Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 18
“Bukan urusan kamu,” ucap Zia malas ketika melihat Aksa berdiri di depan pintu sambil melipat tangan.
“Ckk,” sahut Aksa pendek. “Sekarang lo siapin air buat mandi, terus siapin baju gue buat ke mansion Mamih,” perintahnya sambil berjalan pergi tanpa menoleh.
“Iya…” balas Zia lemas, lalu masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian.
...★★...
Zia keluar kamar dengan rambut masih basah, tetesan air menuruni ujung helainya. Ia baru saja selesai mandi, lalu berjalan ke arah lemari untuk mengambil pakaian.
Beberapa menit kemudian, ia sudah rapi dengan outfit manisnya—blouse putih bermotif bunga kecil, rok mini putih, dan cardigan tipis warna pink.
Dengan langkah ringan, Zia menuju kamar Aksa untuk menyiapkan baju kakaknya.
Tok tok tok.
“Masuk,” sahut Aksa dari dalam.
Zia mendorong pintu, mengerutkan dahi. “Kok kamu belum mandi?”.
“Kan lo belum siapin airnya,” jawab Aksa santai.
“Manja banget sih…” gerutu Zia sambil melangkah ke kamar mandi.
“Kan itu tugas lo,” balas Aksa ketus. “Buruan siapin.”
“Ckk… sabar, napa,” jawab Zia malas.
Aksa melirik Zia dari ujung kaki hingga kepala. “Mau ke mana lo pake baju kayak gitu?”.
“Mau main sama Jenny, boleh?” tanya Zia sambil tersenyum.
“Siapa Jenny? Jenny Blackpink maksud lo?”.
“Ish, bukan yang itu!” sahut Zia sambil manyun.
“Udah sana, mandi, aku udah siapin airnya” perintah Zia sambil mendorong Aksa ke kamar mandi.
“ btw Rok lo kependekan. Jelek,” komentar Aksa sebelum menutup pintu.
“Mana ada jelek… cantik gini kok,” gumam Zia sambil berjalan kembali menuju lemari pakaian.
___
Zia sibuk membongkar lemari pakaian Aksa, matanya meneliti setiap lipatan baju. Ia tidak mau Aksa itu ngomel-ngomel lagi karena selera pilihannya dianggap jelek.
Setelah beberapa menit, ia menemukan setelan simpel tapi tetap keren—kaos polo hijau lumut dengan kerah putih, dipadukan celana pendek krem.
Dengan senyum puas, Zia melangkah ke ranjang dan menaruh pakaian itu di atasnya.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka, dan keluarlah Aksa dengan handuk hanya sebatas pinggang, memperlihatkan otot perutnya.
“Ngapain lo ngeliatin gue segitunya? Terpesona, ya?” goda Aksa sambil mengambil baju yang sudah disiapkan.
“Idih, PD amat. Aku liat kamu karena punya mata, bukan karena terpesona,” balas Zia dengan nada malas.
Aksa tidak menanggapi, hanya berjalan santai ke ruang ganti kecil di pojok kamar.
Beberapa menit kemudian, ia keluar lagi dengan rambut masih acak-acakan.
“Pakaian yang lo pilih… oke juga,”
ucapnya sambil mengambil sisir, lalu menyerahkannya ke Zia.
“Sisirin rambut gue.”
“Iya,” jawab Zia pelan sambil mulai merapikan rambut Aksa.
setelah beberapa menit Zia menepuk kedua tangannya dengan pelan sambil tersenyum puas. “Selesai,” ujarnya, seperti baru saja menyelesaikan misi penting.
Aksa yang duduk santai di ujung sofa langsung menoleh. “Ambilin gue kunci mobil sama handphone,” ucapnya datar, tapi nada suaranya jelas bukan permintaan—lebih mirip perintah yang udah biasa dia kasih ke Zia.
Zia menghela napas singkat tapi tetap beranjak. Ia berjalan menuju meja kecil di dekat pintu, tangannya menyapu permukaan meja itu sampai akhirnya menemukan gantungan kunci mobil dan ponsel milik Aksa. Begitu barang itu ada di tangannya, ia melangkah kembali, menyerahkannya tanpa banyak bicara.
Aksa berdiri dari duduknya, membenarkan sedikit pakaiannya yang ia kenakan, lalu berjalan santai menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Zia mengikuti dari belakang sambil memperhatikan gerak-geriknya. Begitu sampai di ruang tamu, pandangan Zia langsung menangkap sosok Azka yang sudah duduk di sofa, bersandar sambil menyilangkan tangan di dada. Wajahnya jelas-jelas masam, seolah kesabarannya udah terkikis habis.
“Bang, lo pasti kesel nunggu gue,” sapa Aksa sambil melangkah mendekati Azka dengan nada bercampur rasa bersalah.
“ itu lo tau,” jawab Azka singkat, matanya menatap Aksa tanpa banyak ekspresi, tapi jelas mengandung protes.
Aksa nyengir kecil, lalu menepuk pundak Azka. “Yuk berangkat sekarang. Gue nggak mau Mamih ngomel gara-gara kita telat.”
Zia yang berdiri di dekat pintu hanya tersenyum, lalu melambaikan tangan. “Dadah, hati-hati di jalan,” ucapnya, suaranya terdengar ceria.
Namun tatapan Azka tiba-tiba berubah saat matanya menelusuri penampilan Zia dari atas ke bawah. Alisnya langsung berkerut, apalagi begitu melihat rok yang Zia pakai terlalu pendek untuk seleranya. Rautnya mengeras, dan nada suaranya terdengar ketus saat bertanya, “Si Zia mau ke mana?”
“Katanya sih main sama temennya,” jawab Aksa sambil membuka pintu mobil, sama sekali tidak sadar perubahan ekspresi di wajah kakaknya itu.
Azka yang masih duduk menajamkan tatapannya. “Cewek? Cowok?” tanyanya, nada suaranya terdengar lebih menginterogasi daripada sekadar penasaran.
“Cewek. Kok Bang Azka kepo banget, sih?” balas Aksa sambil menatapnya heran.
Azka hanya menggeleng pelan. “Nggak papa. Ayo jalan,” ucapnya singkat, tapi pandangannya pada Zia belum benar-benar lepas.
____
Zia melangkah santai menuju kamarnya. Tangannya langsung meraih tas ransel yang tergantung di belakang pintu. Setelah itu, ia menuruni tangga dengan langkah ringan. Tapi baru sampai anak tangga terakhir, pikirannya mendadak terhenti.
Dia ingat betul aturan tidak tertulis di mansion ini: keluar masuk harus izin pada Oma Ririn.
Dengan antusias, Zia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel jadulnya yang sudah penuh goresan, lalu cepat-cepat menekan nomor Oma. Nada sambung hanya terdengar dua kali sebelum suara hangat Oma menjawab. Zia pun langsung meminta izin. Untungnya, Oma mengizinkan—dengan satu syarat: jangan pulang larut malam.
Wajahnya berbinar. Ia sudah memegang gagang pintu besar di ruang tamu, siap membukanya. Tapi langkahnya terhenti ketika suara datar memanggil dari belakang.
“Mau ke mana kamu?” tanya April, salah satu pembantu mansion, dengan tatapan tajam.
“Mau pergi ketemu temen,” jawab Zia singkat, menahan senyum.
April mendengus pelan, lalu melangkah mendekat. “Enak banget ya hidup kamu. Dibiayain nyonya Ririn, dan sekarang kamu bisa bebas ke mana pun, nggak perlu mikirin pekerjaan yang menumpuk,” ucapnya sambil berputar mengelilingi Zia seperti sedang mengamati dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Zia mencoba membela diri. “Tapi kan kalau libur atau ada waktu luang, zia selalu bantu di dapur atau bersihin mansion.”
“Kamu kira itu cukup?” April menatapnya tajam.
Sebelum suasana makin memanas, suara lembut dari arah dapur memecah ketegangan. “April, sudahlah. Biarkan Zia pergi. Lagipula kemarin dia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Sekarang dia hanya ingin bertemu sahabatnya. Kamu jangan melarangnya,” ucap salah satu pembantu yang memang selalu perhatian pada Zia.
April akhirnya mengangkat tangan pasrah. “Baiklah, sana pergi.”
Zia tersenyum lebar. “ terima kasih!” ucapnya sambil melangkah cepat ke luar.
Udara segar langsung menyambutnya. Ia berjalan dengan semangat berjalan kedepan mansion. Namun, belum sempat jauh, salah satu supir menghampirinya.
“Mau saya antar, neng zia?” tanyanya ramah.
Wajah Zia semakin berbinar. “Boleh! Antarin ke taman dekat kota, ya,” jawabnya sambil masuk ke mobil dengan hati senang.