Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergian papa
Sepulang dari menonton Gunawan tanding, Rehan dan Amelia terkejut melihat Ira sedang menangis sendiri di ruang tamu.
“Ma, ada apa?” Rehan segera menghampiri. Pun dengan Amelia.
“Mama lelah, mama gak tau harus gimana?”
“Ada apa, mama? Katakan. Kita takut melihat mama begini.”
Tentu saja Amelia merasa takut karna itu pertama kalinya dia melihat Ira terlatih sangat sakit.
“Toko kita, toko satunya, sudah disegel bank.”
“Hah, kok bisa? Kan kita lagi cicil, Ma.”
“Mama gak ngerti, sertifikat toko itu ternyata ada dua. Bagian gudang sertifikat nya ada di bank dan sedang kita cicil, sementara bagian toko sertifikat nya ada di bank dan sudah lama tidak dibayar.”
Dengan susah payah Ira menjelaskan pada anaknya. Dadanya terasa sesak.
“Mama tanang dulu, adek ambil air ya.”
Amelia pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Saat hendak kembali dia mendengar suara Alex. Amelia melihat dari pintu, Alex sedang kejang.
“Abaaaang!”
Gelas yang sedang dipegang Amelia pun terjatuh hingga menimbulkan riuh.
Rehan dan Ira segera berlari menuju kamar belakang. Di mana Alex ada di sana.
“Papa, papa kenapa? Kenapa bisa begini?”
Ira cemas bukan main melihat suaminya. Tangan dan kakinya tegang, mulut menganga dan mata melihat ke atas nyaris hanya terlihat bagian putihnya saja.
“Rehan panggil pa ustaz dulu.”
Dengan sekuat tenaga Rehan berlari mencari pak ustad.
“Pa, ada apa? Kenapa papa begini?”
“Ini adek, papa. Papa bangun. Papa buka matanya. Papa kenapa?”
“Kenapa papa kamu, Amel? Amel!”
Ira histeris saat Alex tidak lagi kejang. Matanya perlahan kembali normal. Tubuhnya melemah dan ….
“Mama, dada papa gak gerak.”
“Apa?”
Ira segera memeriksa nadi dan nafasnya. Dia mendengarkan dada suaminya. Sebisa mungkin denga ilmu yang tersisa secuil, Ira melakukan rjp.
Pak ustaz datang.
“Mama, ada apa?”
Pa ustaz memeriksa keadaan Alex.
“Bu, sudah. Kasian Bapak.”
Ira tidak mendengarkan meski dia tau suaminya sudah tidak bernyawa.
“Nak, papa kamu sudah tidak ada.”
Amelia menjerit histeris. Sementara Ira masih terusan berusaha melakukan tindakan rjp.
“Ma, udah. Kasian papa kesakitan.”
Karena tidak mau mendengar, Rehan menarik paksa Ira dari atas tubuh Alex untuk turun. Ira berontak, lalu Rehan memeluknya dengan erat.
Ira menangis histeris. Menjerit memanggil nama suaminya. Hingga tenaga dan suaranya perlahan hilang dan tidak sadarkan diri.
Kematian Alex diumumkan di mushola. Perlahan para tetangga mulai berdatangan. Ada yang menurus jenazah bersama pas ustaz dan Rehan, Amelia membantu ibu-ibu yang lain menyiapkan tikar dan air minum. Sementara Ira masih pingsan.
Setelah dimandikan dan di kafani, Alex dibawa ke mushola untuk disalatkan. Pria itu tekenal baik dan dermawan, tidak heran banyak orang yang mengurus dan menyalatkan jenazahnya
“Mau langsung dikuburkan atau menunggu kerabat?”
“Langsung aja pak ustaz. Kasian papa saya.”
“Baiklah.”
Jenazah Alex langsung dibawa untuk dikebumikan. Banyak orang yang mengantar kepergian Alex ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Tangan Rehan gemetar saat menggotong keranda jenazah Alex. Sekuat mungkin dia tidak meneteskan air mata karena takut akan memberatkan kepergian arwah Alex.
Proses pemakaman selesai, semua orang telah kembali tapi tidak dengan Alex dan Amelia.
Mereka masih duduk sambil mendoakan Alex.
“Jangan nangis, dek. Kasian papa.”
Tapi tetap saja Amelia tidak bisa menahan air matanya. Dia tidak sekuat rehan.
Matahari semakin naik, panasnya sudah sangat terasa menusuk kulit. Amelia dan Rehan pun memutuskan untuk kembali pulang.
“Bukannya urus ibu kalian, malah pada di kuburan. Utamakan dulu yang hidup.”
Tuti kembali mencoba membuat ulah.
“Ayo, sini.” Tetangga mengajak Amelia ke belakang untuk menyiapkan makanan. Tahlilan akan dilaksanakan setelah isya nanti.
Ira bangun dari pingsan nya, namun dia seperti orang yang tidak memilik roh. Hanya diam menatap ke depan.
Magrib pun tiba, tetangga sedang sibuk di dapur menggoreng bakwan dan merebus kacang tanah.
Amelia duduk di atas sajadah dengan tumpahan air mata yang tiada hentinya.
Tok tok tok
“Dek, ke bawah yuk.”
“Iya, Bang.”
Rehan masuk ke kamar Amelia. Duduk di hadapannya lalu memeluk Amelia erat. Bukan untuk menenangkan tapi meminta sandaran.
“Kita harus kuat demi mama.”
Amelia mengangguk dengan air mata yang seperti tidak bisa dihentikan.
Keluarga sudah kumpul. Baik itu dari pihak Alex maupun dari pihak Ira. Rehan dan Amelia bersalaman pada mereka semua.
“Rehan, kamu harus kuat karena kini kamu kepala keluarga yang akan menggantikan ayah kamu.”
“Iya, Om.”
“Kamu ke belakang aja bantuin yang lain. Ngapain di sini. Kami keluarga mau membicarakan sesuatu.”
“Amelia juga keluarga kita, kenapa harus ke belakang.”
Sejak dulu keluarga Ira memang tidak setuju Ira berhenti kerja demi mengasuh Amelia. Sementara keluarga Alex tidak pernah mempermasalahkan nya.
Tidak ingin ada masalah dan keributan, Amelia memilih untuk pergi namun dicegah oleh Rehan.
“Bagaimana keadaan toko? Kurang ajar si maman. Sejak dulu aku gak pernah setuju Alex membantu dia dengan mempercayakan toko padanya. Sekarang malah bikin ulah.”
“Toko di segel. Sementara yang terbakar kemarin masih dalam tahap pembangunan. Cuma aku bingung karena setelah selesai dibangun, belanja buat isi nya tidak ada.”
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”
“Mungkin Rehan jual aja. Uangnya dipake buat simpanan sehari-hari dan biaya sekolah Amelia. Untuk menyambung hidup Rehan kerja ke orang lain.”
Kakak pertama Alex menghela nafas dalam.
Uang tabungan Alex habis dipakai biaya upah pekerja toko yang satunya, dipakai untuk uang belasungkawa dan untuk biaya pembangunan ulang toko yang terbakar.
Kini, mau tidak mau Rehan harus kerja demi kelangsungan hidup mereka.
“Masih pengen jadi dokter kamu, setelah semuanya kayak gini?” tanya Tuti ketus pada Amelia.
“nggak. Amel gak akan kuliah di kedokteran. Amel juga mengerti keadaan dan situasi.”
“syukurlah kalau kamu tahu diri.”
acara tahlilan hari pertama berjln dengan lancar. banyak orang yang datang. mukai dari anak-anak, remaja, bapak-bapak bahkan ibu-ibu.
setelah acara tahlilan selesai, semua orang kembali pamit pulang ke rumah masing-masing. keluarga Alex memang sibuk karena mereka terikita jam kerja.
Hanya Tuti yang masih ada untuk menjaga adiknya, Ira.
Amelia mengambil ponsel untuk mengirim chat pada Harlan. memberitahu keadaannya saat ini. Masih sama. Chat yang sebelumnya pun masih centang satu.
Ponsel Amelia berdering.
“Halo.”
“Sayang kok suara kamu kayak yang lagi nangis. ada apa?”
“Gun ….” Amelia menangis sesenggukan.
“ada apa, yank?”
“Papa … papa meninggal.”
“innalillahi ….”
Rehan hendak masuk ke kamar adiknya namun dia mengurungkan diri karena melihat Amelia sedang ngobrol dengan Gunawan.
Rehan kembali ke kamarnya. Dia duduk di atas kasur sambil menatap kosong ke depan.
Hatinya sama-sama hancur. Dia sangat kehilangan Alex. Belum lagi memikirkan ibunya yang hanya bisa diam seperti raga tanpa jiwa. ditambah dengan masa depan mereka tanpa penghasilan.
Tapi, untuk teman berbagi beban dan cerita aja dia tidak punya. Semuanya dia telan sendiri.