NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Benang Rahasia

Tok tok tok

“Masuk.”

Elena membuka pintu dan melangkah masuk sambil membawa setumpuk berkas di tangannya. Ruangan itu hening, hanya terdengar suara langkah sepatunya yang bertumbukan dengan lantai. Ia berjalan mendekat ke meja kerja Damian.

“Ini berkas yang perlu ditandatangani,” ucapnya sambil meletakkan berkas di atas meja.

Damian mendongak, tersenyum kecil pada wanita itu, lalu menggeser berkas yang sedang ia baca. Ia mengambil berkas yang dibawa Elena, membuka lembar demi lembar, dan mulai memeriksanya dengan teliti. Setelah yakin semuanya benar, ia menandatangani di bagian yang diperlukan.

Setelah Damian menandatangani halaman terakhir, ia menyerahkan kembali berkas itu kepada Elena.

“Kirim ke Divisi Legal. Mereka yang akan memastikan perjanjian dengan PT Desain ini aman sebelum diserahkan ke pihak luar.”

Elena mengangguk, “Baik, Tuan.”

Tapi wanita itu masih berdiri di depan meja kerja Damian. Sementara tangannya memegang map berisi berkas yang tadi baru diserahkan pria itu.

“Kau tidak pergi?” tanya Damian dengan heran.

Elena justru cemberut, membuat Damian menaikkan alis dan terkekeh pelan, “Kenapa?” tanyanya lagi, kali ini lebih lembut.

“Tidak ada,” jawab Elena cepat.

Damian menyandarkan punggung di kursinya, menatap Elena dengan sabar, “Katakan saja, tidak perlu ragu.”

Elena menggigit bibir bawahnya, lalu menghela napas, “Apa ada masalah? Saat Om datang pagi ini, wajah Om terlihat penuh beban.”

“Om?” Damian mengulang.

Elena berdecak kecil, “Sudahlah, Om. Kalau hanya ada kita berdua, aku lebih nyaman memanggilmu begitu. Lidahku terasa kaku kalau harus memanggilmu Tuan terus-menerus.”

Damian tertawa pelan, tawa yang hangat dan tulus, lalu mengangguk, “Terserah kau.”

“Sekarang katakan, apa ada masalah?” ujarnya sungguh-sungguh, seperti seseorang yang benar-benar ingin tahu apa yang disembunyikan pria di hadapannya itu.

“Seperti biasa, masalah putraku.”

Elena mencondongkan tubuh sedikit, “Dia lagi? Apa lagi kali ini?” tanyanya dengan menaruh prihatin.

“Masih sama,” jawab Damian, suaranya terdengar datar tapi lelah, “Anak itu memang selalu memberontak.”

Elena memperhatikan wajah Damian dengan saksama. Dari garis halus di dahinya, cara matanya sedikit menunduk, hingga nada suaranya yang menurun di akhir kalimat. Ia mencoba membaca, apakah kata-kata itu sungguh jujur atau hanya penutup dari sesuatu yang lebih dalam.

Damian menyadarinya. Ia menatap balik dengan alis terangkat, “Kenapa menatapku seperti itu?”

Elena langsung berdehem, mencoba menutupi rasa kikuknya, “Aku hanya ingin tahu apakah Om berbohong padaku.”

Damian menatapnya serius kali ini, “Aku tidak berbohong. Itu saja jawaban yang bisa kuberikan. Kau mengerti?”

Tatapan mereka bertaut beberapa detik sebelum Elena akhirnya menghela napas panjang dan mengangguk pelan, “Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Tapi saranku, sebaiknya Om segera berdamai dengan anak Om. Jangan sampai menyesal nantinya.”

Setelah itu, Elena membungkuk sedikit, memberi isyarat pamit, “Aku permisi.”

Ia berbalik dan melangkah menuju pintu, meninggalkan Damian yang kini terdiam di kursinya. Pandangan pria itu tetap tertuju pada punggung Elena sampai pintu tertutup rapat.

“Memperbaiki hubungan?” gumam Damian lirih. Bibirnya mengulas senyum getir, sebelum kembali menunduk ke berkas-berkas yang belum selesai dibacanya.

Di luar ruangan, Elena berdiri sejenak, menatap pintu yang baru saja ditutupnya dengan tatapan dalam.

“Jangan sampai kau menyesal karena melihat anakmu hancur. Sebelum terlambat aku hanya ingin mengingatkanmu,” lirihnya.

Tanpa banyak membuang waktu, ia pun berbalik dan melangkah mantap menuju lift, membawa berkas yang harus diantarkan, sekaligus membawa pikirannya yang kini penuh tanda tanya tentang keluarga Evans.

Sesampainya di lantai tempat divisi legal berada, Elena melangkah dengan langkah tegap menyusuri koridor panjang yang dipenuhi deretan kubikel dan ruangan-ruangan berdinding kaca. Di balik kaca itu, para staf terlihat sibuk dengan dokumen dan rapat kecil, namun sebagian pandangan mereka tetap saja beralih pada sosok wanita yang baru datang.

Elena tahu, perhatian itu bukan hal baru. Hampir semua orang di gedung ini tahu siapa dirinya. Karena dialah wanita yang paling sering terlihat mendampingi Damian Evans. Tapi Elena tidak menggubris tatapan-tatapan itu. Ia terus melangkah dengan percaya diri. Dan sepatu hak tingginya berhasil menciptakan irama langkah yang tegas.

Di ujung koridor, berdiri sebuah ruangan luas dengan pintu kaca bening bertuliskan Head of Legal Division – John Bradley. Elena mengetuk dua kali.

“Masuk,” sahut suara berat dari dalam.

Ia membuka pintu, lalu menatap pemandangan di dalam ruangan. Seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun, berperut buncit, dan rambut depan menipis, sedang memegang stik golf di depan lapangan golf mini di sudut ruangan. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi karpet baru memenuhi udara ruangan itu.

Elena melangkah masuk dengan sikap sopan namun matanya jelas menunjukkan rasa risih. Usia pria itu memang tidak jauh berbeda dengan Damian, tetapi penampilan dan karisma pria ini sangat kontras. Ia bahkan sempat bertanya-tanya dalam hati, mengapa Damian mempercayakan posisi penting pada orang seperti dia.

Pria itu menoleh dengan senyum lebar, lalu memukul bola golf di depannya.

“Yess! Masuk!” serunya dengan ekspresi puas, mengepalkan tangan seperti anak kecil yang baru memenangkan permainan.

Elena berdehem pelan, mencoba menjaga sikap profesional, “Tuan, ini berkas yang baru saja ditandatangani Tuan Damian. Mengenai perjanjian dengan PT Desain.”

“Taruh saja di meja,” jawab John tanpa menatapnya, masih menikmati permainan golfnya.

Elena mengangguk singkat, meletakkan map di atas meja kerja yang penuh dengan tumpukan dokumen dan hiasan berlebihan. Lalu kembali menghadap pria itu.

“Kalau begitu saya permisi,” ucapnya sambil membungkuk sopan.

“Eh, tunggu dulu.”

Elena berbalik.

Sementara John menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, sorot matanya jelas tidak sopan. Elena berdiri lebih tegak, menegaskan batas.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanyanya datar, nada suaranya dingin.

John justru terkekeh kecil, “Hei, kenapa kau terlihat marah? Aku hanya ingin bertanya, kau tidak ingin menemaniku bermain?” Ia melirik ke arah lapangan golfnya dengan nada menggoda.

Elena tersenyum tipis, senyum yang tidak mengandung kehangatan sedikit pun, “Tidak perlu, Tuan. Silakan ajak sekretaris Anda sendiri. Saya permisi.”

Tanpa memberi kesempatan untuk dibalas, ia berbalik dan melangkah keluar.

John tetap menatap punggung Elena yang mulai menjauh. Pandangannya melekat pada setiap lekukan dan gerakan tubuh wanita itu. Senyum mesum pun mengembang perlahan di wajahnya.

“Menarik,” gumamnya pelan, “Kira-kira, apa yang dilakukan Damian sampai bisa mendapatkan wanita seperti itu?”

Ia menyeringai, sebelum akhirnya meraih kembali stik golfnya, dan memukul bola dengan santai. Sementara pikirannya masih dipenuhi bayangan Elena.

Di koridor lantai itu, langkah Elena terdengar cepat dan berat. Mengingat wajah pria tua hidung belang itu saja sudah membuat perutnya mual.

“Pria menjijikkan,” gerutunya dalam hati.

Ia memilih berbelok ke kamar mandi wanita. Begitu masuk, Elena langsung menuju wastafel dan membuka kran air. Tangannya bergerak cepat, mencuci telapak dan jemarinya seolah ingin menghapus sisa rasa jijik yang menempel karena pertemuannya dengan John tadi. Air dingin membasahi kulitnya, tapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya.

Tidak lama kemudian, langkah sepatu terdengar mendekat. Disusul dua suara wanita yang berbicara lirih, tapi cukup jelas untuk sampai di telinga Elena.

“Hei, kau tahu? Pagi ini Tuan Sean datang ke perusahaan.”

Gerakan tangan Elena langsung terhenti. Nama itu berhasil membuatnya menajamkan pendengaran.

“Oh, benarkah? Menemui Tuan Damian?”

Kedua wanita itu berjalan melewati belakang Elena, lalu berhenti di depan bilik toilet.

“Tidak,” jawab salah satu dari mereka, “Tapi Tuan Alan.”

Mata Elena sedikit membulat.

“Alan?” Batinnya penuh tanda tanya.

“Kenapa malah dia?” tanya yang satunya lagi.

“Kurasa karena masalah pengangkatan calon pemimpin perusahaan. Walaupun Tuan Damian masih kuat memimpin, tapi bukan berarti dia tidak menyiapkan calon penerus.”

“Itu terdengar kejam. Seperti menyingkirkan ayahnya sendiri. Tapi kalau Tuan Alan mendukung, pasti banyak yang akan berpihak pada Tuan Sean.”

“Kau tahu sendiri, siapa yang tidak tergoda kekuasaan? Aku malah heran kenapa Tuan Damian belum juga menunjuk calon pengganti, dan kenapa dia tidak membiarkan Tuan Sean bekerja di sini. Mungkin saja karena hubungan mereka tidak sebaik yang diberitakan media.”

Elena tetap diam, wajahnya tenang tapi matanya menajam. Dua wanita itu mungkin tidak sadar bahwa setiap kata mereka terserap sempurna olehnya.

“Kurasa gosip ini sebentar lagi akan tersebar di seluruh gedung,” ucap salah satu dari mereka lagi. Tapi kemudian matanya melirik ke arah cermin, dan pandangannya bertemu dengan Elena yang berdiri tegap di depan wastafel. Seketika wajahnya memucat.

“Kita… kita ke kamar mandi lain saja,” katanya cepat sambil menarik tangan temannya.

“Eh? Kenapa?”

“Aku baru sadar, di dalam sini ada sekretaris Tuan Damian.”

“Astaga! Bodoh sekali kita!”

Langkah mereka terburu-buru keluar dan kamar mandi diterpa keheningan kembali.

Elena mematikan kran air, mengibaskan tangannya sebelum meraih tisu di samping wastafel. Ia menatap wajahnya di cermin. Sorot matanya kini berbeda, tenang tapi menyimpan kilatan tajam.

“Apa ini alasan Damian bersikap aneh sejak pagi?” gumamnya lirih, lalu sudut bibirnya terangkat pelan, “Sangat menarik.”

Namun pikirannya segera beralih pada satu hal lain, yaitu Sean dan Alan.

“Ternyata mereka sekutu,” ucapnya dingin, “Apa Damian juga tahu tentang ini?”

Ia kemudian tersenyum tipis penuh arti, “Akan menarik untuk melihat apa rencana mereka,” ucapnya sambil terkekeh pelan.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!