Dion hanya ingin menuntaskan misinya di Rumah Hantu Batavia, tapi malam pertamanya di penginapan tua itu berubah menjadi teror yang nyata. Keranda tua terparkir di depan pintu, suara langkah basah menggema di lorong, keran bocor, pintu bergetar, dan bayangan aneh mengintai dari balik celah.
Saat ponselnya akhirnya tersambung, suara pemilik penginapan tidak kunjung menjawab, hanya dengkuran berat dan derit pintu yang menyeret ketakutan lebih dalam. Sebuah pesan misterius muncul, “Hantu-hantu yang terbangun oleh panggilan tengah malam, mereka telah menemukanmu.”
Kini Dion hanya bisa bersembunyi, menggenggam golok dan menahan napas, sementara langkah-langkah menyeramkan mendekat dan suara berat itu memanggil namanya.
”Dion...”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mirip Apartemen Seroja
Menyelesaikan misi dengan tingkat penyelesaian lebih dari sembilan puluh persen, ternyata memberinya hadiah tambahan. Ketika Dion menyadari telah berhasil membuka sebuah item tersembunyi, merasa cukup bersemangat. Tapi kegembiraan itu segera memudar, saat ia membaca deskripsi hadiah tersebut. ’Pemberitahuan Orang Hilang dari Tama? Apakah tablet hitam ini keliru? Ini lebih menyerupai kutukan daripada sebuah hadiah!’
Setelah selesai membaca deskripsi itu, pertanyaan baru muncul dalam pikirannya. ’Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Poin Kebencian? Berdasarkan kata-kata yang tertera, tampaknya hal itu merujuk pada bentuk kuantifikasi kebencian Tama.
Namun bagi manusia yang masih hidup, benda seperti ini jelas tidak memiliki kegunaan. Maka, apakah artinya benda tersebut diperuntukkan bukan bagi individu yang masih hidup?
Dion menoleh ke belakang, seolah ingin memastikan bayangan yang mengikutinya. Ia kemudian menggeleng pelan, berusaha melepaskan pikiran itu dari benaknya.
Mobil polisi tiba di kawasan Kota Tua sekitar pukul tujuh pagi, Dion segera meminta penjaga untuk memberinya kunci cadangan menuju Rumah Hantu. Tubuhnya terasa begitu letih setelah melewati malam yang penuh peristiwa. Setibanya di ruang istirahat staf, ia merasakan seluruh persendiannya seolah retak karena kelelahan.
Ia mengeluarkan ponsel dan mendapati baterainya sudah habis. Tentu saja, siaran langsungnya telah berakhir sejak lama. Dion segera menyambungkan ponsel ke pengisi daya dan menyalakannya kembali.
Aplikasi pedometer menunjukkan bahwa ia telah berlari lebih dari sepuluh ribu langkah sepanjang malam itu. Saat ini, ia berada di posisi teratas dalam daftar pencapaian bersama teman-temannya. Bahkan, Dinda sempat menyukai pencapaian tersebut.
’Sepertinya aku perlu meluangkan waktu untuk berlatih. Selama aku bisa berlari lebih cepat daripada orang lain, segalanya akan baik-baik saja,’ pikirnya.
Dion membuka daftar kontak, mencari nomor Julian. Ia mengirimkan pesan singkat, khawatir panggilan telepon akan membangunkan temannya itu. Namun kurang dari tiga detik setelah pesan terkirim, Julian langsung meneleponnya.
“Ya ampun Mas! Mas masih hidup?” suara Julian terdengar begitu keras hingga membuat kepala Dion terasa berdenyut.
“Apakah kamu berharap aku mati? Tolong bicaralah lebih pelan, kamu bisa saja membangunkan teman sekamarmu.”
“Siapa yang tidur? Kami semua menonton siaran langsung Mas semalam, dan kami sedang menunggu kabar!”
Mendengar itu, hati Dion tersentuh. Ia hendak meminta Julian menyampaikan terima kasih kepada teman-temannya atas dukungan mereka, namun Julian justru berkata, “Setelah siaran langsung terputus, mereka semua yakin Mas sudah mati dan bahkan bertaruh. Terima kasih, berkat Mas aku bisa makan gratis selama sisa minggu ini.”
“Jadi nyawaku hanya seharga beberapa kali makan? Sejujurnya, kamu tidak perlu berbagi kegembiraan ini denganku,” ucap Dion, kehilangan kata-kata menghadapi kejujuran sahabatnya itu.
“Bagaimanapun juga, syukurlah Mas masih hidup! Aku sangat takut bila ternyata Mas berakhir di laboratorium kami. Tahukah Mas, di jurusan kami dosen biasa mengambil gambar korban pada saat kematiannya, agar mahasiswa dapat mempelajari kondisi mayat segar dengan lebih baik…”
“Itu sudah lebih dari cukup,” potong Dion sambil mengusap pelipisnya, merasakan kepalanya berdenyut. “Salah satu alasan utama aku bisa bertahan adalah berkat kamu. Jika ada kesempatan, aku akan mentraktirmu makan.”
Setelah menutup telepon, Dion membuka halaman pribadinya di aplikasi berbagi video, dan terkejut mendapati jumlah pengikutnya bertambah lebih dari tiga ribu orang.
’Bahkan layar hitam pun bisa memberiku pengikut?’ gumamnya dalam hati. Ia membuka kotak masuk dan mendapati ratusan pesan menumpuk, sebagian besar menanyakan hal yang sama. “Pemandu acara, apakah kamu masih hidup?”
Dion hanya bisa menghela napas, ’Orang-orang ini, sepertinya tidak sabar menunggu kematianku.’
Ketika ia menyadari iklan untuk Rumah Hantu masih terpampang, serta akun siaran langsung maupun halaman pribadinya belum diblokir, rasa lega menyelimutinya. Ia meletakkan ponsel di samping, membenamkan wajah ke bantal, lalu meregangkan tubuhnya dengan malas di atas ranjang.
’Sudah saatnya benar-benar beristirahat, aku pantas mendapatkan libur, dan saatnya tidur.’
Setelah melepaskan pakaiannya dan memejamkan mata, Dion segera terlelap.
Matahari terbit, menandai datangnya hari baru. Sinar pagi menembus jendela, menyepuh tepi ranjang dengan cahaya keemasan.
Bang!
Gerbang Rumah Hantu tiba-tiba dibanting terbuka, disusul langkah kaki tergesa-gesa menaiki tangga. Sebuah kunci diputar dengan cepat di lubang pintu, dan ruang istirahat staf didorong terbuka dengan kasar.
Tempat tidur berguncang hebat, seakan terjadi gempa bumi.
Dion terkejut bukan kepalang, hingga refleks melompat dari posisi tidurnya. Sebelum sempat berkata apa-apa, sesuatu melambai-lambai di depan matanya, lalu suara nyaring penuh semangat menembus telinganya.
“Mas, Mas masuk televisi!”
Butuh beberapa detik bagi Dion untuk kembali ke kenyataan, melihat Dinda duduk di samping bantalnya. Aroma segar dari rambut gadis itu menyebar lembut, membuat Dion buru-buru menarik selimut untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang terbuka.
“Tenanglah dulu, ada apa sebenarnya denganku?” tanyanya.
“Ini pertama kalinya aku mengenal seseorang yang muncul di televisi. Meskipun wajah disamarkan, aku masih bisa langsung mengenali bahwa itu Mas.”
“Disamarkan?” Dion mengernyit, masih belum memahami maksud perkataan Dinda.
“Lihat ini, ” Dinda menyerahkan ponselnya. “Aku merekam cuplikan dari internet, saat segmen Berita Pagi Jakarta, ada laporan tambahan.”
Dion menekan tombol putar, layar menampilkan rekaman Apartemen Seroja.
“Keadilan selalu menang! Ada perkembangan terbaru dalam kasus pembakaran yang menewaskan satu keluarga beranggotakan empat orang di Apartemen Griya Sejahtera empat tahun lalu. Berkat bantuan seorang warga yang baik hati, penegak hukum akhirnya berhasil menangkap pelaku sebenarnya dan membawanya untuk mempertanggungjawabkan kejahatannya.”
Setelah itu, tayangan beralih pada wawancara singkat dengan visual Dion yang sedang meninggalkan tempat kejadian bersama seorang petugas polisi. Wajahnya tampak buram oleh sensor piksel, dan sebuah tulisan menjelaskan identitas warga yang membantu penegakan hukum untuk sementara dirahasiakan, karena masih ada buronan yang belum tertangkap, demi melindungi keselamatan saksi.
“Mas, orang itu pasti Mas kan? Pakaiannya sama persis dengan yang Mas kenakan kemarin!” ujar Dinda mantap.
“Bolehkah kamu memberiku waktu untuk berpakaian terlebih dahulu?” Dion hanya menggeleng pelan. Setelah merapikan dirinya, ia segera menceritakan apa yang terjadi di Apartemen Seroja semalam. Namun, ia sengaja tidak mengungkapkan alasan sebenarnya berada di sana. Ia hanya mengatakan bahwa kehadirannya demi mencari inspirasi baru untuk Rumah Hantu.
Mendengar penjelasan itu, raut wajah Dinda berubah. “Mas, aku yakin Mas sangat lelah. Silakan beristirahat, biar aku saja yang menangani para pengunjung.”
Ucapan itu dimaksudkan sebagai bentuk perhatian, Akan tetapi begitu Dion mendengar ada pengunjung, semangatnya justru kembali menyala. “Berapa banyak?”
“Lebih banyak daripada kemarin.”
“Kalau begitu, apa yang kita tunggu? Bantu aku bersiap!”
Dion meminta Dinda menunggunya di pintu masuk, sementara ia sendiri bergegas ke toilet untuk mencuci wajah. Usai itu, ia mengeluarkan tablet hitam dan membuka skenario baru yang terbuka semalam, Pembunuhan Tengah Malam.
Tertulis di layar, Pembunuhan Tengah Malam (Faktor Teriakan, satu Bintang). Skenario ini telah selesai, silakan naik ke lantai tiga untuk melihatnya.
Peringatan: Ruang internal Rumah Hantu penuh, skenario baru tidak dapat dibuka hingga dilakukan perluasan lebih lanjut.
Awalnya Dion mengira harus menyiapkan banyak hal sendiri, tetapi rupanya meremehkan kemampuan tablet hitam itu. ’Kapan sebenarnya skenario ini dibuat?’
Setelah mengenakan sepatu, ia bergegas menuju lantai tiga dan mendorong pintu hingga terbuka, dan dunia di balik pintu itu telah berubah total.
Ruangan yang sebelumnya dipenuhi properti usang dan tidak berguna kini lenyap, berganti dengan sebuah koridor panjang yang dipenuhi aura menyeramkan. Skenario baru itu berukuran sangat besar, ruangannya meluas hingga menutupi lebih dari separuh lantai tiga, bahkan sebagian mengambil alih area dari Pernikahan Hantu di lantai dua dan Malam Mayat Hidup di lantai satu.
’Jadi sekarang Rumah Hantuku memiliki tiga lantai lengkap, lantai satu dan dua menjadi bagian pembuka, sementara lantai tiga menghadirkan pengalaman paling menakutkan.’
Dion berdiri terpaku, ’Mengapa suasananya begitu mirip dengan Apartemen Seroja?’