Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta dan Dendam
Malam ini Mala menyibukkan diri dengan membuat konten dan menggambar ilustrasi. Pekerjaan yang harus dilakukan supaya saldo rekeningnya terisi. Percakapan dengan Ayah masih saja menghantui. Mala sebal kenapa ayahnya ada di pihak Bram ketimbang putrinya yang menjadi korban perselingkuhan. Ayah Mala memaksa Mala untuk bertahan di tengah badai.
“Demi siapa? Demi aku atau kehormatan keluarga? Huft!”
Mala melempar pen tablet di atas meja. Tidak bisa fokus pada pekerjaan. Pikirannya melayang pada Bram yang tak pulang. Pasti Bram menemui kekasihnya itu. Lalu bagaiman cara mereka mengatur pertemuan agar tak ketahuan suami pacarnya itu? Bram bilang, suami dari wanita itu juga berselingkuh sehingga wanita jahat itu terus mencari Bram guna mendapatkan penghiburan.
Jadi, bisa dibilang … satu-satunya korban di sini hanyalah diriku.
“Mah, Papah ke mana?” Kepala si kecil Mia menyembul dari sela tirai.
Mala menghentikan kegiatannya. “Ada kerjaan, Mia.” Mala berbohong.
“Ih, sebal. Papah melanggar janji. Katanya mau main sama Mia!” pekik Mia marah.
Mala beranjak mendekati Mia, merangkulnya penuh kehangatan. Hal-hal seperti inilah yang membuat pikirannya kacau ketika ingin menyingkirkan Bram dari hidupnya. Mala tidak tega dengan Mia. Bram jga seolah tahu kelemahan Mala ada pada anak-anak, Bram sering love bombing pada anak-anak mereka terutama Mia. Parahnya saat Bram mengingkari janjinya pada Mia. Tugas Mala yang harus menghibur resah hati Mia.
Pekerjaan jelas terganggu. Demi anak-anak, Mala bisa saja menghentikan semua hal yang sedang dilakukan.
“Mah, kenapa sih, sekarang Papah jadi sering nginep di luar?” tanya si kecil Mia sembari duduk di pangkuan Mala.
“Hmm, mungkin karena Papah lagi banyak kerjaan Mia!” jawab Mala hati-hati. Dia tak mau sampai salah menjawab.
"Cari uang?" tanya Mia bersemangat. Mala mengangguk.
“Tapi kenapa jarang kasih Mamah uang?” tambahnya lagi.
“Eh, kamu kata siapa Mia?” Mala kaget celotehan anak umur empat tahun membahas uang.
“Moya yang bilang, katanya Mia nggak boleh gangguin Mamah lagi kerja, nanti kalau Mamah nggak kerja nggak dapar duit dan kita nggak bisa sekolah,” tutur Mia polos.
Mala mengernyitkan dahi. Tak menyangka Moya memberitahu Mia hal yang tak perlu diketahui oleh anak sekecil Mia.
“Hmm, Papah kita kasih uang kok Mia, tapi kan Mamah juga harus kerja, soalnya udah janji sama yang kasih kerjaan. Jadi, mamah harus selesaikan.”
“Tapi Mamah dapat uang?”
“Iya, dong!”
“Buat Mia, Ya?”
Mala mengangguk, mencubit pipi Mia gemas.
Setelah Mia kembali ke kamar Moya, Mala masih tercenung di kursi.
Bagaimana kalau anak-anak tahu apa yang dilakukan Papahnya di luar rumah? Sementara ini Mala tetap berusaha menutupi kelakukan buruk dari Papah mereka, tapi Mala tak yakin hal busuk tidak tercium baunya. Lama-lama pasti anak-anak tahu juga.
Sebelum saat itu tiba, Mala sudah harus bulat dengan keputusannya. Sekarang ini masih fifty-fifty. Antara bertahan atau menyudahi. Jujur keinginan menyudahi itu begitu kuat, tapi ada logika yang harus dikedepankan. Menyingkirkan perasaan Mala sendiri agar keputusan benar-benar lahir dari jalan pikiran yang terbuka.
Hubungan antara Mia dan Bram mengingatkan mala pada cerita dirinya waktu kecil dengan Ayah yang Mala anggap sebagia pahlawan. Menganggap begitu karena, Ayah selalu ada di rumah di saat ibunya sibuk bekerja.
Apa nanti Mia akan mengalami kekecewaan seperti Mala kecil? Bayangan Papah yang Mia anggap figur bapak yang baik menghilang seketika setelah menyadari pria itu berselingkuh, mengkhianati keluarga.
Dulu Mala amat geram, Merasa hancur, tentunya Mia akan seperti itu. Maya dan Moya tak terlalu dekat dengan Bram, tetap saja mereka pun akan sakit hati bila mengetahui Papah mereka mempunyai wanita lain.
“Aaaargh!! pusing!!”
Mala menelungkupkan kepala di atas meja. Kepalanya berdenyut dan bagian dada mulai merasakan desir hati yang tak wajar.
Oh, pasti Bram sedang bersenang-senang. Aku benci kenapa harus memiliki kepekaan ini, tiap kali Bram bermesraan, aku masih saja ikut merasakannya. Apa ini yang disebut intuisi? Feeling? Apa pun itulah … kalau boleh memilih … aku lebih senang jika ini dihilangkan dari dalam diriku.
***
Nana menyudahi teleponnya dengan seorang dukun. Suaminya berada di kamar mandi. Nana berusaha menggaet hati suami dengan cara sihir seperti yang dilakukannya pada Bram. Sayangnya selalu gagal. Tak ada satu orang pun dukun yang bisa memengaruhi suami Nana untuk tunduk. Nana sempat kesal pada dukun yang dia bayar mahal.
“Kenapa hanya Bram ya ng bisa dipengaruhi? Kenapa suamiku tidak, bahkan istri Bram saja gagal kuhancurkan?” tanya Nana sejam lalu.
Dukun itu menjelaskan sejelas mungkin, tapi bagi Nana ini tetap hal rumit. Akalnya menolak jika suami Nana dan istri Bram mempunyai pelindung dari lahir.
“Apa mereka juga membayar seorang dukun? Lalu apa masalahnya, apa ilmu anda kalah dibandingkan dukun mereka?” Nana tak mau mengerti.
Dijelaskan seribu kali pun tetap tak mengerti, kalau istri Bram dan suami Nana memiliki energi spiritual yang tinggi, lantas Nana mengamuk pada sang dukun. Ditutupnya sambungan pada ponsel dengan berang.
Muka merah padam Nana memancing perhatian Haris, suami Nana.
“Kenapa Mi? Kamu sakit?” tanya Haris sembari mendekati Nana di atas ranjang, diusapkan telapak tangan pada kening Nana.
Ada yang berdenyut secara brutal di dalam diri Nana. Disentuh tangan Haris saja ia sudah ingin terbang. Ini berbeda sekali dengan rasa disentuh Bram yang kekanakan dan manja. Bersama Haris, justru Nana merasa lebih terbang, lebih melayang. Namun, Haris yang bertubuh kekar itu jarang memperlakukannya dengan mesra. Ini disebabkan gangguan wanita di kantornya yang tak bisa Nana lawan. Lagi-lagi ini yang membuat Nana murka pada sang dukun. Wanita kesayangan suaminya itu juga gagal ia binasakan.
“Apa wanita jalang itu juga istimewa?” Pernah Nana menanyakan itu pada dukun.
“Tidak, suami ibu yang melindunginya.” Jawaban itu cukup membuat Nana frustrasi. Dan secara gila-gilaan melampiaskan dendamnya pada Bram dan istrinya.
Mendengar istri Bram hampir mati saat terkena demam berdarah, membuat Nana bersorak gembira. Selanjutnya kembali kecewa karena misi menghancurkan itu gagal. Bahkan tak ada yang tahu jika Nana sempat muntah darah karena sihir berbalik padanya.
Dengan cepatnya sang dukun yang juga terluka parah saat itu menyudahi penyerangannya. Mengatur siasat agar Nana mendengarkan nasihatnya, bahwa sebenarnya tak perlu mengganggu istri dari Bram. Wanita itu tidak mencintai Bram dan ingin melepaskan diri dari pernikahan.
Mengetahui info tersebut, bukannya senang, Nana justru kehilangan gairahnya menganggu istri Bram.
Aku hanya akan menikmati permainan jika ada yang tersakiti, dengan begitu dendamku pada perilaku suamiku terbalas.
Haris melepas kimono mandinya, membelakangi Nana dan mempertontonkan otot punggung yang buat Nana tak tahan ingin memeluknya.
Dengan sangat agresif, Nana melompat dan menciumi punggung itu. Sedikit pun tak ingat Bram.
"Nanti, Mami, Papi belum selesai menyisir rambut!"
"Nggak usah, Pi!"
Nana tak tahan. Segera ingin menyerahkan dirinya pada satu-satunya pria yang dicintai. Nana sadar, perasaan pada Bram bukan cinta, melainkan obsesi.
Seandainya suami Nana tidak memulai perselingkuhan, tentunya Nana juga tak mencari Bram ... mantan pacar SMA-nya.