Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Dokter menatap keduanya sekilas, lalu berkata, “Untuk sekarang, Nona Elanor hanya kelelahan. Kondisinya stabil, tidak ada luka fisik berarti. Tapi… ada hal lain yang sebaiknya kita bicarakan lebih serius. Mari ikut saya ke ruang dokter.”
Daniel dan Dominic saling melirik, sorot mata mereka masih penuh bara, tapi kabar soal adik mereka membuat keduanya terpaksa menahan diri. Dengan langkah berat, keduanya mengikuti dokter menuju ruangan di lantai dua.
Begitu pintu ruangan tertutup, dokter duduk dan membuka map. Suaranya kali ini lebih pelan namun sarat ketegasan.
“Selain kelelahan, saya menemukan tanda-tanda kalau Nona Elanor sedang mengalami tekanan psikologis cukup berat. Dia mungkin menyimpan beban emosional sendiri, tanpa ada yang tahu.”
Daniel menegang di kursinya. “Apa maksud Anda?!” suaranya meninggi.
Dominic langsung menyambar, nadanya sinis. “Tuh, denger sendiri kan? Lo sibuk kerja terus sampai nggak tau adik kita udah kayak gini!”
Dokter mengangkat tangan, mencoba menenangkan. “Saya hanya menyarankan keluarga lebih memberi perhatian pada sisi emosional Nona Elanor. Dia butuh didengar, bukan sekadar dijaga.”
Namun kata-kata itu justru membuat suasana semakin panas mata Daniel dan Dominic kembali saling menyalakan api.
Daniel mengangkat kepalanya perlahan, menatap lurus ke Dominic dengan sorot mata tajam penuh amarah.
“Kau tidak tahu apa-apa tentang tanggung jawab, Dom,” ucapnya dengan suara rendah namun berat, seakan tiap kata menekan udara di ruangan itu. “Aku yang memastikan rumah ini tetap berdiri. Aku yang menjaga agar keluarga ini tidak hancur.”
Dominic langsung mendengus, lalu mencondongkan tubuh ke depan, sikunya menghantam meja kayu dokter dengan keras. “Dan karena lo sibuk jaga rumah, Ela harus jatuh sendirian di jalanan?! Lo pernah mikirin gimana rasanya dia sendirian, ketakutan, dikejar-kejar, hah?!”
Dokter yang duduk di hadapan mereka terlihat gelisah, mencoba menenangkan, tapi kedua kakak itu sudah saling menatap tajam, seperti api dan bara yang siap menyala.
Daniel tiba-tiba berdiri, kursinya bergeser dengan suara berderit keras. “Jangan ajari aku cara menjaga keluarga, Dom!” suaranya meninggi, tangannya terarah ke dada Dominic.
Dominic ikut bangkit dengan cepat, kursinya nyaris terjungkal. “Kalau lo bener jaga keluarga, Ela nggak akan kabur dari rumah!”
Dan tanpa aba-aba, Bugh! sebuah pukulan melayang dari Daniel, menghantam rahang Dominic dengan keras. Dominic terhuyung ke samping, darah mendidih, matanya membelalak.
“Bajingan lo, Dan!” Dominic menggeram, siap membalas, tangannya sudah terkepal.
Namun tepat saat itu
Tok… Tok…
Suara ketukan pintu membuat semuanya terhenti.
Ketiganya menoleh bersamaan. Pintu terbuka perlahan, seorang perawat masuk dengan wajah hati-hati, seolah bisa merasakan panasnya ruangan itu. “Maaf, Tuan… saya hanya ingin menyampaikan… Nona Elanor sudah dipindahkan ke kamar rawat. Jika Tuan-tuan ingin melihatnya, bisa sekarang.”
Ruangan mendadak hening.
Daniel menarik napas panjang, matanya masih tajam menatap Dominic. Dominic mengepalkan tangannya kuat-kuat, tapi ia mengalihkan pandang ke samping, berusaha menahan emosinya.
Dokter hanya bisa menghela napas lega, sementara perawat menunduk sopan, menunggu mereka keluar.
Ketegangan masih terasa tebal, seakan pukulan barusan belum selesai. Tapi untuk sementara, nama Elanor menahan mereka dari ledakan berikutnya.
Koridor rumah sakit terasa sunyi, hanya suara langkah kaki Daniel dan Dominic yang bergema, masih tersisa sisa amarah dari ruang dokter tadi. Keduanya berjalan cepat, sama-sama ingin lebih dulu sampai ke kamar adiknya.
Pintu kamar rawat didorong perlahan—dan pandangan mereka langsung tertuju pada sosok di dalam.
Seorang pria muda duduk di samping ranjang Elanor, tubuhnya sedikit membungkuk, satu tangannya menggenggam tangan Elanor erat-erat. Wajahnya menunduk penuh cemas, seakan dunia di sekitarnya tak ada artinya selain gadis yang terbaring di depannya.
Daniel dan Dominic saling melirik, alis mereka langsung mengernyit curiga. Tanpa banyak bicara, mereka berdua serempak melangkah cepat, menarik kerah baju pria itu hingga tubuhnya terangkat dari kursi.
“Siapa kau?!” suara Daniel meledak.
Dominic menahan erat bajunya dengan tatapan tajam, nyaris menggeram. “Berani-beraninya lo sentuh adik gue…”
Pria itu mendongak. Wajahnya muncul jelas di bawah lampu putih rumah sakit. Kedua kembar itu sontak membeku sesaat. Wajah itu bukan asing.
Mereka pernah melihatnya, pernah mengenalnya.
“Rafael…?” Daniel hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Ya, Rafael. Anak dari Pak Yanto dan Bu Fitri. Anak yang dulu sering berlarian bersama Elanor di halaman kediaman Cromwel.
Tapi kali ini, Rafael tidak lagi menampilkan senyum hangat khas bocah masa kecil itu. Sorot matanya kini tajam, dewasa, penuh keyakinan. Dengan tenang, meski kerah bajunya masih tergenggam, ia menatap lurus ke mata mereka berdua.
“Lepaskan,” ucapnya pelan namun tegas. “Aku di sini… bukan untuk melawan kalian. Aku di sini untuk Ela.”
Kedua kembar itu saling bertukar pandang, ketegangan di udara makin menebal, seakan pertarungan berikutnya tinggal menunggu satu detik lagi untuk meledak.
Dominic mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Lo pikir lo siapa? Seenaknya aja duduk di sini, megangin tangan Ela kayak lo yang punya.” Suaranya rendah tapi bergetar menahan amarah.
Daniel tidak kalah dingin. Matanya menajam, penuh kecurigaan. “Kau seharusnya tahu tempatmu, Rafael. Ini keluarga kami, dan kau bukan bagian dari itu.”
Rafael tetap tidak bergeming. Ia merapikan kerah bajunya sendiri setelah dilepaskan paksa. Tatapannya tak lari sedikit pun. “Aku memang bukan darah kalian. Tapi aku tumbuh di rumah yang sama. Aku tahu siapa Ela lebih dari siapapun di ruangan ini.”
Kalimat itu seperti pisau yang menusuk. Daniel mendengus keras, melangkah mendekat hingga wajahnya hanya sejengkal dari Rafael.
“Kau berani mengklaim itu? Kau bahkan tidak ada ketika Ela butuh perlindungan hari ini!”
Rafael menahan napasnya sejenak, matanya berkilat. “Kalau aku ada, aku tidak akan membiarkan dia sampai di ranjang ini.”
Dominic tak tahan lagi. Dia menghantam meja kecil di samping ranjang hingga botol obat jatuh berderak. “Jangan kurang ajar Rafael! Jangan sok suci di depan gue! Lo tau apa soal kita jagain Ela? Lo tau apa soal tiap malam kita keliling kota cari dia?!”
Suara pecahan kecil itu membuat Elanor yang masih setengah sadar di ranjang menggeliat resah. Nafasnya terdengar berat, membuat seluruh ketegangan terasa makin menusuk.
Rafael menoleh sebentar pada Ela, ekspresinya melembut, lalu kembali menatap kedua kakak kembar itu dengan wajah serius.
“Justru karena itu aku di sini. Ela butuh tenang… bukan terjebak dalam amarah kalian berdua.”
Daniel mengepal tangannya, hampir melayangkan pukulan lagi, tapi dokter tiba-tiba masuk, mendorong pintu dengan panik.
“Mohon jangan ribut di sini! Pasien bisa terganggu!”
Ketiganya saling menatap, ketegangan masih menggantung di udara.
Kelopak mata Elanor perlahan terbuka, redup cahaya lampu rumah sakit menyambut pandangannya. Bibir pucatnya bergetar, dan hanya satu kata yang keluar pelan, hampir seperti bisikan:
“Ayah…”
Seketika, Dominic, Daniel, dan Rafael yang tadinya saling menahan ego langsung panik dan menghampiri sisi ranjang.
“Ela, kamu sadar?!” Daniel setengah membungkuk, suaranya tercekat.
“Lo nggak apa-apa, Ela?! Gue hampir gila nyari lo seharian!” Dominic menambahkan dengan wajah panik, bahkan lebih kasar dari biasanya.
Namun Elanor tak menatap mereka. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar, bahkan Daniel memaksa, “Kau dari mana saja seharian ini, Ela?! Kau tahu betapa kacau semuanya karena—”
Elanor memalingkan wajahnya, tak menjawab sedikit pun. Pandangannya justru beralih melewati bahu kedua kakaknya, ke sosok Rafael yang berdiri diam di belakang. Senyum lega mengembang di wajah Rafael, sederhana tapi menenangkan.
Dominic sempat mengikuti arah pandang itu, dan darahnya mendidih. Ia mencondongkan tubuh ke adiknya. “Jawab gue, Ela. Dari mana lo seharian ini?” Nada dinginnya menusuk udara.
Elanor menarik napas panjang, lalu suaranya pecah tapi tegas, “Keluar… semuanya keluar.”
“Ela—” Daniel mencoba menolak, tapi tatapan adiknya terlalu berat untuk dilawan.
“Lo nggak bisa—” Dominic juga menahan, tapi sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, suara Elanor pecah, lebih keras:
“TINGGALKAN AKU SENDIRI!”
Keduanya terdiam, terbelalak, tak percaya dengan bentakan itu. Seumur hidup, Elanor tak pernah berani membentak mereka.
Daniel berusaha menahan diri, masih berdiri di tempatnya. Tapi kemudian, hanya satu kata keluar dari mulut adiknya, lirih, penuh permohonan:
“Please…”
Kata sederhana itu menghancurkan pertahanan mereka. Daniel menutup mata, menahan gejolak emosinya. Dominic mengepalkan tangan, rahangnya mengeras, tapi akhirnya mundur.
Rafael pun melangkah keluar tanpa sepatah kata, hanya sekali lagi menatap Elanor dengan tatapan yang penuh makna.
Pintu ruang rawat tertutup perlahan. Sunyi.
Di dalam, Elanor terdiam, menatap kosong ke arah jendela. Di luar sana, langit malam terbentang, bertabur bintang. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi bibirnya terkatup rapat. Dalam kesunyian itu, hanya suara detak jarum jam rumah sakit yang terdengar, mengiringi hatinya yang terasa hampa.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭