“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.14
Ivana menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Beberapa foto yang menunjukkan Daisy dan Andreas berpelukan sudah terkirim ke nomor Damian. Bukan nomor aslinya, tentu saja. Ia menggunakan nomor lain, menyamarkan identitasnya agar Damian benar-benar percaya bahwa foto itu dikirim oleh “orang baik” yang ingin membuka aib.
Senyum miring terukir di wajahnya. “Akan ku cabut semua kebahagiaanmu, Daisy. Hari itu akan tiba… hari saat Damian meninggalkanmu.”
Ia meraih cangkir kopi di mejanya dan menyeruput pelan. Hatinya terasa hangat, bukan karena minuman itu, melainkan karena bayangan Daisy menangis sendirian.
Tatapannya teralih pada sosok perempuan yang baru saja keluar dari sebuah toko roti, Mia. Mantan Andreas itu berjalan dengan lesu, wajah pucatnya tampak jelas dari kejauhan.
“Ide bagus,” gumam Ivana sambil tersenyum. “Kalau aku bisa membuat Mia bekerja sama denganku, semuanya akan lebih mudah.”
Ia segera berdiri, meninggalkan kursinya di kafe, lalu menghampiri Mia.
“Mia,” panggil Ivana.
Mia terhenti, lalu menoleh ke belakang. Ekspresi lesu di wajahnya mendadak berubah, tergantikan senyum lebar. “Nona!”
“Panggil aku Ivana saja,” ucap Ivana, ramah tapi menyimpan niat lain.
Mia mengangguk cepat, hampir terlalu antusias. Ia lalu mengikuti Ivana masuk kembali ke dalam kafe. Begitu duduk, Ivana menyodorkan menu. “Pesan saja apa pun yang kamu mau. Jangan khawatir soal bayar, aku yang traktir.”
Mia awalnya ragu, ingin menolak, tapi perutnya sudah sejak pagi kosong. Ia hanya sempat membeli lontong dan gorengan seadanya. Hari-hari terakhir ia hidup dengan roti basi dan susu kotak, menyesali kebiasaannya dulu yang suka foya-foya tanpa menabung.
“Baiklah, terima kasih, Ivana.” Suaranya terdengar lega sekaligus malu.
Tanpa pikir panjang, Mia memesan nasi goreng, steak, lemon tea, dan sepotong cheese cake. Pesanan yang cukup besar untuk seseorang yang sudah lama menahan lapar.
Ivana hanya menggeleng kecil melihatnya. Dalam hati, ia sudah menimbang-nimbang bagaimana memanfaatkan kondisi Mia. Seorang mantan kekasih Andreas yang sedang terpuruk jelas adalah pion yang tepat untuk rencananya.
Sambil menunggu makanan datang, mereka berbincang. Ivana menanyakan kehidupan Mia akhir-akhir ini, pura-pura peduli padahal sebenarnya sedang menggali celah.
Mia menghela napas. “Jujur, hidupku berantakan. Setelah putus dari Andreas, aku nggak punya apa-apa. Aku benar-benar nyesel.”
Ivana menyeringai samar. “Kalau begitu, mungkin aku bisa bantu. Aku sedang butuh orang untuk sebuah pekerjaan. Bukan pekerjaan besar, tapi cukup untuk membuatmu bertahan.”
Mia menatap Ivana penuh harap. “Serius, Ivana? Apa pun itu, aku mau. Aku nggak peduli selama aku bisa hidup normal lagi.”
Ivana meraih tangannya dengan tatapan penuh rekayasa. “Bagus. Kalau begitu, kita akan sering bertemu mulai sekarang.”
*****
Sementara itu, di kantor, Damian duduk sendirian di ruangannya. Ponselnya bergetar, pesan masuk dari nomor asing. Alisnya langsung mengernyit begitu melihat isi pesan.
Beberapa foto menampilkan Daisy dan Andreas dalam posisi yang terlihat intim—berpelukan.
Nafas Damian tercekat. Jantungnya berdebar lebih cepat, seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ada rasa panas membakar dadanya, rasa cemburu yang tiba-tiba menyerang.
Namun, ia menggertakkan gigi. “Tidak… Daisy bukan tipe seperti itu. Aku percaya padanya.”
Damian menutup ponsel, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia teringat pesan singkat dari Daisy tadi pagi: “Aku pergi sama Zara, kita mau mampir ke toko perlengkapan bayi.”
Untuk memastikan, ia membuka media sosial. Benar saja, Daisy baru saja mengunggah status bersama Zara, tersenyum di depan rak penuh mainan bayi.
Damian mengembuskan napas lega. “Ya, aku percaya kamu, Daisy. Foto-foto itu pasti ulah seseorang yang ingin merusak kita.”
Meski begitu, hatinya tetap resah. Ia tak bisa sepenuhnya menghapus bayangan foto-foto itu. Siapa pun yang mengirimkan, jelas punya niat jahat.
Damian mengalihkan pikirannya ke pekerjaan. Ia membuka berkas-berkas penting di mejanya. Namun, Ardiansyah, sekretaris sekaligus sahabatnya. Dan memberitahu bahwa mertuanya Niklas pulang lebih dulu, atas perintah Jasmin istrinya.
Rasa cemas lain mulai muncul, bercampur dengan keresahan akibat foto-foto Daisy. Tapi, Damian mulai menggeleng pelan dia percaya pada Daisy. Niklas mungkin belum tahu.
Dan di tempat lain, Ivana tersenyum puas. Bidak pertama sudah ia gerakkan. Mia sudah dalam genggamannya, dan Damian mulai goyah. Tinggal menunggu waktu sebelum benang kusut itu menjerat Daisy semakin dalam.
*
*
Kembali ke Jasmin dan Vio.
Vio kini terlelap di stroller-nya. Jasmin menatap cucunya dengan senyum tipis, mungkin sejak tadi bayi mungil itu bosan berada di dalam dan ingin merasakan udara luar.
Suara langkah sepatu menggema di rumah megah tersebut. Jasmin langsung tersenyum begitu melihat Niklas datang sambil membawa bungkusan berisi pesanannya: rujak buah dan beberapa makanan ringan.
“Sayang, gimana keadaanmu sekarang?” tanya Niklas lembut.
“Baik. Keadaanku langsung membaik setelah kamu datang, Mas.” Jasmin terkekeh kecil sambil membuka bungkusan rujak. Bumbu pedas yang terpisah membuatnya semakin bersemangat menuang ke potongan buah. Tidak banyak jenis yang dia pilih—hanya bengkuang, jambu air, dan pepaya, favoritnya sejak dulu.
“Jangan kebanyakan pedasnya,” tegur Niklas setengah khawatir.
“Ya ampun, Mas. Kalau nggak pedas, rasanya nggak nampol.” Jasmin memprotes dengan tatapan kesal, seakan nikmatnya rujak itu ada pada level kepedasan.
Niklas hanya menggeleng pasrah. Ia lalu meminta Bi Mina membuatkan kopi dingin untuknya dan teh hangat untuk sang istri. Pandangannya beralih ke Vio yang terlelap damai. Wajah mungil itu mengingatkannya pada Daisy kecil—senyum yang sama, tatapan polos yang sama. Tanpa sadar, kerinduan pada Daisy kecil dan kakaknya, Rigel, yang sudah tiada menyelusup ke dadanya.
*
*
*
Sementara itu, Ivana menatap Mia yang sibuk mengelus perutnya karena terlalu kenyang. Sambil menggeleng kecil, Ivana akhirnya membuka pembicaraan serius.
“Baiklah, sekarang kita bicara.”
“Oke.” Mia segera duduk lebih tegak, menatap Ivana penuh rasa penasaran.
“Aku akan memberimu pekerjaan. Sebagai pengasuh bayi.” Ucap Ivana, membuat Mia terdiam sesaat.
“Bayi?” ulang Mia ragu.
“Iya. Anak Daisy dan Damian. Kamu pasti tahu siapa Daisy, kan?”
Mata Mia langsung berkilat. “Tahu. Mantannya Andreas. Gara-gara dia, hubunganku dengan Andreas berantakan.” Nada suaranya penuh geram. Ivana tersenyum miring, puas melihat bara kebencian di sorot mata Mia.
“Aku bisa membantumu masuk ke rumah keluarga Wishnutama. Kamu akan jadi pengasuh bayi itu.”
“Tapi... aku nggak punya pengalaman ngurus bayi.”
“Tenang saja. Aku akan memasukkan kamu ke yayasan pelatihan. Beberapa bulan cukup untuk membekali kamu. Setelah itu, kamu bisa bekerja di kediaman Wishnutama.”
Mia menelan ludah. Pilihannya terbatas. “Baiklah... kalau begitu.”
Dalam hati, tekad Mia mengeras. Mengurus anak Daisy sekaligus menjadi jalan balas dendam—itu lebih baik daripada terus jadi pengangguran. Senyum miring Ivana dan Mia saling berhadapan, keduanya larut dalam pikiran penuh rencana.
*****
Di tempat berbeda, Daisy baru saja pulang membawa berbagai makanan dan jajanan untuk Jasmin. Namun, menurut Bi Mina, ibunya sedang beristirahat di kamar bersama Vio dan Niklas.
“Daddy? Tumben pulang cepat,” celetuk Daisy.
“Nyonya yang minta, Non. Katanya nggak enak badan,” jawab Bi Mina sambil menyerahkan minuman dingin pesanan Daisy.
“Makasih, Bi.”
“Sama-sama, Non.” Bi Mina kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Daisy menyesap minumannya pelan, lalu melirik ke arah tangga ketika Niklas turun dengan pakaian santai.
“Daddy, kok udah pulang sih? Kalau Daddy pulang cepat, Damian jadi harus pulang lebih malam.” Protes Daisy sambil manyun.
“Mommy-mu yang minta. Katanya dia nggak enak badan, terus Vio rewel. Nggak mau sama siapa pun, makanya Daddy pulang. Kamu sendiri bukannya pulang cepat, ini malah hampir jam tiga.” Niklas melirik jam dinding dengan nada sebal.
Daisy terkekeh lalu spontan memeluk sang ayah. “Dad!”
“Ya, sayang?”
“Aku kangen banget sama Daddy. Dulu kita sering me time berdua. Sekarang setelah aku menikah, jarang banget.” Mata Daisy berbinar, penuh kerinduan.
Niklas tersenyum. Ternyata perasaan yang sama juga sempat dia pikirkan hari ini. “Daddy juga kangen. Tapi kamu sudah jadi istri Damian. Daddy nggak bisa sembarangan ngajak kamu jalan.”
“Kalau begitu, kapan-kapan kita jalan lagi ya. Aku rindu naik bianglala.”
Niklas terkekeh lalu mengangguk, senang melihat semangat anaknya. Binar ceria itu lebih menenangkan daripada saat Daisy masih terjebak dalam hubungan toksik dengan Andreas.
Tiba-tiba, tangis Vio terdengar dari lantai atas. Daisy langsung berlari kecil.
“Hati-hati, jangan lari nanti jatuh,” tegur Niklas.
“Maaf, Dad,” Daisy terkekeh lalu mempercepat langkahnya.
Niklas hanya menggeleng, kemudian melirik meja penuh jajanan pedas yang dibawa Daisy. Ia mendesah panjang. “Daisy, Daisy... kamu lagi menyusui. Makananmu ini nggak sehat semua.” Niklas menggeleng, mulai mengeluarkan jajanan satu per satu.
Tanpa dia sadari, semua itu adalah pesanan Jasmin.
Bersambung ....
Komen guysss!!!!