Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Interogasi
Amara memarkirkan motor di parkiran Mabes Polri. Ia mematikan mesin motornya, lalu menguncinya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengatur ekspresi di wajah.
Begitu Amara memasuki lobi kantor, aura dingin dan formal yang biasa menyambutnya terasa berbeda. Ada ketegangan yang lebih pekat. Ia sempat berpapasan dengan beberapa rekan dari Divisi Reserse, tetapi hanya bertukar sapa singkat, menghindari kontak mata yang terlalu lama.
Belum sempat Amara sampai di ruangannya, seorang ajudan datang mendekat, "segera hadap Komandan di ruangannya."
Amara segera menuju lantai administrasi utama. Ia melewati ruang kerja Raditya yang terbuka. Raditya tidak terlihat, tetapi tas ranselnya ada di kursi.
Amara mengetuk, lalu masuk ke ruangan Komandan Alfian. Ruangan itu bernuansa gelap, dengan jendela besar menghadap ke jalan. Alfian berdiri membelakangi jendela, siluetnya terlihat besar dan menakutkan, seperti figur otoritas yang tak tertembus.
"Duduk, Amara," kata Alfian, suaranya tenang namun memiliki nada tekanan yang tidak menyenangkan, seolah ia sedang berbicara dengan seorang anak yang membuat masalah.
Amara duduk, meletakkan ranselnya di samping kursi. Ia menyilangkan kaki, berusaha menunjukkan postur seorang perwira yang sedang bernegosiasi.
"Saya minta maaf, Komandan," ujar Amara, memulai pembelaan sebelum ditanya. "Beberapa hari ini saya harus fokus pada pengejaran Lucian di luar kota. Ponsel saya rusak di tengah hutan, dan komunikasi terputus. Saya baru bisa kembali hari ini setelah memastikan Lucian tidak meninggalkan jejak lagi."
Alfian berbalik, wajahnya tidak menunjukkan kemarahan yang eksplisit, hanya kekecewaan yang dipelintir, alat manipulasi yang selalu ia gunakan pada Amara. "Aku tahu kau mengalami kesulitan, Amara. Aku tahu kau bekerja keras. Tapi sejak operasi hitam ini dimulai, kau sering menghilang tanpa laporan yang jelas. Itu bukan profesionalisme yang kuinginkan darimu."
Alfian duduk di mejanya, meletakkan kedua tangan di atas permukaan kayu, menatap Amara lekat-lekat.
"Begini," katanya, beralih ke nada bicara yang lebih personal, seolah-olah berbagi rahasia. "Bagaimana perkembangan operasi kita dalam mencari Lucian? Aku yakin kau bisa menangkapnya. Dan lebih penting lagi, bagaimana perkembangan investigasi kita terhadap Bara dan jaringan pengedar narkoba internasional itu?"
Amara memilih kata-katanya dengan hati-hati. Dia harus mengakui kegagalan logistik sambil menutupi bukti sesungguhnya.
"Operasi pencarian Lucian berakhir dead end, Komandan," jawab Amara. "Dia berhasil lolos dari pencarianku dan Haris. Jejaknya hilang. Kami menyimpulkan dia telah bergerak jauh."
Alfian mengangguk perlahan, ekspresinya berubah dingin. "Itu sudah kuduga. Dia selalu selangkah lebih maju. Lalu, soal Bara? Apakah ada hubungannya dengan jaringan perdagangan narkoba yang kita selidiki?"
"Sejauh ini," ujar Amara, "kami hanya menemukan bahwa Lucian punya sedikit masalah dengan Bara. Apapun masalah itu, kedepannya saya akan selidiki dan laporkan kepada komandan."
Amara sengaja menggunakan kata "kami" untuk melindungi Haris secara tersirat, dan melimpahkannya pada kelincahan Lucian.
Alfian menghela napas, bersandar di kursinya. "Baik. Sekarang beralih ke hal lain. Ada masalah baru."
Alfian mencondongkan tubuh ke depan, matanya tajam. "Amara, aku ingin kau segera menyelidiki Raditya."
"Ada apa dengan Raditya, Komandan?" tanya Amara dengan nada profesional, seolah-olah itu adalah kasus biasa.
"Kemarin tim logistik melaporkan penemuan sebuah mobil di daerah pelabuhan lama. Itu adalah mobil Raditya. Amara, kau tahu tempat itu?"
”Tidak, tapi aku tahu mobil Raditya dicuri.” Amara menjawab datar.
"Tempat itu...” Alfian menjeda, nadanya berubah serius dan berbisik, seolah berbagi rahasia sensitif. ”Itu adalah titik bongkar muat untuk pengedaran narkoba internasional yang kita cari. Raditya juga tidak melaporkan aktivitasnya. Aku ingin kau mencari tahu apa yang dia lakukan. Raditya terlalu emosional, Amara. Jangan biarkan emosinya merusak Divisi."
Amara mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menjaga nada suaranya tetap hormat namun penuh keraguan logis. "Maaf, Komandan. Tapi saya perlu klarifikasi prosedur. Pelabuhan itu belum terdaftar secara resmi sebagai TKP dalam laporan operasi kami. Saya hanya mendapatkan informasi ini dari komandan, bahwa tempat itu diduga menjadi titik bongkar muat. Tapi bagaimana komandan mendapatkan konfirmasi real-time tentang aktivitas pengedaran narkoba di sana, tepat pada saat mobil Raditya ditemukan? Bukankah itu berarti kita memiliki sumber yang tidak tercatat dalam arsip?"
Keheningan melanda ruangan. Amara telah melontarkan pertanyaan yang sempurna, sebuah celah logistik yang menunjukkan bahwa Alfian memiliki sumber informasi rahasia yang melampaui data resmi kepolisian, atau...dia sudah terlibat.
Alfian tidak menunjukkan tanda-tanda panik. Dia tersenyum kecil, penuh manipulasi, dan menepis pertanyaan itu dengan otoritasnya.
"Jaringan Intelijen kita bekerja lebih cepat dari yang kau kira, Amara," jawab Alfian, suaranya tenang. "Kita mendapat tip off dari agen di luar negeri, yang mengonfirmasi bahwa daerah itu aktif. Tidak perlu meragukan prosedur, Amara. Itu informasi yang perlu kau ketahui. Aku hanya ingin kau fokus pada Raditya. Aku ingin tahu apakah dia bertemu dengan Lucian, karena ia telah melanggar perintah."
Amara merasakan darahnya mendidih, tetapi ia menelan semua kemarahannya. "Baik, Komandan," jawab Amara, nadanya datar.
Alfian puas. "Bagus. Kau boleh kembali ke mejamu. Dan Amara... jangan menghilang lagi. Aku butuh kau."
Amara berdiri, memberi hormat singkat, dan berbalik meninggalkan ruangan Komandan. Ia kini yakin seratus persen bahwa dirinya sendiri adalah umpan dan Raditya adalah target manipulasi berikutnya.
Amara kembali ke mejanya, mengambil napas dalam-dalam. Ia harus segera mencari waktu untuk menghubungi Haris dan memberi tahu tentang jebakan untuk Raditya.
"Amara!"
Sebuah suara membentaknya dari samping. Raditya berdiri di samping mejanya, wajahnya dipenuhi kemarahan dan kekecewaan. Dia baru saja kembali, jaketnya basah oleh keringat.
"Aku sudah menunggumu dari tadi. Aku butuh penjelasan," desak Raditya, suaranya pelan dan mengancam, agar tidak terdengar oleh rekan lain. "Kau berjanji akan menghubungiku. Kau menghilang, kau mematikan ponselmu, kau membuatku menunggu berjam-jam! Apa yang sebenarnya terjadi padamu?!"
Raditya maju selangkah, mendesak Amara. Matanya menuntut kejujuran, mengingatkannya pada janji penjelasan yang tertunda.
"Tidak ada yang terjadi," potong Amara, suaranya dingin dan terkontrol. "Aku sakit, Radit. Aku tidak bisa datang, dan ponselku rusak. Itu saja. Dan untuk mobilmu... Komandan baru saja memintaku untuk menyelidiki aktivitasmu di pelabuhan itu."
Ekspresi Raditya berubah dari marah menjadi kaget. "Apa? Komandan Alfian? Tapi... bagaimana dia tahu aku ada di pelabuhan itu? Aku hanya pergi ke sana karena.." Raditya menghentikan kalimatnya, matanya membesar karena sadar dia hampir mengungkap rahasia yang tidak boleh didengar.
"Lupakan mobilku. Aku hanya perlu kau jelaskan padaku. Apakah semua ini berhubungan dengan buronan itu? Apakah dia menahanmu makanya kau sempat menghilang? Biar kuhabisi dia kalau macam - macam!"
Amara menatapnya dengan rasa kasihan dan kehati-hatian. Dia tidak bisa melibatkan Raditya ke dalam lingkaran setan ini.
"Aku minta maaf, Radit," kata Amara, memaksakan dirinya untuk terdengar lelah dan penuh beban. "Aku butuh waktu sendirian untuk memproses semuanya. Aku janji, aku akan memberitahumu. Tapi tidak sekarang."
Raditya menatapnya lama, mencoba membaca setiap kerutan di wajah Amara. Akhirnya, Raditya menghela napas, kekecewaan tampak jelas di matanya.
"Baik," kata Raditya, suaranya rendah. "Aku akan memberimu waktu. Tapi Amara, aku akan tetap mencari tahu apa yang terjadi di pelabuhan itu."
”Sebaiknya kau fokus dulu pada anak dan istrimu. Ambillah cuti, bawalah mereka berlibur. Bukankah sejak melahirkan kakak tidak kemana-mana?! Aku akan memberi kabar setiap perkembangan yang terjadi, termasuk masalah di pelabuhan. Dan masalah mobilmu..” Amara menarik nafas, ”Aku akan membelikan yang baru setelah aku gajian dan konsistenlah menjawab bahwa mobilmu dicuri pada siapapun yang bertanya.”
fai selalu bisa diandalkan...
💪💪💪💪
hebat Amara ayo Brantas kejahatan polisi korup....
betapa lihainya memainkan perasaan mu Amara
good job thor
ini bisa jadi sekutu itu Raditya kira2 masuk gak ya
🤣🤣🤣
Raditya kah???
haduhhhh makin penasaran nih
wah dalam bahaya kau Amara.,..
ati ati y
kok bisa ya secerdik itu dia...
.
wah g nyangka sekalinya Amara dilingkungan toxic...
semoga Amara berhenti JD polisi aja deh, gak guna lencanamu kalau hidupmu sudah dikondisikan dgn mereka para penjilat uang haram...
yok yok semanggad thor
💪💪💪💪
🙏🙏🙏🙏