Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang di Balik Layar
Setelah hampir satu jam duduk di café dalam mall mewah kawasan Jakarta, Citra, Kiara, dan Afifah akhirnya memutuskan untuk pulang. Mereka keluar sambil membawa kantong belanja kecil.
Udara malam Jakarta yang hangat bercampur semilir AC dari pintu mall membuat suasana agak reda, tapi ketegangan di dalam café tadi masih membekas.
Afifah yang dari tadi diam, akhirnya membuka suara.
“Cit… lo sadar nggak, Dion tuh beberapa kali ngeliatin lo?”
Citra menoleh cepat, ekspresinya defensif.
“Ngaco lo, Fif. Mana mungkin.”
“Tapi gue juga liat,” timpal Kiara. “Dia sok banget pura-pura nggak kenal, tapi tatapannya jelas nyariin lo. Apalagi pas Rachel ketawa-ketawa keras, mukanya malah kaku.”
Citra mendesah, menatap lampu-lampu kota Jakarta dari parkiran rooftop mall. “Percuma. Mau ngeliat kek, mau pura-pura nggak kenal kek, intinya sama aja. Dion tuh udah bikin gue… kecewa banget.”
Afifah menepuk bahunya pelan.
“Ya wajar lah lo kecewa. Tapi kalo cowok itu beneran nggak peduli, dia nggak bakal repot lirikin lo lagi.”
Kiara menambahkan dengan nada dingin, “Dan Rachel tuh keliatan banget tau soal itu. Makanya dia makin nempel ke Dion.”
Citra terdiam, hatinya campur aduk—antara kesal, marah, dan ada secuil perasaan yang nggak bisa ia definisikan.
Sementara itu, dari kejauhan, seorang pria dengan jas kasual tapi berwajah dingin berdiri di dekat valet parking.
Ia memperhatikan ketiga remaja itu masuk ke mobil jemputan keluarga Mahardi. Dengan tenang, ia mengeluarkan ponsel, mengetik pesan singkat:
“Tuan, saya baru saja melihat Nona Citra di mall Jakarta. Ia bersama dua temannya. Dion Wijaya dan Rachel Aurora juga terlihat di lokasi.”
Pesan terkirim. Nama penerima jelas terpampang di layar: Tuan Mahardi.
Di ruang kerjanya yang megah di lantai paling atas rumah mewah kawasan Jakarta Selatan, Tuan Mahardi baru saja selesai menandatangani beberapa dokumen penting.
Lampu kota berkilau dari balik jendela kaca besar, sementara jam antik berdentang menandai pukul sembilan malam.
Suara notifikasi terdengar dari ponselnya yang tergeletak di meja. Ia mengambilnya dengan tenang, membuka pesan yang baru masuk.
Matanya menyipit. Nama itu muncul lagi—Dion Wijaya.
Keningnya berkerut, jemari mengetuk pelan meja marmer hitamnya.
“Dion… ternyata kamu ada di Jakarta juga, ya?” gumamnya pelan, suaranya berat penuh perhitungan.
Ia berdiri, berjalan ke rak buku tinggi yang berisi dokumen kerja sama berbagai perusahaan. Tangannya mengambil satu map berlabel Wijaya Corp.
Membukanya perlahan, ia menemukan data nama keluarga, termasuk daftar ahli waris. Bibirnya menyunggingkan senyum dingin.
“Jadi benar… ada anak bernama Dion.”
Ia menutup map itu dengan keras, lalu menatap ke arah jendela, lampu kota Jakarta berpendar bagai permata.
“Kalau dia berani mendekati Citra… atau malah menyakitinya, aku tidak akan tinggal diam. Tidak ada seorang pun yang boleh meremehkan anakku.”
Tuan Mahardi kembali meraih ponselnya, mengetik balasan cepat
“Terus awasi. Jangan sampai Nona Citra sadar.”
Beberapa detik kemudian, ia menambahkan pesan kedua dengan nada perintah tegas:
“Cari tahu lebih dalam soal Dion Wijaya. Aku ingin tahu siapa sebenarnya anak itu dan apa hubungannya dengan Rachel Aurora.”
Ponsel diletakkan kembali. Tuan Mahardi menyandarkan tubuhnya di kursi kulit hitam, menatap langit Jakarta yang gemerlap. Namun di matanya, hanya ada satu hal: perlindungan mutlak untuk Citra, apapun harganya.
Mobil mewah keluarga Mahardi berhenti di halaman rumah besar bergaya klasik Eropa. Lampu-lampu taman sudah menyala, memberi nuansa hangat meski malam Jakarta masih ramai dengan suara lalu lintas dari kejauhan.
Begitu pintu mobil dibuka oleh sopir, Citra melangkah keluar sambil merapikan tas kecil di lengannya. Sepatu sneakers putihnya sedikit berdebu setelah seharian jalan di mall.
Di ambang pintu rumah, Bi Yanti—kepala pelayan sekaligus orang yang paling sering menemani Citra—sudah menunggu.
“Udah pulang Non?” sapanya ramah, sambil membungkuk sedikit.
“Iya, Bi,” jawab Citra dengan senyum lelah.
“Oh yaudah, saya siapkan bak air hangat dulu biar Non rileks,” ucap Bi Yanti sambil segera memberi isyarat pada pelayan lain.
“Terima kasih, Bi… hari ini capek banget,” gumam Citra, melepas jaket tipisnya dan menyerahkannya pada pelayan yang lain.
Bi Yanti tersenyum, memperhatikan nona mudanya yang tampak letih tapi tetap anggun. “Non pasti banyak jalan-jalan, ya? Dari tadi sore saya dengar Non ke mall sama Nona Kiara sama Afifah.”
Citra hanya mengangguk kecil. “Iya Bi… lumayan, nonton film juga.”
Pelayan lain mendekat sopan, “Non, makan malam sudah disiapkan di ruang makan. Apa mau makan dulu sebelum mandi?”
Citra menggeleng pelan. “Mandi dulu aja. Abis itu baru makan, Bi. Kepala aku agak pusing.”
“Baik Non,” ucap Bi Yanti cepat. Ia lalu berjalan mendahului untuk menyiapkan kamar mandi dengan bak air hangat beraroma lavender.
Sementara itu, Citra menapaki tangga marmer menuju kamarnya. Setiap langkahnya menggema di aula besar rumah Mahardi.
Dalam hati, ia mengingat kembali suasana di mall tadi—tatapan Dion, tawa Rachel, dan bagaimana Raka diam-diam seakan selalu melindunginya. Semua itu membuat pikirannya sulit tenang.
Sesampainya di depan pintu kamar, ia menarik napas panjang. Malam itu seakan baru saja dimulai bagi Citra Asmarani Mahardi.
Di dalam kamar mandi pribadinya yang luas, uap hangat sudah memenuhi ruangan. Bathup marmer putih terisi air yang diberi tetesan minyak aromaterapi lavender. Lilin kecil menyala di sudut, membuat suasana jadi tenang dan menenangkan.
Citra melepas gaunnya dan perlahan masuk ke dalam air hangat. Rasa letih seharian langsung luruh, tubuhnya terasa ringan.
Dari balik pintu, terdengar suara lembut Bi Yanti yang memastikan:
“Non, kalau ada apa-apa panggil saya ya. Saya siapin handuk bersih di dekat rak.”
“Iya Bi, makasih…” jawab Citra sambil memejamkan mata.
Sesaat hening. Citra membiarkan air merendam tubuhnya, tapi pikirannya justru berkelana. Bayangan siang tadi di mall kembali hadir—tatapan dingin Dion yang pura-pura tidak kenal, Rachel yang selalu lengket di sisinya, dan Raka yang secara halus melindungi tanpa banyak bicara.
“Kenapa sih harus ketemu lagi sama mereka… Dion sama Rachel bikin aku kesel. Tapi Raka… dia selalu ada aja,” gumamnya lirih, wajahnya setengah muram setengah bingung.
“Non, saya tadi sempat lihat Non senyum-senyum sendiri pas pulang. Lagi mikirin siapa, ya?” tanya Bi Yanti mengetuk pelan pintu.
Citra langsung tersentak, wajahnya memerah walau tidak ada yang bisa melihat.
“Bii… jangan suka ngarang deh!” ucapnya agak keras.
Bi Yanti terkekeh kecil dari luar. “Hehe, Non ini kalau benci banget sama orang biasanya lama-lama malah jadi suka.”
“Apaan sih, Bi. Aku gak mungkin suka sama orang kaya Dion. Gak akan pernah!” Citra menegaskan, meski dalam hatinya ada rasa tak nyaman yang sulit ia definisikan.
Setelah cukup lama berendam, Citra keluar, mengeringkan tubuh dengan handuk tebal yang sudah disiapkan. Ia mengenakan piyama sutra lembut, lalu masuk ke kamar.
Di meja samping tempat tidurnya, sudah tersedia segelas susu hangat. Citra meminumnya pelan, lalu berbaring di kasur empuknya. Lampu kamar diredupkan.
Namun, meski tubuhnya sudah rileks, pikirannya masih penuh dengan wajah Dion dan Raka.
“Aku harus gimana, sih…” bisiknya sebelum akhirnya perlahan terlelap.
*
*
*