NovelToon NovelToon
Menikah Dengan Dosen Killer

Menikah Dengan Dosen Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: santi puspita

Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.

Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.

Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

Dikampus, Cahaya matahari condong ke barat, membias lembut di sela-sela jendela kaca kantin. Waktu sudah lewat jam sibuk, hanya beberapa mahasiswa yang masih duduk, sibuk dengan laptop atau camilan sore mereka.

Naya dan Sarah duduk di pojok kantin, satu meja kecil dekat jendela. Dua gelas es kopi susu di depan mereka sudah mulai mencair, tapi belum tersentuh.

Tak ada tawa, tak ada cerita. Hanya diam.

Sarah menyenderkan dagunya ke telapak tangan, menatap keluar jendela dengan mata kosong.

Naya duduk berseberangan, memainkan sedotan di gelasnya. Sesekali ia menghela napas, tapi tak satu pun dari mereka membuka obrolan lebih dulu.

Hening itu begitu tebal sampai Sarah akhirnya berbisik, “Lo kenapa diem aja? Biasanya lo udah ngoceh dari tadi.”

Naya mengangkat bahu. “Lagi gak pengen ngomong.”

Sarah tertawa kecil, tapi hambar. “Sama.”

Lalu keduanya kembali diam. Beberapa detik kemudian, Naya akhirnya angkat bicara.

“Arya suka gue, Sar.”

Sarah tersentak kecil, tapi tak menoleh. Ia hanya menggenggam gelasnya lebih erat.

“Gue tahu,” jawabnya pelan. “Dia bilang.”

Naya akhirnya menatap sahabatnya dalam-dalam. “Lo... tahu? Dari kapan?”

“Dari malam itu,” Sarah berusaha tersenyum, tapi kelopak matanya berkaca-kaca. “Dia nginep di kos gue. Cerita panjang lebar.”

Naya menelan ludah. “Gue gak pernah tahu... kalau lo juga—”

“Gue suka Arya? Iya.” Kali ini Sarah menatap balik, mata mereka terkunci. “Tapi kayaknya perasaan gue emang gak penting dari awal.”

Keheningan menggantung di antara mereka.

Naya menunduk. “Gue gak pernah maksud buat nyakitin lo.”

“Gue tahu, Nay,” Sarah menunduk juga. “Dan Arya juga gak jahat. Tapi rasa suka itu kadang egois. Gak bisa dibagi, dan gak bisa dipaksa.”

Naya menggigit bibirnya sendiri. Suaranya nyaris tak terdengar. “Gue juga gak bahagia. Gue... bingung sama semuanya. Sama Alvan. Sama Arya. Sama diri gue sendiri.”

Sarah tersenyum tipis, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kita berdua lagi hancur ya?”

Naya terkekeh kecil, lirih. “Kayaknya.”

Mereka akhirnya tertawa. Kecil. Pahit. Tapi tulus.

Sarah menggeser kursinya, lalu mengulurkan tangan ke tangan Naya di atas meja.

“Kalau lo jatuh... lo harus tahu, gue gak akan jadi orang yang dorong lo lebih dalam. Tapi gue juga gak akan biarin lo jatuh sendiri.”

Naya menggenggam tangan Sarah erat, dan untuk pertama kalinya hari itu, air matanya jatuh tanpa ditahan.

---

Langit mulai berubah jingga, menyisakan bias cahaya yang lembut menghiasi jalanan kecil di pinggir kampus. Naya dan Sarah berjalan beriringan sambil sesekali melirik kendaraan yang berlalu-lalang.

Naya berhenti tiba-tiba, membuat Sarah ikut menghentikan langkah.

“Temenin gue, yuk,” ucap Naya pelan.

Sarah mengernyit. “Kemana?”

Naya menarik napas, lalu tersenyum sedikit, meski senyum itu terasa seperti tameng dari kepedihan yang ia sembunyikan.

“Tempat lama kita. Dulu sebelum semua serumit ini. Masih inget?"

Sarah langsung tahu maksudnya. Tempat karaoke kecil dekat pantai, tempat mereka dulu sering menyanyi dan tertawa sampai lupa dunia.

“Yah, Nay... itu dulu,” gumam Sarah, suaranya pelan. “Sekarang lo udah nikah.”

Naya mendengus. “Nikah? Jangan bilang lo percaya pernikahan gue ini benar-benar sakral dan bahagia.”

Sarah menoleh cepat. “Tapi tetap aja, lo punya suami. Gak sopan kalo lo pulang larut, apalagi ke tempat kayak dulu... rame, ada cowok mabuk, musik keras—itu bukan tempat buat istri orang.”

Naya menatap Sarah dalam-dalam. “Justru karena gue istri orang. Justru karena gue ngerasa kehilangan diri gue sendiri. Gue butuh satu malam... satu malam aja buat jadi Naya yang dulu. Yang bebas. Yang tertawa. Yang gak terus-terusan mikirin suami, mertua, papa, Arya, semua ini.”

Sarah masih terdiam. Wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan.

“Gue gak bisa, Nay. Gue takut. Kalau ada yang liat—apalagi Arya atau Pak Alvan—gue... gue gak mau tambah runyam.”

Naya menggenggam tangan Sarah, erat.

“Please, Sar. Lo satu-satunya yang bisa bikin gue inget rasanya hidup, bukan cuma bertahan.”

Sarah menunduk. Perasaannya berkecamuk. Tapi ia tak tahan melihat Naya sedalam itu. Rapuh. Butuh seseorang. Dan orang itu... ternyata tetap dirinya.

Akhirnya ia mengangguk, sangat pelan.

“Gue ikut. Tapi janji... habis ini lo gak maksa gue lagi untuk hal-hal gila.”

Senyum Naya merekah, dan untuk sesaat matanya benar-benar bersinar.

“Deal.”

---

Baik. Berikut lanjutan adegan yang kamu minta—intens, emosional, dan memperlihatkan sisi rapuh sekaligus ketegangan yang memperkuat konflik antar tokoh:

---

Ruangan remang-remang dengan lampu disko kecil bergantungan di langit-langit. Musik dari berbagai ruang terdengar tumpang tindih, menciptakan suasana bising dan penuh energi. Naya dan Sarah memasuki tempat itu dengan langkah pelan.

Sarah tampak tegang, matanya waspada, sementara Naya... tersenyum samar, seperti sedang melarikan diri dari dunianya yang kacau.

"Ini dulu tempat pelarian kita, kan?" ujar Naya lirih sambil menatap sekeliling.

Sarah mengangguk. “Dulu... waktu belum ada luka sebesar ini.”

Mereka memesan ruangan kecil dan mulai bernyanyi beberapa lagu. Awalnya Naya tertawa, tapi semakin malam, semakin kosong tatapannya. Sarah sesekali meliriknya khawatir.

Setelah satu lagu selesai, Naya berdiri. “Gue mau ke toilet bentar, ya.”

“Jangan lama,” sahut Sarah, masih gelisah.

Naya mengangguk dan melangkah keluar. Tapi ketika ia berjalan melewati lorong yang gelap menuju toilet, seseorang tiba-tiba muncul dari samping. Pria tinggi, berpakaian hitam, memakai topi, dan berbau alkohol menyengat. Dengan cepat ia menarik lengan Naya.

“Eh, cantik. Mau kemana? Jangan buru-buru amat.”

“Lepasin gue!” bentak Naya, mencoba melepaskan diri, tapi genggaman pria itu kuat.

Tanpa banyak kata, pria itu menarik Naya ke salah satu ruangan kosong yang pintunya tak terkunci. Naya panik, berusaha melawan, tubuhnya terhuyung dan nyaris terjatuh.

Pria itu mendorongnya ke dinding, mulai menunduk ke arahnya.

“Kamu kayaknya lagi butuh pelukan, ya?” suaranya mabuk, tangannya mulai menyentuh lengan Naya.

"JANGAN SENTUH GUE!!" teriak Naya keras. Tapi musik dari ruangan-ruangan lain menenggelamkan suaranya.

Pria itu terkekeh, tapi belum sempat ia melangkah lebih jauh—

BRUK!

Pintu ditendang keras dari luar.

“LEPASKAN DIA!!”

Arya berdiri di ambang pintu, napasnya memburu, mata menyala oleh kemarahan. Tanpa berpikir panjang, ia melayangkan pukulan ke pria itu. Dentuman keras terdengar ketika pria itu terjatuh ke lantai.

“Lo gak apa-apa, Nay!?” Arya menghampiri Naya yang terduduk di lantai dengan wajah ketakutan, bajunya sedikit kusut, rambut berantakan.

Naya mengangguk, tapi tubuhnya masih gemetar hebat. Mata mereka bertemu—dan di sana, Arya melihat ketakutan paling murni yang pernah ia lihat di mata Naya.

“Gue... gue gak sangka...”

“Ssshh… gak apa-apa. Sekarang udah aman. Gue di sini,” bisik Arya menenangkan, pelan-pelan menarik Naya bangkit sambil menatap tajam pria yang kini hanya bisa meringkuk ketakutan.

“Keluar dari sini sebelum gue lempar lo ke polisi,” ujar Arya dingin. Pria itu bangkit dan kabur tanpa perlawanan.

Sarah tiba-tiba datang tergopoh-gopoh dari arah lorong, wajahnya pucat pasi.

“NAYA! Arya!? Astaga...”

Naya langsung memeluk Sarah, air matanya tak terbendung.

Arya berdiri di belakang mereka, menatap keduanya. Dalam diam, ia tahu... ia tidak akan pernah bisa membiarkan Naya tersakiti lagi.

---

Naya masih memeluk Sarah erat. Bahunya gemetar. Sarah membalas pelukan itu, mengusap-usap punggung sahabatnya lembut.

Tapi tatapannya diam-diam menoleh ke arah Arya, yang kini berdiri tak jauh dari mereka.

Arya tak berkata apa-apa. Tapi sorot matanya—penuh kecemasan, kemarahan, dan perlindungan—hanya tertuju pada satu orang: Naya.

Ia berjalan pelan menghampiri, mengambil jaketnya sendiri dan tanpa berkata-kata menyampirkan ke bahu Naya. “Lo kedinginan. Pakai ini dulu.”

Naya mengangguk pelan, matanya sembab. “Makasih…”

Sarah terdiam. Ada sesuatu yang mendesak di dadanya. Cemburu, rasa yang selama ini ia simpan rapi, kini mulai membara diam-diam. Tapi ia tersenyum kecil, menunduk, menyembunyikan luka dengan topeng ketenangan.

"Yuk kita pulang," ucap Arya lembut, menatap Naya seakan dunia hanya ada mereka berdua. Ia bahkan tak melirik Sarah sedikit pun.

Sarah berdiri, membenarkan tasnya. “Iya... kita pulang.”

Sepanjang perjalanan keluar tempat karaoke, Sarah berjalan di belakang Arya dan Naya. Ia melihat bagaimana tangan Arya sesekali menyentuh punggung Naya, membimbingnya agar tidak tersandung. Perhatian kecil itu terasa seperti duri kecil yang menusuk-nusuk hatinya.

Di dalam taksi, Sarah duduk di samping jendela, membiarkan Arya duduk di tengah dan Naya di sisi satunya. Diam-diam, ia mencuri pandang.

Naya menyenderkan kepala ke kaca jendela, memejamkan mata. Arya melirik sebentar, lalu mengambil jaketnya yang kini dipakai Naya dan menutupkan lebih rapi ke tubuh gadis itu. Gerakan pelan, penuh perhatian.

Sarah mengalihkan pandang. Matanya mulai basah, tapi ia tersenyum kecil menahan segalanya.

"Gue sahabat lo, Arya. Tapi kenapa rasanya... lo gak pernah benar-benar ngelihat gue?"

Ia menarik napas dalam, menahan agar suaranya tak bergetar.

"Gak apa-apa. Gue akan tetap di samping kalian. Tapi jangan salahkan gue... kalau pada akhirnya, gue juga mulai melindungi perasaan gue sendiri."

---

1
Bidan Sumari
ditunggu kaka...upnya
Bungatiem
Thor namanya ko Gonta ganti terus jadi bingung
sanpus: oke kk terima kasih sudah memperhatikan mungkin memang ada kesalahan pas nulis kemaren,hehehe🤭
total 1 replies
Bungatiem
nama nya yang benar yang mana sih Thor
sanpus: nama siapa?
total 1 replies
Reni Anjarwani
bagus bgt ceritanya doubel up thor
sanpus: heheh iya
total 1 replies
Reni Anjarwani
buat naya jatuh cinta pak dosen dan buat dia bahagia
sanpus: copy 😀
total 1 replies
Reni Anjarwani
lanjut thor
sanpus: siap🙏😅
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!