NovelToon NovelToon
Jati Pengantin Keramat

Jati Pengantin Keramat

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Tumbal
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Septi.sari

Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.

Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.

"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"

Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.

Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.

2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.

Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jati Keramat 26

"Mas, bangun Mas! Mas, sadar ....!"

Suara orang yang saling bersahutan itu mampu menyadarkan ingatan Nanda. Pria itu seketika terbangun, dan langsung mengedarkan pandangan keseluruh ruang. Selanjutnya pria muda itu menatap salah satu orang dengan bingung. "Maaf, Pak ... Saya dimana ya?"

Pria paruh baya itu menjawab dengan antusias, "Kamu selama ketiduran di teras mushola, Mas! Ini sudah pukul 9 pagi."

Nanda masih terdiam. Wajahnya mencoba mengingat-ingat kejadian aneh yang ia alami semalaman. 'Apa aku bermimpi? Apa semua yang ku alami tadi malam itu benar adanya?'

"Ya Allah Mas Nanda ... Saya cari kemana-mana?!" Gendhis baru saja tiba setelah ia mendapati informasi dari perawat.

Wajah Nanda masih seperti orang bingung. Namun setelah itu ia segera bangkit. "Ayo kita kembali, Ndis. Nanti saya ceritakan semuanya."

Gendhis segera pamit kepada orang-orang dengan sopan, lalu segera meninggalkan Mushola rumah sakit.

"Eyang bagaimana, Ndis?" tanya Nanda sembari berjalan bersama.

"Bu Asih baru saja datang dengan Pak Lurah, Mas! Mungkin terlalu lama menunggu kamu pulang ... Jadinya ya, di susuli deh." Jawab Gendhis menoleh sekilas. Setelah itu ia tiba-tiba menghentikan langkahnya, "Mas Nanda emangnya semalam kemana sih? Jadi nggak kerja 'kan?!"

Wajah Nanda terlihat begitu lelah. Ia tertunduk, dan hanya menjawab lirih. "Nanti biar saya ijin menyusul, Ndis. Tubuh saya rasanya capek banget."

"Ya sudah, lebih baik Mas Nanda temui Ibu dulu. Kalau masih capek, biar Gendhis naik ojek saja pulangnya." Ucap Gendhis sambil melanjutkan kembali jalannya.

Nanda menggelengkan kepala cepat. "Jangan, Ndis! Nanti saya antarkan setelah ini. Saya takut kalau kamu kenapa-kenapa di jalan." Tolaknya.

Ceklek!

Bu Asih langsung menoleh. "Nanda ... Kamu dari malam kemana saja? Gendhis sudah menceritakan semuanya sama Ibu."

Pak Woyo hanya diam saja. Ia menoleh sekilas putranya, lalu kembali menatap sang Ibu yang terlelap. "Darimana saja kamu, Nanda?"

'Bapak? Apa mungkin Bapak tega melakukan itu semua? Tapi ... Semalam itu memang nyata! Aku melihat semuanya.' Nanda masih saja melamun, mengingat kejadian yang ia alami di luar nalar.

"Mas ... Itu ditanyain sama Pak Lurah!" bisik Gendhis.

Seketika Nanda tersadar. "Nanda hanya keluar, ngobrol sama satpam sampai ketiduran, Pak! Bapak sama Ibu tenang saja, Nanda nggak papa kok." Jawabnya. "Oh ya, Bu ... Nanda pamit dulu ya, mau nganterin Gendhis pulang, sekalian buat surat ijin dulu."

"Nggak usah! Gendhis sudah Bapak pesankan ojek." Sahut Pak Woyo.

Gendhis yang merasa tidak enak, kini langsung saja menengahi. "Iya, Mas ... Sudah tidak apa-apa! Kalau begitu saya pamit dulu."

Nanda hanya dapat terpaku melihat wanita pujaannya keluar begitu saja. Sambil terus mengeratkan tas selempangnya, Gendhis sejak tadi merogoh memastikan tusuk konde itu masih ada didalamnya atau tidak.

Baru saja ia akan keluar, tetiba ada suara yang menghentikan pergerakan langkah kakinya.

"Gendhis ...."

Reflek saja Gendhis menoleh. Dan pria itu adalah Irfan, adiknya Wira. Sejujurnya Gendhis ingin juga menjenguk Wira, tapi ia kasihan dengan Ibunya yang mungkin telah menunggu ia pulang begitu lama.

"Irfan, ada apa?"

"Kamu habis dari sini juga? Siapa yang sakit?" tanya Irfan sedikit berpikir.

"Bu Asih nyuruh saya jaga Eyang Wuluh setiap malam, Fan! Oh ya, bagaimana keadaan Mas Wira?" Gendhis semakin mengeratkan tasnya.

"Sudah baik. Mungkin nanti siang juga sudah boleh pulang. Kok nggak kesana aja mumpung kamu ada disini," ucap Irfan.

"Niatnya begitu, tapi kasian sama Ibu di rumah pasti nungguin kelamaan. Ya sudah, aku pulang dulu ya Fan." Gendhis sudah ingin segera pulang, namun lengannya kembali di tahan oleh Irfan.

"Ayo tak anterin! Sekalian saya juga mau pulang. Mau mandi!"

"Sudah di pesani ojek sama Pak Lurah! Aku duluan Fan." Gendhis segera berjalan cepat, begitu tangan Irfan melonggar dari cengkramannya.

Sejujurnya bukan apa-apa. tapi Gendhis hanya ingin segera membakar benda laknat itu.

***

Di rumah, Gendhis masih juga kalut. Ia belakang rumah tepatnya sore hari, ia sudah memegang tusuk itu dan juga korek api. Namun ... Pikirannya terbang jauh, apa yang ia lakukan saat ini sudah benar. 'Apa aku nunggu Mas Wira saja ya?!'

Dan benar saja, di luar rumah terdengar suara motor seseorang baru saha berhenti. Di belakang, Gendhis tahu siapa pemilik motor itu.

"Ndis, ada nak Wira ...." pekik Bu Siti dari dapur.

"Iya, Bu ...." Gendhis segera keluar menyambut calon suaminya itu.

Wira tersenyum hangat melihat calon istrinya yang menurutnya semakin hari itu semakin cantik.

"Mas Wira ... Kok sudah kesini, nggak istirahat dulu?!" Gendhis agak menatap kurang setuju.

Wira tersenyum tipis. "Kamu pikir saya sakit parah apa?! Orang saya nggak kenapa-kenap kok."

Gendhis menarik lengan Wira untuk di ajaknya keluar. "Mas aku sudah menemukan tusuk konde itu!" bisik Gendhis.

Wira tersentak. Ia menatap Gendhis tak percaya. "Kamu serius? Bagaimana kamu bisa mendapatnya?"

"Mulai kemarin malam, saya di minta Bu Asih buat jagain Eyang Wuluh setiap malam. Pas hari itu, saya di ajakin Mas Nanda buat ambil keperluan Eyang di kamarnya. Dan tusuk konde itu rupanya di simpan di dalam peti berukuran kecil dibawah ranjang tidurnya." Jabar Gendhis dengan pelan.

"Bocah ingusan itu paling mencari kesempatan buat deketin kamu lagi. Mulai nanti malam biar saya yang anterin kamu." tekan Wira yang merasa cemburu.

"Sudah, Mas ... Yang terpenting kita sudah mendapatkan tusuk ini. Rencananya mau Gendhis bakar. Tapi kalau di rumah, takut di curigai Ibu. Gimana nih Mas?" Gendhis masih kalut akan hal itu.

"Kita ke rumah Hasan saja! Nanti biar Hasan yang membakarnya." Ucap Wira. "Ayo sekarang kita kesana, sebelum malam."

Gendhis mengangguk. Setelah berpamitan, mereka kedua langsung saja menuju rumah teman Wira.

*

*

"Sebenarnya langsung di bakar nggak papa. Tapi afdolnya, nanti tepat pukul 12 malam. Dan kebetulan nanti bulan purnama." Ucap Hasan menatap keduanya.

"Ya sudah, nanti biar saya anterin calon istriku pulang dulu, baru aku kesini lagi." Wira menatap Gendhis, "Nanti kamu 'kan jaga malam ... Jadi biar saya saja yang disini."

Gendhis mengangguk patuh.

1
Lucas
seru banget lo ceritanya
Septi.sari: Kak terimaaksih🙏❤❤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!