Di dunia di mana sekte-sekte besar bersaing demi kekuasaan, lahirlah seorang pemuda bernama Lin Feng. Tidak memiliki latar belakang mulia, tubuhnya justru menyimpan rahasia unik yang membuatnya diburu sekaligus ditakuti.
Sejak hari pertama masuk sekte, Lin Feng harus menghadapi hinaan, pertarungan mematikan, hingga pengkhianatan dari mereka yang dekat dengannya. Namun di balik tekanan itulah, jiwanya ditempa—membawanya menapaki jalan darah yang penuh luka dan kebencian.
Ketika Pedang Abadi bangkit, takdir dunia pun terguncang.
Akankah Lin Feng bertahan dan menjadi legenda, atau justru hancur ditelan ambisinya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aku Pemula, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 - Gelombang yang Tersembunyi
Kabut tipis masih menggantung di sekitar puncak gunung ketika gong pagi sekte berdentum tiga kali. Suara beratnya bergema jauh ke lembah, menandai dimulainya latihan para murid inti. Cahaya matahari menembus sela-sela awan, menyinari halaman pelatihan yang luas, penuh dengan suara pedang beradu, napas teratur, dan teriakan pendekar muda yang berlatih dengan penuh semangat.
Di antara keramaian itu, dua murid menempuh jalan latihan yang berbeda. Mereka adalah Mei Xue dan Zhao Liang, masing-masing dibimbing langsung oleh instruktur yang berbeda, dengan gaya pengajaran yang sama sekali bertolak belakang.
***
Latihan Mei Xue – Didikan Tetua Lan Mei
Di sebuah pelataran batu yang sepi, jauh dari kebisingan murid-murid lain, Mei Xue berdiri tegak dengan pedang tipis berbilah perak di tangannya. Angin berhembus lembut, menggoyangkan ujung rambut hitam panjangnya yang terikat sederhana. Wajahnya masih muda, namun sorot matanya penuh kesungguhan.
Di hadapannya berdiri Tetua Lan Mei, salah satu tetua perempuan paling disegani di Sekte Langit Biru. Usianya sudah di atas enam puluh tahun, namun tubuhnya tegap dan matanya memancarkan ketajaman seperti bilah pedang. Lan Mei dikenal sebagai “Pedang Angin Musim Semi,” ahli pedang yang pernah berjaya dalam pertempuran antar sekte puluhan tahun lalu.
“Xue’er,” suara Tetua Lan Mei tenang namun tegas, “ingat, pedang bukan hanya tentang menusuk dan menebas. Pedang adalah tentang hati. Seorang ahli pedang sejati bisa membuat pedangnya menari bagaikan angin, namun juga bisa membuatnya menusuk secepat kilat. Hari ini, aku akan mengajarkanmu dasar pengendalian pedang: tiga harmoni—hati, napas, dan tangan.”
Mei Xue menunduk hormat. “Baik, Guru Lan Mei.”
Latihan dimulai dengan gerakan sederhana: menusuk lurus ke depan. Tapi di bawah bimbingan Lan Mei, setiap tusukan harus menyatu dengan napas, dan setiap ayunan harus selaras dengan ketenangan hati.
“Jangan tegang,” ujar Lan Mei sambil memperhatikan gerakan muridnya. “Bayangkan pedangmu bukan besi, melainkan embusan angin. Kau tak bisa melihat angin, namun kau bisa merasakannya. Begitu pula dengan pedang—ia bukan hanya wujud fisik, melainkan perpanjangan dari kesadaranmu.”
Mei Xue mengulang gerakan berkali-kali. Pada awalnya pedangnya kaku, terlalu mengandalkan tenaga lengan. Namun perlahan, setelah berulang kali ditegur, gerakannya mulai mengalir. Peluh mengalir di pelipisnya, napasnya berat, tapi matanya semakin bersinar.
Lan Mei tersenyum samar. “Bagus. Ingat perasaan ini. Kau memiliki bakat alami untuk menyatu dengan pedang. Jangan sia-siakan.”
Ucapan itu membuat hati Mei Xue bergetar. Ia merasa dipandang bukan hanya sebagai murid biasa, melainkan sebagai penerus potensi besar.
***
Latihan Zhao Liang – Didikan Zhao San
Berbeda dengan ketenangan pelataran Mei Xue, suasana latihan Zhao Liang penuh dengan kerasnya tempaan. Ia dilatih langsung oleh Zhao San, instruktur terkenal dengan metode keras. Zhao San dikenal sebagai pendekar yang dulu menempa dirinya di medan perang, sehingga caranya mendidik murid pun kasar, penuh teriakan dan disiplin keras.
“Lemah! Itu ayunan macam apa!?” bentak Zhao San, suaranya menggelegar hingga membuat beberapa murid di lapangan lain menoleh.
Zhao Liang terengah-engah, tubuhnya sudah dipenuhi peluh. Pedang kayu di tangannya hampir terlepas karena tangannya yang gemetar. Namun ia menggertakkan giginya dan kembali mengayun, kali ini dengan teriakan keras.
“Tidak cukup! Lagi! Jangan berhenti sampai aku bilang berhenti!”
Puluhan kali ayunan berubah menjadi ratusan kali. Bahunya terasa seolah terbakar, otot-otot tangannya berteriak minta istirahat. Tapi Zhao San sama sekali tak peduli. Baginya, tubuh yang lelah adalah bagian dari proses menempa baja.
“Kau ingin menjadi pendekar?” Zhao San mendekat, menatap muridnya dengan sorot tajam. “Kalau begitu, bertarunglah seolah-olah nyawamu di ujung pedang itu! Lawanmu tidak akan menunggumu menarik napas. Mereka akan membunuhmu di saat kau lengah. Jadi, tunjukkan padaku pedang yang bisa melindungimu!”
Zhao Liang meraung, memaksa tubuhnya terus bergerak meski hampir jatuh. Ayunan pedangnya semakin berat, namun justru di tengah penderitaan itulah gerakannya mulai menemukan kekokohan. Bukan anggun seperti Mei Xue, melainkan kuat, penuh tenaga, seolah ingin menghancurkan apa pun yang menghalanginya.
Di kejauhan, beberapa murid yang menonton berbisik. “Lihat itu… Zhao Liang benar-benar ditempa habis-habisan.”
“Ya, tapi siapa yang tahu apakah ia bisa bertahan. Latihan Zhao San bukan main-main.”
Zhao San akhirnya mengangkat tangan, menghentikan latihan. “Cukup untuk hari ini. Ingat, kekuatan sejati lahir dari penderitaan. Jika kau tidak takut sakit, maka pedangmu akan semakin keras.”
Zhao Liang terjatuh berlutut, napasnya memburu, namun di balik rasa sakit itu, ia merasakan sesuatu. Seolah tubuhnya sedang ditempa menjadi lebih kuat.
Hari itu, latihan Mei Xue dan Zhao Liang berakhir dengan hasil yang berbeda. Mei Xue menapaki jalan keanggunan pedang, membangun harmoni dengan jiwa. Zhao Liang, sebaliknya, menempuh jalan keras, menempa tubuhnya menjadi baja.
Mereka sama-sama kelelahan, namun hatinya mantap. Mereka tahu jalan yang ditempuh berbeda, tapi tujuan mereka sama: menjadi pendekar yang kuat.
Namun, di tengah semangat itu, sebuah kabar mulai menyebar di antara para murid.
“Apakah kau dengar? Lin Feng sudah menguasai jurus pertama Tiga Tebasan Langit Biru.”
“Apa? Mustahil! Bukankah jurus itu terkenal sulit?”
“Benar. Bahkan murid berbakat sekalipun biasanya butuh waktu berbulan-bulan untuk memahami bayangannya. Tapi dia… dia berhasil dalam hitungan minggu.”
Desas-desus itu menyebar cepat, bagai api yang menyambar dedaunan kering. Banyak murid yang terkejut, ada yang kagum, ada yang iri, dan ada pula yang tak percaya.
Mei Xue yang mendengarnya hanya terdiam. Di wajahnya ada senyum tipis, seolah ia tak terkejut dengan pencapaian Lin Feng. Dia memang berbeda… sejak awal aku bisa merasakannya, batinnya.
Zhao Liang, di sisi lain, menggertakkan giginya. Perasaan tertinggal semakin kuat, meski ia berusaha menyembunyikannya. Lin Feng… kau benar-benar jauh di depan. Tapi aku tidak akan menyerah.
***
Di sebuah ruang latihan pribadi, Liu Tian duduk sendirian. Kabar tentang Lin Feng sampai ke telinganya lebih cepat daripada siapa pun, dan ia mendengarnya langsung dari mulut seorang murid yang bersemangat menceritakan.
“Lin Feng… menguasai jurus pertama? Hanya dalam beberapa minggu?”
Tangannya mengepal begitu erat hingga buku jarinya memutih. Wajahnya memerah, sorot matanya dipenuhi amarah bercampur ketidakpercayaan.
“Tidak mungkin. Itu jurus yang aku sendiri pelajari berbulan-bulan tanpa hasil sempurna. Bagaimana mungkin dia…”
Ia berdiri, berjalan mondar-mandir, hatinya terbakar. “Jika terus begini, semua perhatian akan tertuju padanya. Semua orang akan melupakan Liu Tian. Tidak… aku tidak akan membiarkannya mengambil apa yang menjadi milikku.”
Namun di balik amarah itu, ada rasa gentar yang tidak ia akui. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa terancam.
“Lin Feng…” gumamnya, matanya menyipit penuh kebencian. “Kau sudah melangkah terlalu jauh. Cepat atau lambat, aku akan menjatuhkanmu. Itu sumpahku.”