Siapa sangka moment KKN mampu mempertemukan kembali dua hati yang sudah lama terasa asing. Merangkai kembali kisah manis Meidina dan Jingga yang sudah sama-sama di semester akhir masa-masa kuliahnya.
Terakhir kali, komunikasi keduanya begitu buruk dan memutuskan untuk menjadi dua sosok asing meski berada di satu kampus yang sama. Padahal dulu, pernah ada dua hati yang saling mendukung, ada dua hati yang saling menyayangi dan ada dua sosok yang sama-sama berjuang.
Bahkan semesta seperti memiliki cara sendiri untuk membuat keduanya mendayung kembali demi menemui ujung cerita.
Akankah Mei dan Jingga berusaha merajut kembali kisah yang belum memiliki akhir cerita itu, atau justru berakhir dengan melupakan satu sama lain?
****
"Gue Aksara Jingga Gayatra, anak teknik..."
"Meidina Sastro Asmoro anak FKM, kenal atau tau Ga?"
"Sorry, gue ngga kenal."
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Padahal ku kira...
Jingga tertegun mendengar ucapan Mei, wajah cantik itu menyiratkan kekecewaan saat ini. Dan ia, cukup menggaris bawahi ucapan lirih Mei tadi.
Aku sakit, Ga...anxiety psikosomatis...aku terapi sama psikolog enin di Bandung.
Seketika rasa bersalah, getir, nanar, terlebih...saat ini Jingga ingin sekali memeluk Meidina.
Namun belum keinginan itu terlaksana, diantara mereka, Mei lah orang pertama yang meninggalkan ruang depan, disusul oleh anggota perempuan lain, dimulai dari Nalula, Vio, Senja, dan terakhir Syua sesaat setelah menatap Jingga dengan tatapan tak habis pikirnya, "gue...ngga tau harus ngomong apa, Ga..." ia melengos menyusul.
"Mei..."
Langkah-langkah tak teratur mereka yang berisik di atas lantai kayu mengisi gema setiap sudut posko, demi segera memberikan pelukan hangat dan penguatan untuk Mei.
Pintu kamar perempuan benar-benar tertutup rapat dengan suara blugh dan cekrek setelahnya.
Mei telah menanggalkan jas almamater dan menumpukannya begitu saja di atas kopernya lalu duduk di tepian kasur demi menetralkan kondisi hati efek ledakan barusan.
Pelukan sayang disarangkan Lula, Vio dan Senja, "lo kuat banget Mei. Sorry kita ngga tau kalo lo..."
Mei mendengus menggeleng, "gue ngga apa-apa." usapnya di lengan Lula, Vio dan Senja.
"Udah sejak lama gue baik-baik aja...gue juga udah jarang ketemu mbak Rahmi, psikolog gue. Terakhir itu..." waktu ia baru saja kembali ke Jakarta dan bertemu dengan Jingga untuk pertama kalinya. Itulah kali terakhir ia merasa kacau dan buruk, lalu menghubungi mbak Rahmi.
Tarik nafas....lalu buang, Mei...
Maafkan, berdamailah dengan diri sendiri dan kondisi. Tanamkan dalam pikiran, kalo bahagia tidak harus bersama Jingga, tapi dengan melihat kehidupannya membaik tanpa beban, adalah kebahagiaan lahir batinmu.... Beri penghargaan untuk diri kamu, perasaan kamu, dengan cara mencari bahagia dari jalur lain. Seperti belajar, meraih prestasi, hang out, mencari kesenangan batin lewat alam. Lewat interaksi sosial dengan orang lain.
Vio bahkan sudah menitikan air matanya, "gue hafal banget kejadian bullying itu. Gue pengikut lo, asal lo tau ya Mei...lo ngilang setelah akun anonim itu nyebarin racun."
Mei tersenyum dan membalas pelukan teman-temannya, "masa kritis gue udah lewat girls...dan liat...gue baik-baik aja saat ini, sehat wal'afiat."
Syua membanting dirinya di atas kasur, "gila ya...gue ngga nyangka, syok banget gue."
"Tega banget sumpah. Liat dan denger kehidupan lo...gue jadi malu, seharian ini gue nangisin cowok breng sek itu sampe bengkak mata gue." Senja menghapus air matanya.
Vio menggeleng, "sorry kalo jadi bahas masa lalu, tapi gue penasaran banget. Akun yang tiba-tiba sebarin foto masa kecil lo terus nyerang lo itu siapa? Katanya bener orang terdekat lo? Siapa Mei?"
Mei hanya kembali tersenyum mengiyakan, "sekarang ngga penting lah kita tau siapa dia. Seneng banget tuh orangnya kalo tiba-tiba nama dia naik pamor lagi. Lagipula, gue ngga mau inget-inget lagi masa lalu, luka lalu yang---" Mei menjeda ucapannya demi menemukan kalimat yang tepat menjabarkan keadaannya saat itu, "gue udah sangat berusaha keras buat sembuh dan memaafkan semuanya."
"Sorry." Vio kembali memeluk Mei. Bahkan Nalula tak melepas genggamannya di tangan Mei sejak tadi, "jadi lo sama Jingga itu...bukan Jingga yang cuma temen terus kejar-kejar lo, tapi emang dulu kalian----"
Mei mengangguk dan menatap mereka dengan nanar, "sorry banget gue ngga bilang waktu tempo hari. Rumit banget kalo diceritain waktu itu. Gue bingung mesti mulai darimana."
Senja menggeleng, "cinta kalian tuh luar biasa banget menurut gue, kaya judul lagu tau ngga...please jangan pisah, gue bakalan sedih, mirip sama cerita novel terus sad ending ngga sih kalo sampe pisah? Dan gue ngga ikhlas...." pinta Senja, seolah ia melihat drama novel yang naik turun memainkan perasaan pembaca persis jet coaster.
Lula mengangguk, "4 tahun lebih kalian kenal. Dan selama itu pula kalian masih bertahan dengan perasaan masing-masing....mencintai satu sama lain dengan cara masing-masing menurut gue tuh----"
"Keren abis." Tukas Vio, "gue kalo ada di posisi lo, ngga tau deh...apa bisa lepas Jingga. Ya walaupun menurut gue Jingga sedikit crazy so clingy..ngga tau tempat banget mau numpahin rasa sayangnya." Mereka lantas terkekeh membuat Mei ikut tertawa kecil, "gue minta maaf ya, terutama buat ci Yua...."
Syua menarik kedua alisnya, "gue? Minta maaf buat apa?" ia bangkit.
"Jingga tuh susah banget dibilangin buat ngga nunjukin perasaannya secara berlebihan sekarang, tapi....ya begitu deh."
Syua menggeleng, "ngga. Gue sih yang salah...seharusnya gue ngga ngoceh aturan konyol itu. Bener kata Maru sih, yang penting profesional aja..."
Mei tak setuju, "justru menurut gue ci Yua tuh bener. Memang masalah kelompok begini kalo bisa jangan bawa perasaan, kita sendiri kadang ngga bisa kontrol perasaan itu dan suka secara luput terbawa ke kerjaan...kaya sekarang ini."
Vio mengangguk setuju meminta maaf pada yang lain, begitupun Senja.
"Udah.. Udah...kita mau pelukan terus sampe kapan?" tanya Syua, "gerah banget gue."
"Nja. Cowok ngga cuma satu...jadi kalo lo kehilangan lelaki ngga guna begitu, lo mesti bersyukur...itu artinya Tuhan masih sayang lo..."
Senja mengangguk, "dibalik kejadian. Allah pasti udah siapin rencana terbaiknya buat lo." Mei kembali bersuara.
"Oke. Mulai sekarang...janji ya, jangan ada mendem masalah sendiri...kalau apa-apa itu diomongin bareng-bareng."
Mei mengunjukan kelingkingnya yang disambut oleh keempatnya dan tertawa bersama.
"Thanks banget. Gue bersyukur atas kkn ini...bisa kenal kalian. Janji, setelah kkn selesai jangan bubar ya?" tanya Senja.
"Apaan bubar, kita kan mau ikut rombongan lamaran Mei-Jingga..." tawa Vio digelengi Mei.
"Ayolah, jangan pisah Mei...asli gue menyayangkan banget kalo lo sama Jingga sampe pisah. Ngga banget."
"Bukannya kemaren kalian bilang kang Hamzah lebih cocok sama gue, ya?"
Vio menggeleng, "Jingga lebih keren."
Senja setuju, "lo tau ngga, seberapa besar khawatirnya Jingga waktu lo belum balik. Udah persis nahan be rak ngga sih? Mules...mondar mandir terus..."
Lula mengangguk, "bukan pasal cemburu sih kalo menurut gue. Tapi dia tuh lebih ke khawatir, takut Mei kenapa-napa, gue tau kang Hamzah tuh dokter...tapi disini...Jingga paling tau tentang lo. Jingga yang paling paham sama kondisi dan semua tentang lo."
Ia lantas membeliak excited dan menepuk pa hanya sendiri, "sekarang gue paham. Cara posesif Jingga itu yang suka pengen kekepin Mei sendiri, karena semata-mata pengen jagain Mei...bukan karena dia yang posesif bin cemburuan kaya apa yang sering kita gunjingin di grup, di luar...mungkin cemburu juga bisa jadi sih...."
Syua mengernyit, "tapi bukannya Jingga punya cewek ya? Yang dijilbab itu, siapa?"
Vio menggeleng santai, "Kana bukan cewek Jingga. Shaka yang bilang ke gue..." Mei merotasi bola matanya untuk si ember bocor.
"Jingga tuh kayanya sengaja deh, menghadirkan Kana...biar..Mei cemburu, pengen liat reaksi Mei masih sayang dia apa engga."
Namun Senja justru menggeleng, "gue rasa Jingga ngga sekampungan itu deh, trik alay begitu mana kepikiran di otak beku Jingga. Kalo gue rasa...setelah denger perdebatan tadi. Jingga tuh sengaja datangin Kana buat bikin Mei tuh lega, tenang gitu...soalnya tadi Mei bilang, dia bakalan bahagia kalo Jingga dapetin pengganti yang lebih, kalo Jingga bisa hidup lebih baik."
Vio kembali berkaca-kaca, "lebih sweet dari romeo juliet sih kalo menurut gue, kisah kalian tuh patut diangkat ke layar kaca..."
Syua memutar bola matanya, "apaan deh Vi..." sementara Mei tersenyum getir karena apa yang dikatakan Senja adalah hal sebenarnya. Dan ia akui...Jingga...Mei menunduk merenungi disaat teman-temannya itu masih meributkan dirinya dan Jingga.
.
.
Jingga kembali mengumpulkan anggota 21 untuk evaluasi malam rutin. Bedanya, evaluasi malam ini tak lagi diisi canda tawa kelompok 21, ditambah...posisi mereka kini lebih---renggang dan terpecah.
Mahad, Alby dan Arlan berada di dekat gawang pintu. Arshaka, Jovi dan Zaltan mengisi pojokan dekat Jingga dan Maru. Sementara anggota perempuan, mengisi ujung dari bagian ruangan depan yang hampir menyentuh lorong kamar.
Namun sikap lain ditunjukan Mei, ia...duduk di samping Jingga dan Maru membuat mereka yang disana cukup terkejut tak menyangka.
"Kenapa?" tanya Mei menyadari reaksi teman-temannya termasuk Jingga, "biasanya juga disini kan tempatnya sekertaris? Apa udah robah?" ia hendak beranjak, namun Arshaka angkat bicara begitupun Jingga yang sudah bersiap meraih tangannya.
"Eh, engga. Udah paling bener lo disitu Mei...biar kordes ngga ngamuk."
"Ka..." pelotot Vio.
"Maksudnya kalo Jingga mau ngamuk, Mei bisa antisipasi buat nenangin." ia masih saja bergumam seiring pelototan Vio yang memudar.
"Peace Ga...lanjut." Arshaka mempersilahkan.
Jingga menatap Mei lama untuk kemudian tatapan itu dikejutkan oleh suara Maru yang buka suara, "kita kesampingkan masalah pribadi sejenak, disini...semuanya coba buat profesional aja...lo mulai deh, Ga."
Jingga menelan salivanya sulit namun tak urung memulai evaluasi malam.
"Oke."
Ia melirik Mei sebentar di sampingnya dimana gadis itu benar-benar menatap lurus dan sesekali menunduk ke arah catatan.
"Ngga ada yang main emosi lagi sekarang. Ngga ada yang saling hina atau saling salahkan....proker kelompok gagal maka semua yang salah termasuk gue." Jingga menatap tajam Arlan dan Jovi yang wajah keduanya dihiasi luka lebam di bagian tertentu.
"Kondisi kincir, setengah rusak. Tapi masih bisa kita kerjakan lagi sesuai tenggat waktu...jadikan kesalahan pembelajaran buat kedepannya, bukan cuma buat Jovian...tapi buat kita semua."
(..)
Evaluasi ditutup tanpa ada keramaian, keceriaan dan jerit jenaka seperti biasanya. Mereka mundur teratur bersama dengan orang yang ada di dekatnya. Rasa canggung dan dingin benar-benar menyelimuti Widya Mukti, termasuk posko.
"Ini berarti besok kita ngerjain dulu kincir, tiang lampu jalan stop dulu, Ga?" tanya Maru diangguki Jingga.
"Tiang lampu jalan sih udah siap, tinggal nunggu listriknya aja. Jadi kita fokusin dulu kesana. Sumbernya...buat finishing itu gampang."
Untungnya untuk proker lain masih berjalan sesuai progress. Maru sudah mengangkat pan tatnya dari sana, "oke."
Mei turut beranjak saat merasa tak ada lagi yang harus dibicarakan, namun belum ia mengangkat badannya untuk berdiri, Jingga menahan pergelangan tangannya untuk tetap duduk.
"Bisa kita ngomong sebentar?"
"Ngga ada yang perlu dibahas lagi, Ga. Semuanya udah gue bilang tadi...dan gue juga udah denger semuanya dari mulut lo langsung tadi kan?"
"Jadi?" tanya Jingga menaikan alisnya dengan tangan yang masih memegang tangan Mei.
"Ya ngga gimana-gimana." Jawab Mei sekenanya saja, tanda jika ia benar-benar jengkel.
"Apa ada dampaknya buat hubungan kita?" tanya Jingga.
"Menurut lo?" Mei balik bertanya, haruskah Mei mengetuk kepalanya agar ia paham, dari bahasa saja Mei sudah menunjukan dampak buruknya.
"Apa aku harus minta maaf sekarang?"
"Apa lo udah sadar sama kesalahan lo apa?" Mei kembali membalikan pertanyaan.
Jingga menemukan tatap mata Mei yang masih belum berubah, dingin, jengkel setengah malas melihatnya.
"Maaf." Jingga menunduk.
"Gue maafin. Tapi tadi lo ngga minta maaf sama yang lain...apa mr. Kordes kita ngga merasa bersalah karena udah bikin anggota lain syok dengan sikap ngga bijaknya itu? lo bawa masalah pribadi diantara masalah kelompok, Ga...itu sama sekali ngga lucu."
Jingga menghela nafasnya, entahlah...lo--gue...ia sebal sekali, meski memang ia akui sepenuhnya kesalahannya yang memulai pertengkaran.
"Padahal aku pikir itu bakalan jadi kejutan. Buktinya mereka syok.. Cuma aku lupa aja bilang, surprise tadi..." ocehnya, percayalah...wajah Mei langsung kecut dan masam, mana wajah Jingga itu seperti tak menunjukan ekspresi berlebih.
.
.
.
.
si arlan temenya setan 🤣🤣🤣