Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Belum sempat suasana benar-benar mencair, tiba-tiba seorang wanita bergaun merah ketat dengan belahan tinggi muncul dari arah bar. Aromanya menusuk, parfum mahal bercampur dengan aura menggoda yang sengaja ia pancarkan. Bibirnya merah menyala, rambut hitam bergelombang menurun ke bahu, dan tatapannya langsung terkunci pada sosok Arkan.
“Arkaaan…” suaranya melengking manja, nyaris menelan seluruh musik yang berdentum.
Semua orang di meja otomatis menoleh.
Wanita itu berjalan dengan penuh percaya diri, pinggulnya bergoyang anggun mengikuti langkah heels tipisnya. Tanpa basa-basi, ia mendekat, lalu langsung duduk di pangkuan Arkan seolah tempat itu memang sudah disiapkan untuknya.
Aruna terperangah. Matanya membesar, jantungnya seketika berdegup tak karuan. Ia refleks menegakkan tubuh, seolah baru saja disambar petir.
“Sudah lama sekali aku tidak melihatmu di tempat ini, hm?” bisik wanita itu genit sambil melingkarkan lengannya di leher Arkan. “Kau ke mana saja, hah?”
Tawa beberapa pria di meja terdengar pecah, sebagian jelas terhibur dengan pemandangan itu. Sementara para wanita lain melirik sinis pada Aruna, seperti sedang menyindir: lihat, itulah tipe wanita yang pantas untuk pria sekelas Arkan.
Aruna menunduk cepat, jemarinya meremas tali tas kecilnya hingga hampir putus. Hatinya perih, seolah ada jarum-jarum yang menusuk berulang kali.
Arkan, di sisi lain, hanya terdiam. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tapi ia tidak langsung mendorong wanita itu.
Wanita bergaun merah itu tersenyum puas, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Arkan. “Kau tidak merindukanku?” bisiknya penuh godaan.
Aruna, yang duduk tepat di samping, bisa mendengar jelas. Dadanya sesak. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan sesuatu yang hampir pecah keluar—entah itu amarah atau air mata.
Namun sebelum ia sempat bangkit dan pergi, suara berat Arkan akhirnya terdengar.
“Turun,” ucapnya datar.
Wanita itu mengedipkan mata manja. “Apa? Kau serius? Arkan… bukankah aku selalu—”
“Turun.” Suara Arkan lebih dingin, kali ini tak bisa dibantah.
Suasana meja seketika mencekam. Semua orang menahan napas, menunggu reaksi wanita itu.
Ia masih mencoba tersenyum, tapi jelas terlihat kalau egonya tergores. Perlahan, ia bangkit dari pangkuan Arkan, meski dengan tatapan penuh tantangan. “Hmph. Kau benar-benar berubah, Arkan. Ternyata ada seseorang yang membuatmu menolak aku.”
Kalimat itu menggantung di udara, membuat Aruna makin menunduk dalam. Wajahnya panas, matanya berair.
Arkan melirik sekilas ke arahnya. Pandangan itu singkat, tapi cukup untuk membuat dada Aruna semakin kacau—ada sesuatu di mata pria itu, semacam pengakuan diam-diam yang tak ia mengerti.
Wanita bergaun merah itu tidak menyerah begitu saja. Setelah berdiri, ia masih berdiri dekat Arkan, jemarinya sengaja menelusuri bahu pria itu dengan gerakan ringan, seakan menantang.
“Ah, aku tahu…” ia tersenyum miring, tatapannya sengaja diarahkan ke Aruna. “…jadi sekarang kau punya mainan baru, ya?”
Beberapa pria di meja terkekeh, sementara wanita-wanita lain semakin jelas menatap Aruna dengan pandangan merendahkan.
Arkan merengut, tatapannya menusuk. “Jangan keterlaluan.”
Wanita itu mendengus kecil, tapi bukannya berhenti, ia malah mendekat lagi. Tangannya dengan berani menaruh segelas wine ke hadapan Arkan, lalu berbisik manja, “Kau masih sama… dingin dan sulit ditaklukkan. Itu justru yang membuatmu menarik.”
Aruna merasakan seluruh darahnya mendidih. Hatinya terasa seperti diperas, ditikam berkali-kali. Tapi ketika ia melihat wanita itu menempel pada Arkan, sementara semua orang menertawakannya dalam hati, membuat dadanya semakin sesak.
Tangannya yang meremas tali tas kecil sudah sampai gemetar. Nafasnya terasa berat, bibirnya kaku menahan isakan.
Arkan, meski wajahnya dingin, tetap dikepung godaan. Wanita itu dengan sengaja mendekat, bahkan sempat mencondongkan tubuhnya, menampakkan lekukan tubuhnya dengan provokatif.
“Arkan… kau tidak bisa menolak aku selamanya,” ucapnya setengah berbisik, setengah menantang.
Aruna tak tahan lagi. Ia meraih tasnya dengan cepat, lalu bangkit dari sofa. Suara kursi bergeser cukup keras membuat beberapa orang menoleh, namun Aruna menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya.
Ia tidak berani menatap siapa pun—terutama Arkan.
Langkahnya cepat, hampir berlari, menyelinap di antara kerumunan menuju pintu keluar. Jantungnya berdegup kencang, matanya mulai buram karena air mata yang menumpuk.
Hanya satu pikiran memenuhi kepalanya: Aku tidak seharusnya ada di sini. Aku tidak pantas.
“Aruna!” suara berat Arkan terdengar jelas ketika gadis itu bangkit dari sofa.
Namun Aruna tidak berhenti. Ia bahkan makin mempercepat langkahnya, seolah tidak ingin mendengar apa pun lagi.
Arkan hendak berdiri, tapi wanita bergaun merah itu segera menahan dadanya dengan kedua tangan, mendorongnya pelan sambil tersenyum genit. “Biarkan saja. Dia hanya sekretaris biasa, Kan. Kau kembali padaku saja…” bisiknya, suaranya manja tapi menusuk. Jemarinya dengan lancang menyusuri dada bidang Arkan, mengelus seolah-olah ia pemilik sah tubuh itu.
Urat di pelipis Arkan menegang. Rahangnya mengeras. Ia mencoba menahan diri, tapi begitu wanita itu semakin menempel, bahkan hampir menunduk ke dadanya, kesabarannya benar-benar habis.
Dengan satu hentakan kuat, Arkan mendorong tubuh wanita itu hingga terhempas ke lantai.
“Aaakh!” pekiknya nyaring, membuat semua orang di meja terperangah.
Beberapa gelas bergetar karena kerasnya dorongan itu. Wanita-wanita lain ternganga, para pria terdiam.
Arkan berdiri tegak, tatapan matanya tajam seperti pisau. “Sentuh aku sekali lagi tanpa izin, aku pastikan kau tidak akan pernah berani muncul di hadapanku lagi.”
Tanpa menoleh lagi, ia segera berlari menyusul Aruna.
Sementara itu, Aruna baru saja melewati pintu bar. Udara malam menyambutnya, dingin menusuk kulit, namun tidak cukup menyejukkan panas di dadanya. Ia baru saja mengusap air mata dengan cepat ketika langkahnya terhenti.
Dua pria asing tiba-tiba menghadang di depannya.
Keduanya bertubuh besar, dengan kemeja hitam ketat dan wajah bengis. Salah satu menegakkan tubuh, senyumnya sinis. “Hei, manis… sendirian ya? Mau kami temani?”
Aruna mundur satu langkah, jantungnya berdegup tak karuan. “Maaf… saya harus pergi,” ucapnya terbata, suaranya bergetar.
Pria kedua menyeringai, langsung meraih pergelangan tangannya kasar. “Jangan buru-buru. Ada kamar kosong di dalam. Kita bisa bersenang-senang sebentar.”
“Lepaskan saya!” Aruna meronta, tapi tenaganya kalah jauh.
Pria pertama ikut mendekat, tangannya terulur ke arah pundak Aruna. “Ah, jangan takut. Kami akan lembut padamu.”
Air mata Aruna kembali jatuh. Ia menoleh panik ke sekeliling, tapi suasana luar bar yang dijaga seolah tertutup dari pandangan orang lain. Nafasnya terengah, tubuhnya gemetar, sementara mereka mulai menyeretnya ke arah sisi gelap bangunan—jalan menuju pintu kamar bar.
“Tidak! Tolong! Lepaskan aku!” teriaknya, suara nyaring penuh ketakutan.
Dan tepat saat salah satu pria hampir menyeretnya ke dalam, sebuah suara keras membelah udara.
“LEPASKAN DIA!”