_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali
Udara di dalam kamar itu seperti berhenti bergerak. Suara mesin pernapasan yang semula berirama teratur kini terdengar terlalu jelas, seperti palu yang memukul-mukul gendang telinga Demian.
Ia menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Napasnya masih bergemuruh, padahal ia tak bergerak sedikitpun. Dalam kondisi duduk, ia seperti sedang berlari beratus-ratus kilometer.
Demian yang masih memejamkan mata mendapat tatapan lekat dari Mama Alsid. Sungguh, semua yang ia saksikan tadi terasa betulan, tapi bagaimana ia menjelaskan kondisi yang seolah tak terjadi apa-apa??
Demian menarik napas lalu menghela perlahan. Usai memejamkan mata, Demian membukanya. Tapi begitu kelopak matanya kembali terbuka, ia tercekat.
Satu.
Satu butir pil berwarna putih pucat tergeletak di atas lantai, tepat di dekat kakinya. Sebutir pil yang harusnya berada di dalam botol malah berada di sana.
Demian menelan ludah. Tadi, ketika lilitan gaib itu mencengkeram tubuh Mama Alsid, ia melihat puluhan pil beterbangan, berhamburan di udara, lalu lenyap begitu saja saat cahaya lampu kembali menyala. Semua kembali rapi, seolah kejadian itu tak pernah ada. Harusnya… harusnya tak ada yang tersisa.
Tapi kenyataannya, ada.
Butir pil itu nyata. Terlihat begitu biasa, tapi justru terlalu nyata untuk diabaikan.
"Jadi… apa yang kulihat tadi bukan sepenuhnya mata batin?" bisik batinnya. “Atau… justru ini bukti kalau semua benar-benar terjadi?”
Napas Demian memburu. Ia mendongak perlahan.
Mama Alsid masih di sana. Rambut hitam panjangnya menempel pada pipi yang pucat, wajahnya tampak kelelahan, namun senyum samar tersungging di bibirnya. Bukan senyum tulus seorang ibu yang lega karena mendengar kabar anaknya, melainkan senyum penuh rahasia—senyum yang seakan tahu semua pertanyaan di kepala Demian.
Tatapan mereka bertemu.
Demian ingin bertanya. Ingin menuntut penjelasan. Tapi lidahnya kelu, seolah ada yang menahan suaranya keluar.
Mama Alsid hanya berkata lirih, hampir seperti bisikan, “Kamu harus kembali, Demian. Ingat… lakukan semua ini diam-diam. Jangan sampai Kirana tahu. Bukankah kamu datang kesini tanpa sepengetahuan dirinya?”
Suara itu menembus telinga, meresap ke tulang, membuat bulu kuduk Demian meremang. Ia tahu kalimat itu bisa bermakna banyak. Tapi entah kenapa, ia merasakannya lebih sebagai sebuah peringatan… bahkan ancaman.
Demian mengangguk pelan, meski pikirannya semakin kalut.
Tak lama, bibi yang menemaninya sejak awal masuk rumah itu kembali muncul di pintu. Wajahnya tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal ia tahu pasti, bibi tadi berteriak ketakutan, bahkan pingsan di dalam penglihatan anehnya itu.
“Ayo, Nak. Mari saya tunjukkan ruangan lain. Ada banyak hal menarik di rumah ini, dan kalau nona Kirana menemukan kita disini, saya bisa mendapat masalah besar.” ujar si bibi.
Demian menoleh sekilas ke arah Mama Alsid. Perempuan itu hanya menatapnya, tersenyum samar, lalu menutup mata. Senyuman terakhir yang justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Dengan enggan, Demian berdiri dan mengikuti bibi keluar kamar. Mereka berjalan menyusuri lorong panjang yang sepi. Langkah-langkah kaki mereka teredam karpet tebal, tapi Demian merasa setiap langkahnya justru berat, seolah meninggalkan sesuatu yang belum selesai.
Di pertengahan jalan, mereka melewati area kolam renang indoor. Airnya jernih, berkilau diterpa cahaya lampu gantung kristal di atasnya. Hening. Terlalu hening.
Dan di sanalah ia melihat seseorang berdiri di sisi kolam.
Kirana.
Perempuan itu menoleh, lalu tersenyum. Senyuman yang rapi, terkendali, nyaris sempurna.
“Demian?” sapanya lembut. “Gimana? Kamu udah berkeliling rumah dan melihat-lihat kayak yang udah kamu impi-impikan itu?"
Demian tertegun sejenak, tapi buru-buru mengangguk. “Ah… iya, tadi Bibi mengajakku berkeliling. Bagus banget... rumah ini kayak istana di dongeng-dongeng ya."
Kirana melangkah mendekat, langkahnya ringan tapi mata itu menatap Demian dengan terlalu tajam. Ada sesuatu di balik tatapan itu, sesuatu yang membuat Demian ingin menunduk.
Kirana tersenyum, dan senyumnya itu... membuat hati Demian bergetar sedikit. Apalagi ketika mata mereka saling bertemu. Demian menggelengkan kepalanya, seolah berusaha menyadarkan diri dari sesuatu aneh yang berusaha merusak otaknya.
“Kamu masih mau keliling lagi? Apa aku aja yang nemenin?" tawarnya.
Demian menggelengkan kepalanya. "Kayaknya udah deh. Aku harus balik. Kalau kelamaan pergi, nanti Alsid curiga dan banyak tanya. Aku kan gak pernah pergi jauh dari rumah."
"Mari, aku antar pulang.” kata Kirana tiba-tiba.
Demian menelan ludah. Ingatannya kembali pada perjanjian mereka—bahwa Kirana hanya akan menemaninya sampai gerbang, tidak lebih. Tidak boleh ada yang curiga, terutama tidak boleh ada Alsid yang tahu.
"Oke, boleh." sahut Demian. Ia yakin Kirana pasti mengingat perjanjian mereka itu.
Mereka keluar rumah bersama. Mobil mewah itu kembali mengantar Demian, dan perjalanan berlangsung riang. Sebenarnya Demian terlalu banyak mendapat kejutan, hingga perasaannya campur aduk.
Ia lebih senang diam sepanjang perjalanan ketimbang harus berbicara atau berpura-pura tertawa bersama Kirana. Tapi kalau ia tak melakukannya, tentu saja itu akan membuat Kirana merasa curiga.
Toh, yang Kirana tahu, Demian asik berkeliling rumah dan mengagumi setiap sudut rumah milik papa Alsid tersebut. Harusnya ia merasa senang, kan... bukan bingung.
Mereka melaju sambil menceritakan seisi rumah yang di lihat Demian. Dan tentu saja Demian mengecualikan kamar rahasia yang ia kunjungi tadi.
Akhirnya, mobil berhenti tepat di depan kosan Demian dan Alsid. Lampu-lampu jalanan menyinari tembok kusam bangunan sederhana itu.
Demian terkejut saat menyadari kalau mereka sudah terhenti di depan kosan milik Alsid. Ini tak sesuai perjanjian mereka di awal, kan?
Demian menatap Kirana. “Seharusnya… cukup sampai depan jalan, kan? Kamu tidak lupa, kan? Seharusnya!" protesnya.
Kirana menatap balik, lalu tersenyum lembut. “Oh, iya juga!!" Ia berlagak tersentak. "Aku lupa kalau perjanjian kita, cuma ku antar sampai di depan gang aja. Ngomong sama kamu asik banget, aku jadi lupa." dalilnya lagi. "Tapi, semoga Alsid gak marah ya kalau lihat."
Kata-kata itu menusuk. Bukan sekadar ucapan basa-basi. Lebih terdengar seperti doa… Dan Demian yakin sekali kalau Kirana sengaja berhenti di depan kosan agar di lihat Alsid, lalu Alsid kembali marah pada Demian dan mereka bertengkar.
Sayangnya... Kirana salah sangka. Justru Demian dan Alsid sudah bersekongkol mengenai hal ini. Tapi, kalaupun mereka pada mode normal, tentu ini memang akan menjadi sebuah pertengkaran.
Sebelum Demian sempat merespons, Kirana sudah menyalakan mesin mobil lagi. Mobil itu melaju, meninggalkan Demian yang masih berdiri terpaku di depan gerbang kosannya.
Demian menghela napas panjang, berusaha mengendurkan ketegangan yang sejak tadi mencekiknya. Ia melangkah menuju pintu kosan, dan bersiap untuk mengetuknya.
Tapi tiba-tiba—
“AAAAAAHHHHH!!!”
Sebuah teriakan melengking menembus kesunyian siang itu. Suara perempuan, jelas dan penuh rasa panik.
Jantung Demian hampir meloncat keluar. Ia mengenali suara itu.
Nehara.
Tanpa pikir panjang, Demian membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Ia berlari ke arah sumber suara. Setiap langkahnya seperti dipacu adrenalin, rasa cemas menyalip segala logika.
“Nehara!!” teriak Demian, yang sudah berada di dalam ruang tamu.
Namun yang ia temui justru sesuatu yang tak pernah ia duga.
…
(Bersambung.)
lanjut thor kerenn/Smile/
ada kun sm agam ga ini