menangis. Mungkin ia merasakan apa yang terjadi dengan orang tuanya.
Dokter dan perawat yang baru saja meninggalkan mereka segera kembali. Mereka dengan cepat memeriksa keadaan Lea.
“Maaf Bapak. Hanya ini yang bisa kami lakukan. Allah lebih sayang pada ibu agar tidak lagi merasakan penderitaan ini lagi.”
Dika seketika lemas. Ia pun berucap, “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun…”
Tak terasa air matanya pun menetes, mengenai pipi baby Ayudia yang berada di gendongannya. Baby itu menangis sangat keras, seakan merasakan kesedihan yang saat ini melanda hati Dika.
“Cup cup sayang, jangan menangis ya. Masih ada Papa yang akan menemanimu.”
“Biar saya gendong Ayu, Den,” kata Mbok Sari yang selalu setia menemani mereka di rumah sakit.
“Ya, Mbok. Aku akan mengurus administrasinya agar jenazah Lea dapat segera dibawa pulang.”
"Ya, Den."
Tanpa perlu waktu lama, semuanya telah selesai. Jenazah Lea segera dapat dibawa pulang.
Dika membawa jenazah Lea ke rumah Papa Wisnu untuk disemayamkan, sebelum akhirnya di berangkatkan ke tempat peristirahatan terakhirnya.
***
“Lea. Sepertinya kita selamanya hanya sebagai kakak dan adik. Kakak yang selalu memperhatikanmu sebagai adik. Kakak, tempat kamu berpulang saat sedih. Tempatmu bersembunyi saat keburukan menimpamu. Atau entahlah.
Apa yang kau ucapkan dulu bahwa kakak adalah cinta pertamamu sama sekali tak pernah terwujud. Semua gelap saat engkau datang dengan sebuah nyawa dalam dirimu. Dan saat itu aku masih percaya bahwa kamu adalah untukku, meski engkau datang dengan tidak kesempurnaanmu.
Tapi saat ini, aku baru sadar kamu sama sekali bukan untukku. Engkau pergi saat aku ingin memilikimu secara utuh. Kamu tega Lea, meninggalkanku sendiri.
Semoga yang maha Kuasa mengampuni mu karena mempertahankan dan menjaga Ayu sampai bisa menatap dunia ini,” bisik Dika dalam hati.
Sementara para pelayat telah pergi semua, Dika masih berdiri di sana, di atas gundukan tanah merah dengan taburan bunga-bunga di atasnya.
Dia ingin menikmati kesendiriannya di tempat ini. Ada kesedihan yang tak bisa ia luapkan pada siapa pun kecuali pada yang pemberi hidup.
Tanpa ia sadari ada seorang kawan lama mendekat.
“Maaf aku datang terlambat.”
“Nggak apa-apa, Aris.”
Aris, dokter keluarga Wardhana yang dulu memeriksa kehamilan Lea saat mereka baru menikah.
“Selamat juga atas kelahiran putrimu.”
“Terima kasih. Tapi sayang dia bukan putriku, Aris.”
“Oh, maaf. Aku sudah menduga sejak awal kalau bayi yang ada di kandungan Lea bukan putrimu. Karena aku tahu, cintamu pada Lea sangat tulus. Kamu nggak akan menyentuhnya kalau belum menghalalkannya.”
“Ya, aku sangat mencintainya. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Lea setalah ia melahirkan. Tapi sayang takdir berkata lain.”
“Aku turut berduka cita atas meninggalnya Lea.”
“Terima kasih, Aris. Maafkan kalau Lea punya salah padamu.
“Ya.”
Setelah berdoa sebentar, keduanya pun meninggalkan pemakaman itu dengan sedih.
“Apa rencanamu dengan putri Lea? Apa kamu akan memberikan pada keluarganya?”
“Tidak. Itu sama saja dengan aku membuangnya. Dia tak berdosa. Biarlah dia bersamaku, menjadi putriku seutuhnya. Dan aku berharap, dengan kehadirannya dapat menjadi obat kerinduanku pada Lea.”
“Aku salut padamu. Kalau aku jadi kamu, mungkin sejak awal aku sudah menceraikannya. Tak peduli dengan anak yang ada dalam kandungannya. Toh, dia bukan anakku.”
“Aku faham.”
“Semoga dia bisa jadi penghibur hatimu kelak.”
“Aamiin.”
“Jangan larut dalam kesedihan. Segera cari ibu pengganti buat putrimu. Bukankah kamu masih perjaka? Pasti banyak yang antri,” kata Aris sambil bercanda.
“Kamu! … Dasar Dokter kampret!” serunya dengan nada kesal.
Namun yang dimarahi sudah berlalu pergi, meninggalkan dirinya dalam kesendirian dan kekesalan.
Tanah kuburan Lea masih memerah, tega-teganya sudah berfikir mencari penggantinya. Yang benar saja!
Bukan masalah mencari pengganti Lea. Namun karena hati Dika yang belum siap maka lebih baik tak memikirkannya lebih dahulu. Jika sudah siap, ia akan mencoba membuka hatinya kembali.
“Jalan, Nas,” kata Dika pada Nasrul, sopir pribadinya yang setia mendampingi ketika ke kantor atau ke luar kota.
“Baik, Mr.”
Nasrul pun menghidupkan mesin mobilnya, lalu berlahan-lahan membawanya ke luar area pemakaman. Dia tak tahu tuannya akan menuju kemana. Apakah akan langsung ke kantor ataukah ke rumah terlebih dahulu. Untung Dika segera memberi tahunya.
“Kita ke rumah papa Wisnu saja dulu. Aku ingin menjemput Ayu dan mbok Sari.”
“Baik, Mr.”
Dia pun menambah kecepatan laju mobilnya, agar segera tiba di tempat tujuan.
***
Begitu sampai, dia segera menemui Wisnu untuk berpamitan.
“Papa, Aku bawa Ayu dan Mbok sari, ya...”
“Ya. Bawalah mereka tapi jangan lupa kamu mempekerjakan perawat untuk membantu si Mbok dalam merawat Ayu!”
“Baik, Pa.”
“Assalamu Alaikum.”
“Waalaikum salam.”
mampir juga di karya aku ya🤭
cuman akan aku persingkat.
sayang kalau tak ku teruskan tulisan ini.
biar deh, walaupun tak lulus review.
yang penting selesai dulu.