“Oke. Tapi, there's no love and no *3*. Kalau kamu yes, saya juga yes dan serius menjalani pernikahan ini,” tawar Linda, yang sontak membuat Adam menyeringai.
“There’s no love? Oke. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Karena saya juga tidak mungkin bisa jatuh cinta padamu secepat itu. Tapi, no *3*? Saya sangat tidak setuju. Karena saya butuh itu,” papar Adam. “Kita butuh itu untuk mempunyai bayi,” imbuhnya.
***
Suatu hari Linda pulang ke Yogyakarta untuk menghadiri pernikahan sepupunya, Rere. Namun, kehadirannya itu justru membawa polemik bagi dirinya sendiri.
Rere yang tiba-tiba mengaku tengah hamil dari benih laki-laki lain membuat pernikahan berlandaskan perjodohan itu kacau.
Pihak laki-laki yang tidak ingin menanggung malu akhirnya memaksa untuk tetap melanjutkan pernikahan. Dan, Linda lah yang terpilih menjadi pengganti Rere. Dia menjadi istri pengganti bagi pria itu. Pria yang memiliki sorot mata tajam dan dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tianse Prln, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Yang Penuh Kejutan
Sore itu, langit Jakarta mulai berwarna jingga, memantul di kaca-kaca gedung tinggi Admaja Group cabang industri Admaja Food. Di lantai 12, Jesika melangkah menuju ruang HRD dengan langkah percaya diri.
Email dari divisi HRD yang masuk satu jam lalu membuatnya penasaran, tapi dia tidak khawatir. Lagi pula, dia cukup dekat dengan Pak Rudi—kepala HRD yang selama ini selalu ramah dan, menurutnya, cukup terpesona dengan pesonanya.
Jesika sudah menyiapkan senyum terbaiknya. Dress biru tua yang ia kenakan sejak pagi masih tampak rapi, dan parfum mahalnya masih bertahan di udara. Dia mengetuk pintu ruangan HRD, lalu masuk tanpa menunggu jawaban dari si pemilik ruangan tersebut.
“Pak Rudi,” sapanya, dengan nada manis.
Namun langkahnya mendadak terhenti.
Di balik meja kerja kepala HRD, bukan Pak Rudi yang duduk di sana. Melainkan seorang wanita paruh baya, berambut pendek rapi, wajahnya menunjukkan wibawa dan ketegasan yang begitu jelas. Dia mengenakan blus krem dan kacamata tipis. Tatapannya tenang, tapi serius.
Jesika mengerutkan kening. “Maaf, Bu... bukankah ini ruangan Pak Rudi?”
Wanita itu tersenyum sopan. “Pak Rudi sudah dimutasi ke cabang Surabaya sejak dua hari lalu. Saya Gina, kepala HRD yang baru.”
Jesika terdiam sejenak, mencoba mencerna ulang kalimat yang dilontarkan oleh wanita paruh baya itu.
“Pak Rudi dimutasi?”
Wanita paruh baya itu mengangguk. “Memang belum diumumkan secara luas. Tapi beliau sudah resmi di mutasi sejak dua hari lalu,” jawabnya sambil membuka map di depannya. “Silakan duduk, Jesika,” ujarnya kemudian.
Jesika pun duduk, masih dengan senyum yang mulai terasa kaku. “Jadi... saya dipanggil karena apa, Bu?”
Bu Gina menatapnya langsung, tanpa basa-basi beliau berkata, “Terkait kontrak kerjamu. Bulan ini kontrak kerjamu berakhir, benar?”
“Ya... benar.” Jesika menjawab dengan perasaan cemas.
“Kami sudah menerima keputusan dari pusat. Kontrakmu tidak akan diperpanjang.”
Jesika membeku. “Maaf... maksud Ibu?”
“Mulai besok, kamu sudah bukan lagi karyawan Admaja Group.”
Seketika ruangan itu terasa sunyi. Bahkan suara AC pun seperti menghilang.
Jesika menatap Bu Gina, mencoba berharap bahwa ini hanya kesalahan administratif. “Tapi... saya belum pernah dapat evaluasi buruk, Bu. Bahkan belum lama ini saya berhasil menyelesaikan proyek kampanye bulan lalu.”
Bu Gina mengangguk. “Betul. Tapi keputusan ini bukan berdasarkan performa semata. Ada pertimbangan lain dari pusat, termasuk arah restrukturisasi tim kreatif dan pemasaran. Beberapa posisi saat ini sedang dipangkas, dan sayangnya, nama kamu termasuk di dalamnya. Maaf kalau kabar ini membuat kamu kecewa. Saya hanya menyampaikan apa yang sudah diputuskan oleh pusat.”
Jesika menelan ludah. “Apa saya tidak diberi kesempatan untuk meminta peninjauan ulang?”
“Keputusan sudah final. Ini surat keputusan pemutusan kontrak kerja dan paling lambat malam nanti kamu akan menerima surat resmi elektronik di emailmu dan hak-hakmu sesuai kontrak. Dan mulai besok, kamu tidak perlu datang lagi ke kantor.”
Jesika terdiam. Matanya tampak menatap map di meja, tapi pikirannya melayang tak di tempat.
Kenapa? Pikirnya. Kenapa tiba-tiba kontrak kerjanya tidak dilanjutkan?
Jesika berdiri pelan, mencoba menjaga wibawa dan rasa percaya dirinya. “Baik, Bu. Terima kasih atas informasinya.”
Bu Gina mengangguk. “Semoga sukses di perusahaan lain, Jesika.”
Jesika tersenyum singkat, lalu melangkah keluar, langkahnya tak lagi seanggun tadi. Di lorong, beberapa staf melintas, masih membicarakan undangan misterius pagi tadi. Jesika menghela napas, hari ini kenyataan benar-benar menamparnya tanpa peringatan.
Dia bukan siapa-siapa di Admaja Group.
Dan bahkan mulai besok, dia bukan lagi karyawan di sana.
***
Linda membuka pintu rumah dengan senyum lelah setelah seharian bekerja. Aroma masakan yang familiar langsung menyambutnya.
Tapi mendadak langkahnya terhenti sejenak di ambang pintu. Ia mendengar suara tawa dari ruang tamu—suara yang sudah lama tidak ia dengar secara langsung.
Tak lama kemudian Adam datang, menyambutnya dengan tatapan penuh kehangatan.
“Mama sama papa dateng tadi sore. Mereka mau makan malam bareng,” katanya pelan, seolah memberi Linda waktu untuk bersiap secara mental.
Linda mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk.
Di ruang tamu, Mama Ratna duduk anggun dengan blus batik biru muda, sementara Pak Tristan tampak santai dengan kemeja lengan pendek dan senyum ramah yang tak berubah sejak terakhir kali mereka bertemu.
“Hai, Lin. Apa kabar? Udah lama kita enggak ketemu ya,” sapa Mama Ratna, suaranya hangat namun tetap menyimpan nada canggung. “Akhirnya kita bisa kumpul lagi.”
Linda tersenyum, mencoba menyeimbangkan antara sopan santun dan perasaan gugup yang masih tersisa.
“Kabarku baik, Ma. Mama sama Papa gimana kabarnya?”
“Kabar mama sama papa sudah pasti baik. Tapi makin baik kalau mama sama papa denger kabar kamu hamil,” cakap Mama Ratna. “Gimana, apa udah ada kabar baik?” tanyanya kemudian.
Adam berdehem cukup keras, dia menatap ibunya dengan serius, seolah memberitahu bahwa tidak seharusnya sang ibu menanyakan hal itu pada Linda, karena mungkin saja pertanyaan itu bisa membuat Linda merasa tidak nyaman.
“Duh, maaf ya, Lin. Mama enggak bermaksud desak kamu buat cepet-cepet hamil kok,” ujarnya kemudian.
“Enggak pa-pa, Ma. Doain aja semoga kabar baik itu secepetnya dateng,” kata Linda.
Pak Tristan tertawa kecil. “Artinya kalian sudah mulai proses ya?”
Adam memalingkan muka saat sang ayah menggodanya.
"Udah jangan digodain gitu, Pa. Papa kayak enggak pernah muda aja. Lagian bagus dong kalau mereka udah proses, semoga aja calon bayi secepetnya jadi ya," sahut Mama Ratna, ikut tertawa kecil bersama Pak Tristan.
Malam itu, makan malam berlangsung dengan percakapan ringan, sesekali diiringi canda tawa yang penuh kehangatan.
Linda tersenyum menatap sekitar, dia tidak menyangka dirinya yang awalnya bukan siapa-siapa bisa masuk dalam lingkup keluarga ini. Linda bisa merasakan kehangatan dan kasih sayang dari orang tua Adam, apalagi Adam yang kini mulai menumpahkan semua rasa sayang padanya.
Jika saja saat itu Rere tidak melakukan hal bodoh, apakah Linda bisa menikah dan merasakan cinta yang hangat dari pria seperti Adam?
lanjutkan begitu... biar dia sakit jantung klo tau siapa kamu sebenar nya